Wednesday, 31 July 2013

PSIKOLOGI EKSPERIMEN SEMESTER 4



Kenakalan Remaja Pada Keluarga Yang Kurang Harmonis
Suatu Pendekatan Fenomenologi

PROPOSAL

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Prima Indonesia
 Guna Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Untuk Proposal Metodologi Penelitian II kualitatif


Oleh:

Tjung teck
11.33.100.95







FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA
MEDAN
2013
TEMA
Kenakalan Remaja Pada Keluarga Yang Kurang Harmonis
Diajukan Untuk  Proposal Metodologi Penelitian II kualitatif




Oleh:

Tjung teck
11.33.100.95


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA
MEDAN
2013

Menyetujui:
Dosen Pembimbing Skripsi

LIANA MAILANI. S.Psi.M.A
NIP.
Mengetahui:

Jurusan Psikologi (S1)                                             Program Studi Psikologi
Ketua,                                                                         Ketua,

           Rianda Elvinawanty S.Psi.M.Si                                        Sri Hartini.Psi.M.Si
NIP.                                                                             NIP.


Kata Pengantar

Dengan Tujuan Penelitian kualitatif nanti tujuannya akan mengembangkan suatu hasil yang di peroleh dalam penelitian,Sebelumnya Puji sukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,dengan rahkmat kebesaranya tujuan pelaksanaan penelitan juga akan berjalan dengan lancar,namun dengan memperoleh setiap hasil penelitian juga akan menghasilkan dampat yang jauh lebih baik,kendati setiap penelitian juga membutuhkan waktu dan ruang lingkup kerja sama yang baik dengan sesamanya,seperti penelitian juga membutuhkan kerja sama antara objeck dan subjeck yang di teliti.
Tahap awal dalam penelitian mencakup lingkungan tempat dalam suatu tujuan penelitian,lokasi yang paling penting dalam penelitian  keadaan lingkungan yang pantas atau cocok dalam suatu penelitian,banyak penelitian yang bergantung pada tempat.waktu dan lingkungan yang baik untuk melaksanakan suatu penelitian itu,juga dukungan dan bimbingan dari dosen tentunya Ibu Liana Mailani.Spsi,MA sebagai dosen mata kuliah Metodologi Penelitian II yang banyak memberi masukan berupa bimbingan dari awal penyusunan proposal dari yang salah atau berantakan menjadi susunan yang baik dan benar dengan berdasarkan aturan Akademis di Universita UNPRI.
Penelitian juga membutuhkan banyak pengetahuan yang bertujuan untuk mengetahui hasil suatu penelitian, yang bersadarkan landasan teori dan secara ilmia,berupa perubahan dan hasil juga akan nantinya menjamin hasil penelitian menjadi hasil yang secara ilmia,Selaku penelitian yang meneliti persoalan yang berdasarkan judul ini,juga banyak menerima masukan dan dukungan dari berbagai pihak,Seperti lokasi sekolah,tempat dan waktu lingkungan yang mendukung meneliti dengan baik,Dengan ucapan terima kasih kepada Dosen pembimbing,Kepala sekolah Dhamma Sekha Dhamma Mitta,segala pihak lingkungan jl. Kebun sayur Deli Serdang yang mendukung untuk melakukan suatu penelitian kualitatif di sekolah itu.





Medan,08 Mei 2013
                                                                                                                                  Tjung teck
                                                                                                                                      Peneliti

DAFTAR ISI
Pengesahan
Daftar isi-----------------------------------------------------------------------------------------------05
Lampiran----------------------------------------------------------------------------------------------89
Daftar Gambar----------------------------------------------------------------------------------------81

BAB I PENDAHULUAN
1.Latar Belakang Masalah
A.Keluarga Yang Kurang Harmonis
Sebagai factor Penyebab Kenakalan Remaja-----------------------------------------------------08
2.Identifikas Masalah--------------------------------------------------------------------------------21
3.Batasan Masalah-----------------------------------------------------------------------------------21
4.Rumusan Masalah---------------------------------------------------------------------------------22
5.Tujuaan Penelitian---------------------------------------------------------------------------------22
6.Manfaat Penelitian---------------------------------------------------------------------------------22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1.Kerangka Teoritis----------------------------------------------------------------------------------23
A.Definisi Kenakalan Remaja----------------------------------------------------------------------23
B.Bentuk dan Aspek-Aspek Kenakalan Remaja-------------------------------------------------24
C.Karakteristik Remaja Nakal----------------------------------------------------------------------29
D.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecenderungan
Kenakalan Remaja------------------------------------------------------------------------------------31
A.Keharmonisan Keluarga--------------------------------------------------------------------------35
B.Aspek-Aspek Keharmonisan Keluarga---------------------------------------------------------37
C.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keharmonisan Keluarga------------------------------39
2.Konsep Diri-----------------------------------------------------------------------------------------40
A.Definisi Konsep diri------------------------------------------------------------------------------40
B.Pembentukan Konsep Diri-----------------------------------------------------------------------42
C.Aspek-Aspek Konsep Diri-----------------------------------------------------------------------44
D.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri--------------------------------------------45
3.Remaja----------------------------------------------------------------------------------------------46
A.Definisi Remaja-----------------------------------------------------------------------------------46
B.Ciri-ciri Remaja-----------------------------------------------------------------------------------47
C.Landasan Teori------------------------------------------------------------------------------------49

BAB III METODE PENELITIAN
A.Pendekatan Kualitatif----------------------------------------------------------------------------54
B.Metode Pengambilan Data-----------------------------------------------------------------------56
1.      Wawancara-----------------------------------------------------------------------------------57
2.      Observasi-------------------------------------------------------------------------------------60
C.    Responden Penelitian--------------------------------------------------------------------------62
1.Karakteristik Responden-----------------------------------------------------------------62
2.Jumlah Responden------------------------------------------------------------------------62
3.Lokasi dan Waktu Penelitian------------------------------------------------------------63
D. Alat Bantu Pengumpulan Data------------------------------------------------------------------63
1.Pedoman Wawancara---------------------------------------------------------------------64
2.Alat Perekam (tape recorder)--------------------------------------------------------------------64
E. Prosedur Penelitian-------------------------------------------------------------------------------65
1.Tahap Persiapan Penelitian--------------------------------------------------------------65
2.Tahap Pelaksanaan Penelitian-----------------------------------------------------------66

F.Prosedur Analisi Data-----------------------------------------------------------------------------68
1.lokasi dan waktu Penelitian--------------------------------------------------------------69
2.lokasi Penelitian---------------------------------------------------------------------------69
3.Waktu Penelitian--------------------------------------------------------------------------69
G.Teknik Observasi Wawancara-------------------------------------------------------------------69
1.Rekaman Rekoder----------------------------------------------------------------------------------69
2.Tanyak jawab langsung kepada Subjeck--------------------------------------------------------69

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Observasi
Lampiran 2 Wawancara
Lampiran 3 Verbatin


DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar1. Kenakalan Remaja pada Laki – Laki
Gambar2. Kenakalan Remaja pada Wanita
Gambar3. Lokasi kenakalan
Gambar4. Siklus Kenakalan Remaja





BAB I
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
A.Keluarga Yang Kurang Harmonis Sebagai factor Penyebab Kenakalan Remaja
 Di Indonesia banyak terjadi kenakalan remaja di sebabkan oleh lingkungan dan pendidikan dari orang tua,sehingga banyak tekanan dari lingkungan berupa dari orang tua dan saudara-saudaranya,biasanya kenakalan remaja ini juga banyak di dorong oleh prilaku buruk dari keluarga,seperti orang tua yang cara mendidik anak-anaknya dengan sifat yang keras dengan prilaku kasar maupun ucapan yang kasar melalui hubungan komunikasi dengan kata-kata yang kasar dan jorok,namun dengan melihat kondisi anak yang tertekan oleh keadaan dari orang tua,maka anak cenderung menjadi bandel,degil,nakal,prilaku buruk yang di contoh oleh orang tuanya,sehingga juga di praktekan di lingkungan di mana bergaul dengan juga terpengaruh oleh sifat dari teman-temannya,kemudian anak nakal juga dari tekanan dari orang tua maka anak menjadi tertekan dan mencari lampiasan dengan gensi, berupa apa saja yang ada di lingkungan,seperti hal dengan berbohong,berjina,merokok,mabuk,mencuri,merampok,perkosaan teman sebayanya untuk berbuat bermacam kejahatan berupa mencuri,berbohong,sehingga kejadian selalu berulang tampa harus berubah kalau perbuatan ini merasa yang baik untuk dirinya.
 Anak nakal biasa tertekan oleh situasi dalam keluarga,maka bergaul dan berbuat jahat juga karena di sebabkan oleh gensi,merasa apa yang dilakukan merasa benar,walaupun banyak yang di tutupi jati dirinya yang tertekan oleh stress dari rumah,juga banyak pranata hidup juga di langar baik sampai badan hokum,seperti mencuri,merampok,pemerkosaan,nakoba,Banyak pristiwa anak nakal dengan beragam permasalah yang timbul akibat ketidak sesuaian hidup bersama orang tuanya,walaupun banyak perbuatan nakal di peroleh dari luar lingkungan seperti pergaulan dari teman dan kenakalan dari dirinya sendiri,hal seperti malas,tidur larut malam setelah orang tua marah membangunkan tidak mau bangun,tidur malas bangun,sehingga orang tua jerah dan marah dengan kata kasar dengan makian yang ucapan kasar.
Sarwono (2002) mengungkapkan kenakalan remaja sebagai tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana, sedangkan Fuhrmann (1990) menyebutkan bahwa kenakalan remaja suatu tindakan anak muda yang dapat merusak dan menggangu, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Santrock (1999) juga menambahkan kenakalan remaja sebagai kumpulan dari berbagai perilaku, dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial sampai tindakan kriminal.
Khasus seperti : -10148Itee :tidak mau sayangi orang tua lagi,tentunya bapak,marah-marah sama mama begitu,karena bapak tidak kerja gitu,tapi ia main pukul,dia selalu maki mama,semua dia salah,dari saya sejak kecil mama cari makan sampai saya dewasa,itu pun mau main pukul. Adi dengan sifat orang tua yang kasar,suka dengan kata-kata yang kasar dengan mendidik anak,sehingga adi merasa stress dan tertekan oleh keluarga yang tidak akur,sering bertengkar dan memukul ibunya,kalau berbicara tidak bisa pelan dan kasar,bagitu juga saudaranya yang suka malas di waktu bagun tidur,sehingga Adi menjadi tidak harmonis.
Anak Nakal Tidak Mau Mendegar Nasehat Orang Tua  Latar belakang kenakalan umunya terjadi akibat didikan orang tua dan lingkungan yang mempengaruhi,sebab terjadi kenakalan remaja tentunya di akibatkan perhatian dari orang tua,yang kurang cara mendidika orang tua bagi anak dengan kekerasan,kebencian,mementingkan diri sendiri,,tidak perduli anak dan istri ,sifat buruk dari orang tua,pengaruh dari lingkungan yang bersifat buruk,anak merasa hidupnya tertekan oleh sifat buruk dari orang tua,anak yang bandel juga sebab utama bagi kenakalan di nasehati tidak mau mendengar,jadi degil,bandel,sehingga salah menyalakan orang lain dan diri sendiri,akibatnya anak semakin bandel dan nakal,orang tua juga mendidik anaknya dengan kekerasan ucapan,kata-kata kasar,makian,benci,karena prilaku anak yang malas dan bandel.
Khasusnya seperti  melihat khasus yang terjadi seperti tauran,geng motor yang selalu merusak pranata hidup manusia,juga merusak diri sendiri dengan taruhan balap sepeda motor dan kalah menang motor menjadi taruhannya dan juga taruhan uang,namun dengan tauran yang merugikan masyarakat juga perkelahian antar geng motor yang mengakibatkan kerusakan motor dan fasilita umun,sehingga juga merampok apabila di butuhkan dalam suatu kebutuhan hidup untuk nakoba,mencuri,sampai dengan pemerkosaan bagi wanita,kalau perkelahian antar geng motor terjadi maka kerusakan bisa memicu pada hulu-arah, yang berhubungan  keamanan nasional berupa tauran antar geng yang bisa melibatkan berbagai pihak istansi pemerintahan,seperti polisi,sapan, untuk menindak lanjuti setiap tauran, sehingga juga terjadi pertikaian antara geng motor bersama polisi.
Kutipan jurnal Syabab
Syabab. - Geliat dunia remaja yang berjumlah 63,4 juta atau sekitar 26,7 persen dari total penduduk Indonesia kian banyak menyita perhatian media. Sayangnya, kabar dari dunia remaja yang mengisi headline media massa justeru didominasi oleh berita miring dan negatif. Kasus kenakalan remaja—yang mengarah pada kriminalitas remaja—dengan berbagai bentuknya tak henti-hentinya menjadi trending topik, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Sudah separah itukah kondisi remaja saat ini?
Kenakalan Remaja Kian Merajalela Naiknya grafik jumlah kenakalan/kriminalitas remaja setiap tahun menunjukkan permasalahan remaja yang cukup kompleks. Ini tidak hanya diakibatkan oleh satu perilaku menyimpang, tetapi akibat berbagai bentuk pelanggaran terhadap aturan agama, norma masyarakat atau tata tertib sekolah yang dilakukan remaja. Berikut beberapa bentuk kenakalan remaja—yang sejatinya mengarah pada kejahatan/kriminalitas remaja, red.—yang  sering mendominasi pemberitaan media massa:
Penyalahgunaan narkoba Penyalahgunaan narkoba di kalangan remaja makin menggila. Penelitian yang pernah dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) menemukan bahwa 50 – 60 persen pengguna narkoba di Indonesia adalah kalangan pelajar dan mahasiswa. Total seluruh pengguna narkoba berdasarkan penelitian yang dilakukan BNN dan UI adalah sebanyak 3,8 sampai 4,2 juta. Di antara jumlah itu, 48% di antaranya adalah pecandu dan sisanya sekadar coba-coba dan pemakai. Demikian seperti disampaikan Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Kabag Humas) BNN, Kombes Pol Sumirat Dwiyanto seperti dihubungi detikHealth, Rabu (6/6/2012).
Akses media porno Pornografi dan pornoaksi yang tumbuh subur di negeri kita memancing remaja untuk memanjakan syahwatnya, baik di lapak kaki lima maupun dunia maya. Zoy Amirin, pakar psikologi seksual dari Universitas Indonesia, mengutip Sexual Behavior Survey 2011, menunjukkan 64 persen anak muda di kota-kota besar Indonesia ‘belajar’ seks melalui film porno atau DVD bajakan. Akibatnya, 39 persen responden ABG usia 15-19 tahun sudah pernah berhubungan seksual, sisanya 61 persen berusia 20-25 tahun. Survei yang didukung pabrik kondom Fiesta itu mewawancari 663 responden berusia 15-25 tahun tentang perilaku seksnya di Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Bali pada bulan Mei 2011.
Seks bebas Gerakan moral Jangan Bugil di Depan Kamera (JBDK) mencatat adanya peningkatan secara signifikan peredaran video porno yang dibuat oleh anak-anak dan remaja di Indonesia. Jika pada tahun 2007 tercatat ada 500 jenis video porno asli produksi dalam negeri, maka pada pertengahan 2010 jumlah tersebut melonjak menjadi 800 jenis. Fakta paling memprihatinkan dari fenomena di atas adalah kenyataan bahwa sekitar 90 persen dari video tersebut, pemerannya berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Sesuai dengan data penelitan yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. (Okezone.com, 28/3/2012).
Aborsi Gaya hidup seks bebas berakibat pada kehamilan tidak dikehendaki yang sering dialami remaja putri. Karena takut akan sanksi sosial dari lingkungan keluarga, sekolah, atau masyarakat sekitar, banyak pelajar hamil yang ambil jalan pintas: menggugurkan kandungannya. Base line survey yang dilakukan oleh BKKBN LDFE UI (2000), di Indonesia terjadi 2,4 juta kasus aborsi pertahun dan sekitar 21% (700-800 ribu) dilakukan oleh remaja. Data yang sama juga disampaikan Komisi Nasional Perlindungan Anak tahun 2008. Dari 4.726 responden siswa SMP dan SMA di 17 kota besar, sebanyak 62,7 persen remaja SMP sudah tidak perawan, dan 21,2 persen remaja mengaku pernah aborsi (Kompas.com, 14/03/12).
Prostitusi Selain aborsi dan penularan penyakit menular seksual, gaya hidup seks bebas juga memicu pertumbuhan pekerja seksual remaja yang sering dikenal dengan sebutan ‘cewek bispak’. Sebuah penelitian mengungkap fakta bahwa jumlah anak dan remaja yang terjebak di dunia prostitusi di Indonesia semakin meningkat dalam empat tahun terakhir ini, terutama sejak krisis moneter terjadi. Setiap tahun sejak terjadinya krismon, sekitar 150.000 anak di bawah usia 18 tahun menjadi pekerja seks. Menurut seorang ahli, setengah dari pekerja seks di Indonesia berusia di bawah 18 tahun, sedangkan 50.000 di antaranya belum mencapai usia 16 tahun  (Tawuran Kejahatan remaja yang satu ini tengah naik daun pasca tawuran pelajar SMAN 70 dengan SMAN 6 yang menewaskan Alawi, siswa kelas X SMA 6. Tawuran pelajar seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perilaku pelajar. Meski sudah banyak jatuh korban, ‘perang kolosal’ ala pelajar terus terjadi. Data dari Komnas Anak, jumlah tawuran pelajar sudah memperlihatkan kenaikan pada enam bulan pertama tahun 2012. Hingga bulan Juni, sudah terjadi 139 tawuran kasus tawuran di wilayah Jakarta. Sebanyak 12 kasus menyebabkan kematian. Pada 2011, ada 339 kasus tawuran menyebabkan 82 anak meninggal dunia (Vivanews.com, 28/09/12).
Geng motor Karena longgarnya pengawasan dan ketidaktegasan terhadap geng motor, para angota geng motor semakin leluasa bertindak brutal. Lembaga pengawas kepolisian Indonesia (IPW) mencatat ada tiga prilaku buruk geng motor yaitu balapan liar, pengeroyokan dan judi berbentuk taruhan. Tak tanggung-tanggung, menurut data IPW, judi taruhan tersebut berkisar pada Rp 5 sampai 25 juta per sekali balapan liar. IPW juga mencatat aksi brutal yang dilakukan geng motor di Jakarta telah tewaskan sekitar 60 orang setiap tahunnya. Mereka menjadi korban aksi balap liar, perkelahian, maupun korban penyerangan geng motor).
Kejahatan remaja yang terus meningkat setiap tahunnya menunjukkan bahwa kondisi ini tidak semata potret buram, tetapi juga kusut dan sulit terurai. Pemerintah seolah ‘angkat tangan’ mengatasinya sampai tuntas. Faktanya, setiap tahun grafik kejahatan remaja terus beranjak naik. Padahal sudah banyak kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah untuk mengatasi masalah ini, tetapi hasilnya belum signifikan. Apa yang salah dengan solusi dari Pemerintah?
Solusi Kapitalis Setengah Hati
Berbagai upaya dilakukan oleh Pemerintah agar generasi muda bisa menunjukkan kesiapannya menjadi calon pemimpin masa depan. Berikut beberapa kebijakan Pemerintah dalam mengatasi masalah remaja:
Gerakan anti narkoba Guna mengantisipasi penggunaan narkoba di kalangan remaja, Pemerintah gencar mengkampanyekan program ‘Say No to Drugs!’ Ini dilakukan mulai dari penunjukkan duta remaja anti narkoba, sosialisasi bahaya narkoba ke sekolah-sekolah, hingga razia narkoba di kalangan remaja. Bagi pecandu heroin yang sudah akut, Pemerintah memfasilitasi mereka dengan pengadaan jarum suntik steril sebagai antisipasi penyebaran virus HIV. Ada juga program substitusi (pengganti) heroin dengan metadon sebagai bagian dari terapi penyembuhan pecandu.
Ironis. Di satu sisi Pemerintah ngotot ingin menghentikan peredaran narkoba, namun di sisi lain justru pemerintah melestarikan pemakaian narkoba. Inilah salah satu solusi dangkal yang ditawarkan oleh sistem kapitalis sekular dalam mengatasi masalah narkoba.
Gerakan kondomisasi Saat ini, kampanye safe sex with condom gencar disuarakan berbagai pihak demi memutus rantai penyebaran virus HIV. Hal senada juga diangkat lagi oleh Menkes Nafsiah Mboi dengan program kondomisasi remaja; seolah ‘karet pengaman’ itu tidak bisa ditembus oleh HIV. Padahal kenyataan menunjukkan sebaliknya. Pakar AIDS, R, Smith (1995), setelah bertahun-tahun mengikuti ancaman AIDS dan penggunaan kondom, mengecam mereka yang telah menyebarkan safe sex dengan cara menggunakan kondom sebagai “sama saja dengan mengundang kematian”. Selanjutnya beliau mengetengahkan pendapat agar risiko penularan/penyebaran HIV/AIDS diberantas dengan cara menghindari hubungan seksual di luar nikah (Republika, 12/11/1995).
Kondomisasi cuma sebuah solusi pragmatis yang sangat menyesatkan. Pasalnya, kondomisasi bukan menghilangkan akar masalah sesungguhnya, yakni seks bebas yang kian beringas di kalangan remaja. Sebaliknya, kondomisasi makin menambah masalah, karena secara tidak langsung melegalisasi seks bebas. Bukannya mengantisipasi, malah memfasilitasi. Akibatnya, kampanye kondom berpotensi menguatkan gaya hidup seks bebas. Hal ini pernah diungkapkan oleh Mark Schuster dari Rand, sebuah lembaga penelitian nirlaba, dan seorang pediatri di University of California. Berdasarkan penelitian mereka, setelah kampanye kondomisasi, aktivitas seks bebas di kalangan pelajar pria meningkat dari 37% menjadi 50% dan di kalangan pelajar wanita meningkat dari 27% menjadi 32% (USA Today, 14/4/1998).
Razia tawuran pelajar Untuk mengantisipasi tawuran pelajar yang kian marak, Pemerintah gencar melakukan razia ke sekolah maupun di jalan raya. Pelajar yang kedapatan membawa senjata tajam segera diciduk dan dibawa ke kantor polisi untuk diproses. Menteri Pendidikan Nasional, M Nuh menjelaskan langkah konkret yang akan ditempuh agar tawuran tidak kembali terjadi, yakni dengan cara membuat tiga rumusan dasar: (a) Tegakkan disiplin internal sekolah; (b) Bangun kegiatan bersama antarsekolah; (c) Berikan dukungan penuh kepada kepolisian untuk menegakkan hukum siapapun yang salah harus dihukum.
Dari upaya Pemerintah mengatasi kenakalan/kejahatan remaja, kebanyakan masih berkutat di permukaan yang pragmatis, belum menyentuh aspek mendasarnya. Inilah solusi pragmatis setengah hati yang menjadi ciri khas sistem kapitalis dalam menyelesaikan masalah. Penyalahgunaan narkoba diatasi dengan metode substitusi (pengganti). Maraknya prostitusi diatasi dengan lokalisasi. Gencarnya seks bebas diatasi dengan kondomisasi. Jadi, yang pemerintah kejar bukan kebaikan masyarakat, tetapi hanya penurunan pengidap HIV/AIDS agar sesuai dengan poin 6 agenda MDGs (Millenium Development Goals) atau Tujuan Pembangunan Milenium. Inilah salah satu bentuk penjajahan baru dari negara kapitalis yang dilegitimasi oleh PBB. Dengan demikian negara maju bisa dengan bebas mengintevensi kebijakan negara berkembang dengan dalih penyelesaian masalah sosial. Padahal solusinya tampak setengah hati dan menambah parah masalah dalam negeri.
Menepis Diskriminasi Rohis Satu hal yang tidak disentuh secara intensif oleh Pemerintah dalam mengatasi masalah kenakalan/kejahatan remaja, yaitu edukasi bermutu tinggi; sebuah konsep pembelajaran bagi remaja yang bisa mempengaruhi pola pikir dan pola sikap mereka ke arah positif. Tidak sekadar penyuluhan akibat seks bebas atau sosialisasi bahaya narkoba, tetapi pembentukan pemahaman positif pada diri remaja yang terus-menerus. Dengan begitu mereka mempunyai dorongan sangat kuat untuk menjauhi perilaku yang bisa mengantarkan mereka pada kenakalan/kejahatan. Dorongan yang lebih kuat dari solidaritas teman, pertimbangan materi, atau ikatan emosional, inilah yang didapat siswa dari kegiatan rohis di sekolah maupun kampus.
Rohis dapat meningkatkan sikap religius siswa. Melalui rohis siswa memiliki kesempatan yang cukup besar untuk mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan dan meningkatkan pemahaman keislaman melalui kajian hadis, fikih, akidah, akhlak dan tarikh.  Bukan hanya itu, kajian khusus untuk membahas problematika remaja dengan cara pandang Islam menjadikan para siswa memiliki kepribadian yang Islami (syakhshiyah Islamiyah). Mereka menjadi siswa yang memahami halal dan haram, terikat dengan aturan agama dan taat beribadah. Semua itu akan menjadi pondasi awal bagi mereka jika kelak menjadi pemimpin ataupun yang dipimpin di dalam masyarakat. Kehadiran rohis setidaknya menjadi solusi untuk mengeliminasi masalah kenakalan remaja yang terus meningkat.
Sayangnya, pada tanggal 5 September 2012, Metro TV bikin ulah yang mencoreng nama baik organisasi kerohanian Islam alias rohis. Dalam sebuah tayangan program “Metro Hari Ini”, stasiun TV yang digawangi Surya Paloh ini memaparkan sebuah ilustrasi mengenai pola rekrutmen ‘teroris muda’ yang dikaitkan dengan kegiatan ekstra kulikuler berbasis mesjid yang ada di sekolah.
Apa yang disampaikan Pranowo  dan Metro TV semakin menguatkan keyakinan banyak orang bahwa war on terrorism is war against Islam. Ini adalah stempel negatif yang dimaksudkan untuk membunuh karakter rohis, aktivisnya dan ajaran Islam. Stigma ini adalah teror yang menakut-nakuti agar para siswa menjauh dari rohis; teror bagi orangtua siswa agar tidak mengizinkan putra-putrinya aktif bersama rohis; juga teror terhadap institusi sekolah agar menutup kegiatan rohis jika tidak ingin dicap melindungi base camp pembinaan teroris.
Jika Pemerintah punya kemauan kuat untuk mengatasi kenakalan/kejahatan remaja, sejatinya tak memandang sebelah mata keberadaan rohis, apalagi sampai mengkaitkannya sebagai sarang teroris. Justru rohis dengan segudang kegiatannya akan membantu kerja Pemerintah dalam mengedukasi remaja untuk menjauhi pelanggaran aturan agama, norma masyarakat, maupun hukum negara. Dengan begitu remaja bisa membingkai masa depan kepemimpinannya dengan cerah dan tanpa kusut, seperti harapan pemerintah dan kita semua. Rohis mesti tetap eksis! [341; Guslaeni Hafid (Anggota LDS DPP HTI, Pimred Majalah Remaja Islam D’Rise)]. [majalah-al-waie, nopember 2012/syabab.com]
Manusia semasa hidupnya selalu akan mendapat pengaruh dari keluarga, sekolah, dan dari masyarakat luas. Ketiga lingkungan ini sering disebut sebagai tripusat pendidikan, yang akan mempengaruhi manusia secara bervariasi. Ihsan, F, (2001) menjelaskan bahwa manusia memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pengalaman. Pengalaman itu terjadi karena interaksi manusia dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial manusia secara efisien dan efektif, itulah yang disebut dengan pendidikan.
Sukmadinata, N.S (2003) menyatakan lingkungan sosial merupakan lingkungan pergaulan antar sesama manusia, pergaulan antara pendidik dan peserta didik serta orang-orang lainnya yang terlibat dalam interaksi pendidikan. Interaksi pendidikan dipengaruhi oleh karakteristik pribadi dan corak pergaulan antar orang-orang yang terlibat dalam interaksi tersebut, baik pihak peserta didik (siswa/mahasiswa) maupun para pendidik (guru/dosen) dan pihak lainnya. Lingkungan-lingkungan tersebut akan memberikan pengaruh yang cukup besar dalam proses belajar dan hasil dari pendidikan.
Proses pendidikan selalu berlangsung dalam suatu lingkungan, yaitu lingkungan pendidikan. Lingkungan fisik terdiri atas lingkungan alam dan lingkungan buatan manusia, yang merupakan tempat sekaligus memberikan dukungan dan juga hambatan bagi berlangsungnya proses pendidikan. Proses pendidikan mendapatkan dukungan dari lingkungan fisik berupa sarana, prasarana serta fasilitas yang digunakan. Tersedianya sarana, prasarana dan juga fasilitas fisik dalam jenis jumlah dan kaulitas yang memadai akan sangat mendukung berlangsungnya proses pendidikan yang efektif. Kekurangan sarana, prasarana dan fasilitas fisik dapat menghambat pencapaian hasil yang maksimal.
Proses belajar terjadi dalam interaksi dengan lingkungan. Namun, tidak sembarang berada ditengah-tengah lingkungan, dan menjamin adanya proses belajar. Orangnya harus aktif sendiri, melibatkan diri dengan segala pemikiran, kemauan dan perasaannya. Winkel (2004) Menjelaskan bahwa “belajar adalah sebagai suatu aktifitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan,yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif menetap (konsisten) dan berbekas”.
Secara umum dapat dikatakan bahwa siswa telah banyak mengalami proses belajar sebagai usaha untuk memperoleh hasil yang maksimal, namun hasil yang mereka capai selalu berbeda. Apakah itu perbedaan waktu dalam belajar, maupun perbedaan dalam hal perolehan nilai.
Adanya perbedaan-perbedaan tersebut, pada dasarnya disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi siswa dalam kegiatan belajarnya. Dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi siswa dalam proses belajarnya, salah satu diantaranya adalah “lingkungan”.
Rohani dan Ahmadi (1995) menjelaskan bahwa: Lingkungan adalah sesuatu yang ada diluar dari individu. Adapun lingkungan pengajaran merupakan apa yang bisa mendukung pengajaran itu sendiri yang dapat difungsikan sebagai “sumber pengajaran” atau “sumber belajar”. ….Pengajaran yang tidak menghiraukan prinsip lingkungan yang akan mengakibatkan peserta didik tidak mampu beradaptasi dengan linkungan dimana dia hidup, pengetahuan yang mungkin mereka kuasai belum menjamin pada bagaimana ia menerapkan pengetahuannya itu bagi lingkungan yang ia hadapi.
Sekolah SMA Dhamma Sekha Dhamma Mitta Alamat :Lk VI.Gg.kebun sayur 13 Deli Tua Barat,Kec.Deli Tua Kab.Deli Serdang Sumatera Utara, secara umum merupakan sarana tempat pendidikan yang baik dengan sarana  prasarana yang lengkap dan keadaan gedung yang kokoh serta laboratorium yang tersedia seperti : laboratorium biologi, fisika, kimia, bahasa, dan komputer. Kondisi lingkungan sekolah yang mendukung dalam proses belajar mengajar yang jauh dari jalan raya sehingga terhindar dari kebisingan kendaraan bermotor.
Beberapa tanggapan dari para siswa menjelaskan bahwa sekolah tersebut merupakan tempat sarana pendidikan yang baik, walaupun dengan biaya yang tidak begitu mahal yang dibebankan kepada siswa. Hubungan guru antar siswa yang terjalin dengan baik dan guru- guru yang berpengalaman turut mendukung siswa belajar dengan baik serta aturan – aturan yang diterapkan sekolah yang ketat membuat siswa harus disiplin dengan baik.
Berdasarkan kutipan di atas dapatlah dijelaskan, bahwa lingkungan disekitar manusia selalu mempunyai keterkaitan segala macam bentuk perbuatan yang dilakukan oleh manusia dalam mengembangkan tingkah lakunya, dalam hal ini perbuatan belajar termasuk di dalamnya.
Dari uraian di atas ditetapkan judul penelitian, yaitu: Kenakalan Remaja Pada Keluarga Yang Kurang Harmonis Siswa SMA  Dhamma Sekha Dhamma Mitta
Dewasa ini banyak kita jumpai banyak orang yang mengalami depresi,bahkan remaja juga bisa mengalami depresi.depresi pada remaja bisa terjadi mungkin ada kenakalan Remaja Pada Keluarga Yang Kurang Harmonis  karena Di dalam keluarga, orang tua lah yang berperan dalam mengasuh, membimbing, dan membantu mengarahkan remaja . Meskipun ada faktor lain yang bisa menyebabkan depresi pada remaja ataupun remaja misalnya lingkungan, tetapi keluarga tetap merupakan pilar utama dalam membentuk kepribadian remaja.Keluarga merupakan lingkungan kehidupan yang dikenal remaja untuk pertama kalinya, dan untuk seterusnya remaja banyak belajar di dalam kehidupan keluarga. Karena itu peranan orang tua dianggap paling besar pengaruhnya terhadap terbentuknya kepribadian pada diri remaja. Sikap orang tua terutama tercermin pada pola asuhannya, di mana mempunyai sumbangan yang cukup besar dalam perkembangan kepribadian remaja.
Peran keluarga menjadi penting untuk mendidik remaja baik dalam sudut tinjauan agama, tinjauan sosial kemasyarakatan maupun tinjauan individu. Jika pendidikan keluarga dapat berlangsung dengan baik maka mampu menumbuhkan perkembangan kepribadian remaja menjadi manusia dewasa yang memiliki sikap positif. kepribadian yang baik, potensi jasmani dan rohani serta intelektual yang berkembang secara optimal.
Tujuan dalam membina kehidupan keluarga adalah agar dapat melahirkan generasi baru sebagai penerus perjuangan hidup orang tua. Untuk itulah orang tua mempunyai tanggung jawab dan kewajiban dalam pendidikan anak-anaknya.
oleh karena itu,diperlukan cara yang tepat untuk masa depan remaja, sehingga terbentuklah suatu kepribadian remaja yang diharapkan orang tua sebagai harapan masa depan dan bebas dari gangguan depresi.
2.Identifikasi Masalah
Banyak masalah yang dapat di identifikasi yang dapat mempengaruhi kenakalan Remaja siswa, salah satunya adalah faktor lingkungan yang meliputi:
1.      Faktor Keluarga meliputi : faktor dukungan dari orang tua, suasana dalam rumah tangga, dan keadaan sosial ekonomi keluarga.
2.      Lingkungan Sekolah meliputi : lokasi dan keadaan gedung, kelengkapan sumber dan sarana belajar, faktor guru yang meliputi metode mengajar, dan relasi guru dengan siswa.
3.      Linkungan masyarakat meliputi : mass media, pergaulan di masyarakat serta kegiatan – kegiatan dalam bermasyarakat.
3.Batasan Masalah
Mengingat demikian luasnya permasalahan sedangkan kemampuan  terbatas, maka dalam penelitian ini dibuat batasan masalah yakni tentang faktor lingkungan pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat) yang berkaitan dengan perolehan hasil belajar bersifat kognitif Kenakalan Remaja Pada Keluarga Yang Kurang Harmonis melalui perolehan nilai hasil belajar SMA Dhamma Sekha Dhamma Mitta
4.Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penilitian ini adalah untuk mengetahui :
Apakah ada Kenakalan Remaja Pada Keluarga Yang Kurang Harmonis  siswa SMA Dhamma Sekha Dhamma Mitta.
5.Tujuan Penelitian
Mendapatkan data yang empiris tentang Kenakalan Remaja Pada Keluarga Yang Kurang Harmonis SMA Dhamma Sekha Dhamma Mitta
6.Manfaat Peneltian
Hasil penilitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, antara lain:
1.      Sebagai langkah awal bagi peneliti, dalam meneliti dan memahami kaitan Kenakalan Remaja Pada Keluarga Yang Kurang Harmonis siswa SMA Dhamma Sekha Dhamma Mitta.
2.      Sebagai bahan masukan, pertimbangan dan juga sebagai bahan pelajaran bagi mahasiswa sebagai calon guru dalam memahami kaitan lingkungan tersebut terhadap hasil belajar siswa sehingga mutu pendidikan dapat ditingkatkan.
3.      Sebagai bahan masukan bagi sekolah tentang keberadaannya sebagai lembaga dan lingkungan pendidikan yang selalu berhubungan dengan keberhasilan siswa dalam kegiatan pembelajaran.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.Kerangka Teoritis
A. Definisi Kenakalan Remaja
bahasa latin “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal, pelanggar aturan,Kenakalan remaja biasa disebut dengan istilah Juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis, yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquent berasal dari pembuat ribut, pengacau peneror, durjana dan lain sebagainya. Juvenile delinquency atau kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang. Istilah kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat
diterima sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal.(Kartono, 2003).
Mussen dkk (1994), mendefinisikan kenakalan remaja sebagai perilaku yang melanggar hukum atau kejahatan yang biasanya dilakukan oleh anak remaja yang berusia 16-18 tahun, jika perbuatan ini dilakukan oleh orang dewasa maka akan mendapat sangsi hukum. Hurlock (1973) juga menyatakan kenakalan remaja adalah tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh remaja, dimana tindakan tersebut dapat membuat seseorang individu yang melakukannya masuk penjara.
Sama halnya dengan Conger (1976) & Dusek (1977) mendefinisikan kenakalan remaja sebagai suatu kenakalan yang dilakukan oleh seseorang individu yang berumur di bawah 16 dan 18 tahun yang melakukan perilaku yang dapat dikenai sangsi atau hukuman.
Sarwono (2002) mengungkapkan kenakalan remaja sebagai tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana, sedangkan Fuhrmann (1990) menyebutkan bahwa kenakalan remaja suatu tindakan anak muda yang dapat merusak dan menggangu, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Santrock (1999) juga menambahkan kenakalan remaja sebagai kumpulan dari berbagai perilaku, dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial sampai tindakan kriminal.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kecenderungan kenakalan remaja adalah kecenderungan remaja untuk melakukan tindakan yang melanggar aturan yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain yang dilakukan remaja di bawah umur 17 tahun.
B. Bentuk dan Aspek-Aspek Kenakalan Remaja
Menurut Kartono (2003), bentuk-bentuk perilaku kenakalan remaja dibagi menjadi empat, yaitu :
a. Kenakalan terisolir (Delinkuensi terisolir)
Kelompok ini merupakan jumlah terbesar dari remaja nakal. Pada umumnya mereka tidak menderita kerusakan psikologis. Perbuatan nakal mereka didorong oleh faktor-faktor berikut :
1) Keinginan meniru dan ingin konform dengan gangnya, jadi tidak ada motivasi, kecemasan atau konflik batin yang tidak dapat diselesaikan.
2) Mereka kebanyakan berasal dari daerah kota yang transisional sifatnya yang memiliki subkultur kriminal. Sejak kecil remaja melihat adanya gang-gang kriminal, sampai kemudian dia ikut bergabung. Remaja merasa diterima, mendapatkan kedudukan hebat, pengakuan dan prestise tertentu.
3) Pada umumnya remaja berasal dari keluarga berantakan, tidak harmonis, dan mengalami banyak frustasi. Sebagai jalan keluarnya, remaja memuaskan semua kebutuhan dasarnya di tengah lingkungan kriminal. Gang remaja nakal memberikan alternatif hidup yang menyenangkan.
4) Remaja dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit sekali mendapatkan supervisi dan latihan kedisiplinan yang teratur, sebagai akibatnya dia tidak sanggup menginternalisasikan norma hidup normal. Ringkasnya, delinkuen terisolasi itu mereaksi terhadap tekanan dari lingkungan sosial, mereka mencari panutan dan rasa aman dari kelompok gangnya, namun pada usia dewasa, mayoritas remaja nakal ini meninggalkan perilaku kriminalnya, paling sedikit 60 % dari mereka menghentikan perilakunya pada usia 21-23 tahun. Hal ini disebabkan oleh proses pendewasaan dirinya sehingga remaja menyadari adanya tanggung jawab sebagai orang dewasa yang mulai memasuki peran sosial yang baru.
b. Kenakalan neurotik (Delinkuensi neurotik)
Pada umumnya, remaja nakal tipe ini menderita gangguan kejiwaan yang cukup serius, antara lain berupa kecemasan, merasa selalu tidak aman, merasa bersalah dan berdosa dan lain sebagainya. Ciri - ciri perilakunya adalah :
1) Perilaku nakalnya bersumber dari sebab-sebab psikologis yang sangat dalam, dan bukan hanya berupa adaptasi pasif menerima norma dan nilai subkultur gang yang kriminal itu saja.
2) Perilaku kriminal mereka merupakan ekspresi dari konflik batin yang belum terselesaikan, karena perilaku jahat mereka merupakan alat pelepas ketakutan, kecemasan dan kebingungan batinnya.
3) Biasanya remaja ini melakukan kejahatan seorang diri, dan mempraktekkan jenis kejahatan tertentu, misalnya suka memperkosa kemudian membunuh korbannya, kriminal dan sekaligus neurotik.
4) Remaja nakal ini banyak yang berasal dari kalangan menengah, namun pada umumnya keluarga mereka mengalami banyak ketegangan emosional yang parah, dan orangtuanya biasanya juga neurotik atau psikotik.
5) Remaja memiliki ego yang lemah, dan cenderung mengisolir diri dari lingkungan.
6) Motif kejahatannya berbeda-beda.
7) Perilakunya menunjukkan kualitas kompulsif (paksaan).
c. Kenakalan psikotik (Delinkuensi psikopatik) Delinkuensi psikopatik ini sedikit jumlahnya, akan tetapi dilihat dari kepentingan umum dan segi keamanan, mereka merupakan oknum criminal yang paling berbahaya. Ciri tingkah laku mereka adalah :
1) Hampir seluruh remaja delinkuen psikopatik ini berasal dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang ekstrim, brutal, diliputi banyak pertikaian keluarga, berdisiplin keras namun tidak konsisten, dan orangtuanya selalu menyia-nyiakan mereka, sehingga mereka tidak mempunyai kapasitas untuk menumbuhkan afeksi dan tidak mampu menjalin hubungan emosional yang akrab dan baik dengan orang lain.
2) Mereka tidak mampu menyadari arti bersalah, berdosa, atau melakukan pelanggaran.
3) Bentuk kejahatannya majemuk, tergantung pada suasana hatinya yang kacau dan tidak dapat diduga. Mereka pada umumnya sangat agresif dan impulsif, biasanya mereka residivis yang berulang kali keluar masuk penjara, dan sulit sekali diperbaiki.
4) Mereka selalu gagal dalam menyadari dan menginternalisasikan norma-norma sosial yang umum berlaku, juga tidak peduli terhadap norma subkultur gangnya sendiri.
5) Kebanyakan dari mereka juga menderita gangguan neurologis, sehingga mengurangi kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri. Psikopat merupakan bentuk kekalutan mental dengan karakteristik sebagai berikut: tidak memiliki pengorganisasian dan integrasi diri, orangnya tidak pernah bertanggung jawab secara moral, selalu mempunyai konflik dengan
norma sosial dan hukum. Mereka sangat egoistis, anti sosial dan selalu menentang apa dan siapapun. Sikapnya kasar, kurang ajar dan sadis terhadap siapapun tanpa sebab.
d. Kenakalan defek moral (Delinkuensi defek moral)
Defek (defect, defectus) artinya rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat, kurang. Delinkuensi defek moral mempunyai ciri-ciri: selalu melakukan tindakan anti sosial, walaupun pada dirinya tidak terdapat penyimpangan, namun ada disfungsi pada inteligensinya. Kelemahan para remaja delinkuen tipe ini adalah mereka tidak mampu mengenal dan memahami tingkah lakunya
yang jahat, juga tidak mampu mengendalikan dan mengaturnya, mereka selalu ingin melakukan perbuatan kekerasan, penyerangan dan kejahatan, rasa kemanusiaannya sangat terganggu, sikapnya sangat dingin tanpa afeksi jadi ada kemiskinan afektif dan sterilitas emosional. Terdapat kelemahan pada dorongan instinktif yang primer, sehingga pembentukan super egonya sangat lemah. Impulsnya tetap pada taraf primitif sehingga sukar dikontrol dan dikendalikan. Mereka merasa cepat puas dengan prestasinya, namun perbuatan mereka sering disertai agresivitas yang meledak. Remaja yang defek moralnya biasanya menjadi penjahat yang sukar diperbaiki. Mereka adalah para residivis yang melakukan kejahatan karena didorong oleh naluri rendah, impuls dan kebiasaan primitif, di antara para penjahat residivis remaja, kurang lebih 80%
mengalami kerusakan psikis, berupa disposisi dan perkembangan mental yang salah, jadi mereka menderita defek mental. Hanya kurang dari 20 % yang menjadi penjahat disebabkan oleh faktor sosial atau lingkungan sekitar. Jensen (dalam Sarwono, 2002) membagi kenakalan remaja menjadi empat bentuk yaitu:
a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain- lain.
b. Kenakalan yang meninbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan dan lain- lain.
c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat, hubungan seks bebas.
d. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai
pelajar dengan cara membolos, minggat dari rumah, membantah perintah. Hurlock (1973) berpendapat bahwa kenakalan yang dilakukan remaja terbagi dalam empat bentuk, yaitu:
a. Perilaku yang menyakiti diri sendiri dan orang lain.
b. Perilaku yang membahayakan hak milik orang lain, seperti merampas, mencuri, dan mencopet.
c. Perilaku yang tidak terkendali, yaitu perilaku yang tidak mematuhi orangtua dan guru seperti membolos, mengendarai kendaran dengan tanpa surat izin, dan kabur dari rumah.
d. Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, seperti mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, memperkosa dan menggunakan senjata tajam.
Dari beberapa bentuk kenakalan pada remaja dapat disimpulkan bahwa semuanya menimbulkan dampak negatif yang tidak baik bagi dirinya sendiri dan orang lain, serta lingkungan sekitarnya. Adapun aspek-aspeknya diambil dari
pendapat Hurlock (1973) & Jensen (dalam Sarwono, 2002). Terdiri dari aspek perilaku yang melanggar aturan dan status, perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, perilaku yang mengakibatkan korban materi, dan perilaku yang mengakibatkan korban fisik.
C. Karakteristik Remaja Nakal
Menurut Kartono (2003), remaja nakal itu mempunyai karakteristik umum yang sangat berbeda dengan remaja tidak nakal. Perbedaan itu mencakup :
a. Perbedaan struktur intelektual
Pada umumnya inteligensi mereka tidak berbeda dengan inteligensi remaja yang normal, namun jelas terdapat fungsi- fungsi kognitif khusus yang berbeda biasanya remaja nakal ini mendapatkan nilai lebih tinggi untuk tugas-tugas prestasi daripada nilai untuk ketrampilan verbal (tes Wechsler). Mereka kurang toleran terhadap hal-hal yang ambigius biasanya mereka kurang
mampu memperhitungkan tingkah laku orang lain bahkan tidak menghargai pribadi lain dan menganggap orang lain sebagai cerminan dari diri sendiri.
b. Perbedaan fisik dan psikis
Remaja yang nakal ini lebih “idiot secara moral” dan memiliki perbedaan cirri karakteristik yang jasmaniah sejak lahir jika dibandingkan dengan remaja normal. Bentuk tubuh mereka lebih kekar, berotot, kuat, dan pada umumnya bersikap lebih agresif. Hasil penelitian juga menunjukkan ditemukannya fungsi fisiologis dan neurologis yang khas pada remaja nakal ini, yaitu: mereka kurang bereaksi terhadap stimulus kesakitan dan menunjukkan ketidakmatangan jasmaniah atau anomali perkembangan tertentu.
c. Ciri karakteristik individual
Remaja yang nakal ini mempunyai sifat kepribadian khusus yang menyimpang, seperti :
1) Rata-rata remaja nakal ini hanya berorientasi pada masa sekarang, bersenang-senang dan puas pada hari ini tanpa memikirkan masa depan.
2) Kebanyakan dari mereka terganggu secara emosional.
3) Mereka kurang bersosialisasi dengan masyarakat normal, sehingga tidak mampu mengenal norma-norma kesusilaan, dan tidak bertanggung jawab secara sosial.
4) Mereka senang menceburkan diri dalam kegiatan tanpa berpikir yang
merangsang rasa kejantanan, walaupun mereka menyadari besarnya risiko
dan bahaya yang terkandung di dalamnya.
5) Pada umumnya mereka sangat impulsif dan suka tantangan dan bahaya.
6) Hati nurani tidak atau kurang lancar fungsinya.
7) Kurang memiliki disiplin diri dan kontrol diri sehingga mereka menjadi liar dan jahat. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja nakal biasanya berbeda dengan remaja yang tidak nakal. Remaja nakal biasanya lebih ambivalen terhadap otoritas, percaya diri, pemberontak, mempunyai control diri yang kurang, tidak mempunyai orientasi pada masa depan dan kurangnya kemasakan sosial, sehingga sulit bagi mereka untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosial.
D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecenderungan Kenakalan Remaja
Faktor-faktor kenakalan remaja menurut Santrock, (1996) lebih rinci dijelaskan sebagai berikut :
a. Identitas
Menurut teori perkembangan yang dikemukakan oleh Erikson (dalam Santrock, 1996) masa remaja ada pada tahap di mana krisis identitas versus difusi identitas harus di atasi. Perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi terjadi pada kepribadian remaja: (1) terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya dan (2) tercapainya identitas peran, kurang lebih dengan cara menggabungkan motivasi, nilai-nilai, kemampuan dan gaya yang dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja. Erikson percaya bahwa delinkuensi pada remaja terutama ditandai dengan kegagalan remaja untuk mencapai integrasi yang kedua, yang melibatkan aspek-aspek peran identitas. Ia mengatakan bahwa remaja yang memiliki masa balita, masa kanak-kanak atau masa remaja yang membatasi mereka dari berbagai peranan sosial yang dapat diterima atau yang membuat mereka merasa tidak mampu memenuhi tuntutan yang dibebankan pada mereka, mungkin akan memiliki perkembangan identitas yang negatif. Beberapa dari remaja ini mungkin akan mengambil bagian dalam tindak kenakalan, oleh
karena itu bagi Erikson, kenakalan adalah suatu upaya untuk membentuk suatu identitas, walaupun identitas tersebut negative
b. Kontrol diri
Kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Beberapa anak gagal dalam mengembangkan kontrol diri yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan. Kebanyakan remaja telah mempelajari perbedaan antara tingkah laku yang dapat diterima dan tingkah
laku yang tidak dapat diterima, namun remaja yang melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini. Mereka mungkin gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, atau mungkin mereka sebenarnya sudah mengetahui perbedaan antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol yang memadai dalam menggunakan perbedaan itu
untuk membimbing tingkah laku mereka. Hasil penelitian yang dilakukan baru-baru ini Santrock (1996) menunjukkan bahwa ternyata kontrol diri mempunyai peranan penting dalam kenakalan remaja. Pola asuh orangtua yang efektif di masa kanak-kanak (penerapan strategi yang konsisten, berpusat pada anak dan tidak aversif) berhubungan dengan dicapainya pengaturan diri oleh anak. Selanjutnya, dengan memiliki ketrampilan ini sebagai atribut internal akan berpengaruh pada menurunnya tingkat kenakalan remaja.
c. Usia
Munculnya tingkah laku anti sosial di usia dini berhubungan dengan penyerangan serius nantinya di masa remaja, namun demikian tidak semua anak yang bertingkah laku seperti ini nantinya akan menjadi pelaku kenakalan, seperti hasil penelitian dari McCord (dalam Kartono, 2003) yang menunjukkan bahwa pada usia dewasa, mayoritas remaja nakal tipe terisolir meninggalkan tingkah laku kriminalnya. Paling sedikit 60 % dari mereka menghentikan perbuatannya pada usia 21 sampai 23 tahun.
d. Jenis kelamin
Remaja laki- laki lebih banyak melakukan tingkah laku anti sosial daripada perempuan. Menurut catatan kepolisian Kartono (2003) pada umumnya jumlah remaja laki- laki yang melakukan kejahatan dalam kelompok gang diperkirakan 50 kali lipat daripada gang remaja perempuan.
e. Harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah
Remaja yang menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan yang rendah terhadap pendidikan di sekolah. Mereka merasa bahwa sekolah tidak begitu bermanfaat untuk kehidupannya sehingga biasanya nilai-nilai mereka terhadap sekolah cenderung rendah. Mereka tidak mempunyai motivasi untuk sekolah. Riset yang dilakukan oleh Janet Chang dan Thao N. Lee (2005) mengenai pengaruh orangtua, kenakalan teman sebaya, dan sikap sekolah terhadap prestasi akademik siswa di Cina, Kamboja, Laos, dan remaja Vietnam menunjukkan bahwa faktor yang berkenaan dengan orangtua secara umum tidak mendukung banyak, sedangkan sikap sekolah ternyata dapat menjembatani hubungan antara kenakalan teman sebaya dan prestasi
akademik.
f. Proses keluarga
Faktor keluarga sangat berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan remaja. Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua terhadap aktivitas anak, kurangnya penerapan disiplin yang efektif, kurangnya kasih sayang orangtua dapat menjadi pemicu timbulnya kenakalan remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Gerald Patterson dan rekan-rekannya (dalam
Santrock, 1996) menunjukkan bahwa pengawasan orangtua yang tidak memadai terhadap keberadaan remaja dan penerapan disiplin yang tidak efektif dan tidak sesua i merupakan faktor keluarga yang penting dalam menentukan munculnya kenakalan remaja. Perselisihan dalam keluarga atau stress yang dialami keluarga juga berhubungan dengan kenakalan. Faktor genetik juga termasuk pemicu timbulnya kenakalan remaja, meskipun persentasenya tidak begitu besar.
g. Pengaruh teman sebaya
Memiliki teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan risiko remaja untuk menjadi nakal. Pada sebuah penelitian Santrock (1996) terhadap 500 pelaku kenakalan dan 500 remaja yang tidak melakukan kenakalan di Boston, ditemukan persentase kenakalan yang lebih tinggi pada remaja yang memiliki hubungan reguler dengan teman sebaya yang melakukan kenakalan.
h. Kelas sosial ekonomi
Ada kecenderungan bahwa pelaku kenakalan lebih banyak berasal dari kelas sosial ekonomi yang lebih rendah dengan perbandingan jumlah remaja nakal di antara daerah perkampungan miskin yang rawan dengan daerah yang memiliki banyak privilege diperkirakan 50 : 1 (Kartono, 2003). Hal ini disebabkan kurangnya kesempatan remaja dari kelas sosial rendah untuk mengembangkan ketrampilan yang diterima oleh masyarakat. Mereka mungkin saja merasa bahwa mereka akan mendapatkan perhatian dan status dengan cara melakukan tindakan anti sosial. Menjadi “tangguh” dan “maskulin” adalah contoh status yang tinggi bagi remaja dari kelas sosial yang lebih rendah, dan status seperti ini sering ditentukan oleh keberhasilan remaja
dalam melakukan kenakalan dan berhasil meloloskan diri setelah melakukan kenakalan.
i. Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal
Komunitas juga dapat berperan serta dalam memunculkan kenakalan remaja. Masyarakat dengan tingkat kriminalitas tinggi memungkinkan remaja mengamati berbagai model yang melakukan aktivitas kriminal dan memperoleh hasil atau penghargaan atas aktivitas kriminal mereka.
Masyarakat seperti ini sering ditandai dengan kemiskinan, pengangguran, dan perasaan tersisih dari kaum kelas menengah. Kualitas sekolah, pendanaan pendidikan, dan aktivitas lingkungan yang terorganisir adalah faktor- factor lain dalam masyarakat yang juga berhubungan dengan kenakalan remaja.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang paling berperan menyebabkan timbulnya kecenderungan kenakalan remaja adalah factor keluarga yang kurang harmonis dan faktor lingkungan terutama teman sebaya yang kurang baik, karena pada masa ini remaja mulai bergerak meninggalkan rumah dan menuju teman sebaya, sehingga minat, nilai, dan norma yang ditanamkan oleh kelompok lebih menentukan perilaku remaja dibandingkan
dengan norma, nilai yang ada dalam keluarga dan masyarakat
A. Keharmonisan Keluarga.
Keluarga merupakan satu organisasi sosial yang paling penting dalam kelompok sosial dan keluarga merupakan lembaga di dalam masyarakat yang paling utama bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan sosial dan kelestarian biologis anak manusia (Kartono, 1977). Sedangkan menurut Hawari (1997) keharmonisan keluarga itu akan terwujud apabila masing-masing unsure dalam keluarga itu dapat berfungsi dan berperan sebagimana mestinya dan tetap
berpegang teguh pada nilai-nilai agama kita, maka interaksi sosial yang harmonis antar unsur dalam keluarga itu akan dapat diciptakan. Dalam kehidupan berkeluarga antara suami istri dituntut adanya hubungan yang baik dalam arti diperlukan suasana yang harmonis yaitu dengan menciptakan saling pengertian, saling terbuka, saling menjaga, saling menghargai dan saling memenuhi kebutuhan (Anonim, 1985)
Basri (1999) menyatakan bahwa setiap orangtua bertanggung jawab juga memikirkan dan mengusahakan agar senantiasa terciptakan dan terpelihara suatu hubungan antara orangtua dengan anak yang baik, efektif dan menambah kebaikan dan keharmonisan hidup dalam keluarga, sebab telah menjadi bahan kesadaran para orangtua bahwa hanya dengan hubungan yang baik kegiatan pendidikan dapat dilaksanakan dengan efektif dan dapat menunjang terciptanya kehidupan keluarga yang harmonis. Selanjutnya Hurlock (1973) menyatakan bahwa anak yang hubungan perkawinan orangtuanya bahagia akan mempersepsikan rumah mereka sebagai tempat yang membahagiakan untuk hidup karena makin sedikit masalah antar orangtua, semakin sedikit masalah yang dihadapi anak, dan sebaliknya hubungan keluarga yang buruk akan berpengaruh kepada seluruh anggota keluarga. Suasana keluarga ynag tercipta adalah tidak
menyenangkan, sehingga anak ingin keluar dari rumah sesering mungkin karena secara emosional suasana tersebut akan mempengaruhi masing-masing anggota keluarga untuk bertengkar dengan lainnya. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan persepsi keharmonisan keluarga adalah persepsi terhadap situasi dan kondisi dalam keluarga dimana di
dalamnya tercipta kehidupan beragama yang kuat, suasana yang hangat, saling menghargai, saling pengertian, saling terbuka, saling menjaga dan diwarnai kasih sayang dan rasa saling percaya sehingga memungkinkan anak untuk tumbuh dan berkembang secara seimbang.
C. Aspek-Aspek Keharmonisan Keluarga
Hawari (dalam Murni, 2004)) mengemukakan enam aspek sebagai suatu pegangan hubungan perkawinan bahagia adalah:
a. Menciptakan kehidupan beragama dalam keluarga.
Sebuah keluarga yang harmonis ditandai dengan terciptanya kehidupan beragama dalam rumah tersebut. Hal ini penting karena dalam agama terdapat nilai-nilai moral dan etika kehidupan. Berdasarkan beberapa penelitian ditemukan bahwa keluarga yang tidak religius yang penanaman komitmennya rendah atau tanpa nilai agama sama sekali cenderung terjadi pertentangan
konflik dan percekcokan dalam keluarga, dengan suasana yang seperti ini, maka anak akan merasa tidak betah di rumah dan kemungkinan besar anak akan mencari lingkungan lain yang dapat menerimanya.
b. Mempunyai waktu bersama keluarga
Keluarga yang harmonis selalu menyediakan waktu untuk bersama keluarganya, baik itu hanya sekedar berkumpul, makan bersama, menemani anak bermain dan mendengarkan masalah dan keluhan-keluhan anak, dalam kebersamaan ini anak akan merasa dirinya dibutuhkan dan diperhatikan oleh orangtuanya, sehingga anak akan betah tinggal di rumah.
c. Mempunyai komunikasi yang baik antar anggota keluarga
Komunikasi merupakan dasar bagi terciptanya keharmonisan dalam keluarga. Meichati (dalam Murni, 2004) mengatakan bahwa remaja akan merasa aman apabila orangtuanya tampak rukun, karena kerukunan tersebut akan memberikan rasa aman dan ketenangan bagi anak, komunikasi yang baik dalam keluarga juga akan dapat membantu remaja untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya di luar rumah, dalam hal ini selain berperan sebagai orangtua, ibu dan ayah juga harus berperan sebagai teman, agar anak lebih leluasa dan terbuka dalam menyampaikan semua permasalahannya.
d. Saling menghargai antar sesama anggota keluarga
Furhmann (dalam Murni, 2004) mengatakan bahwa keluarga yang harmonis adalah keluarga yang memberikan tempat bagi setiap anggota keluarga menghargai perubahan yang terjadi dan mengajarkan ketrampilan berinteraksi sedini mungkin pada anak dengan lingkungan yang lebih luas.
e. Kualitas dan kuantitas konflik yang minim.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam menciptakan keharmonisan keluarga adalah kualitas dan kuantitas konflik yang minim, jika dalam keluarga sering terjadi perselisihan dan pertengkaran maka suasana dalam keluarga tidak lagi menyenangkan. Dalam keluarga harmonis setiap anggota keluarga berusaha menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dan mencari
penyelesaian terbaik dari setiap permasalahan.
f. Adanya hubungan atau ikatan yang erat antar anggota keluarga.
Hubungan yang erat antar anggota keluarga juga menentukan harmonisnya sebuah keluarga, apabila dalam suatu keluarga tidak memiliki hubungan yang erat maka antar anggota keluarga tidak ada lagi rasa saling memiliki dan rasa kebersamaan akan kurang. Hubungan yang erat antar anggota keluarga ini dapat diwujudkan dengan adanya kebersamaan, komunikasi yang baik antar
anggota keluarga dan saling menghargai. Keenam aspek tersebut mempunyai hubungan yang erat satu dengan yang lainnya. Proses tumbuh kembang anak sangat ditentukan dari berfungsi
tidaknya keenam aspek di atas, untuk menciptakan keluarga harmonis peran dan fungsi orangtua sangat menentukan, keluarga yang tidak bahagia atau tidak harmonis akan mengakibatkan persentase anak menjadi nakal semakin tinggi (Hawari, 1997).
D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keharmonisan Keluarga
a. Komunikasi interpersonal
Komunikasi interpersonal merupakan faktor yang sangat mempengaruhi keharmonisan keluarga, karena menurut Hurlock (1978) komunikasi akan menjadikan seseorang mampu mengemukakan pendapat dan pandangannya, sehingga mudah untuk memahami orang lain dan sebaliknya tanpa adanya komunikasi kemungkinan besar dapat menyebabkan terjadinya kesalahpahaman yang memicu terjadinya konflik.
b. Tingkat ekonomi keluarga.
Menurut beberapa penelitian, tingkat ekonomi keluarga juga merupakan salah satu faktor yang menentukan keharmonisan keluarga. Jorgensen (dalam Murni, 2004) menemukan dalam penelitiannya bahwa semakin tinggi sumber ekonomi keluarga akan mendukung tingginya stabilitas dan kebahagian keluarga, tetapi tidak berarti rendahnya tingkat ekonomi keluarga merupakan indikasi tidak bahagianya keluarga. Tingkat ekonomi hanya berpengaruh trerhadap kebahagian keluarga apabila berada pada taraf yang sangat rendah sehingga kebutuhan dasar saja tidak terpenuhi dan inilah nantinya yang akan menimbulkan konflik dalam keluarga.



c. Sikap orangtua
Sikap orangtua juga berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga terutama hubungan orangtua dengan anak-anaknya. Orangtua dengan sikap yang otoriter akan membuat suasana dalam keluarga menjadi tegang dan anak merasa tertekan, anak tidak diberi kebebasan untuk
mengeluarkan pendapatnya, semua keputusan ada ditangan orangtuanya sehingga membuat remaja itu merasa tidak mempunyai peran dan merasa kurang dihargai dan kurang kasih sayang serta memandang orangtuanya tidak bijaksana. Orangtua yang permisif cenderung mendidik anak terlalu bebas dan tidak terkontrol karena apa yang dilakukan anak tidak pernah mendapat bimbingan dari orangtua. Kedua sikap tersebut cenderung memberikan peluang yang besar untuk menjadikan anak berperilaku menyimpang, sedangkan orangtua yang bersikap demokratis dapat
menjadi pendorong perkembangan anak kearah yang lebih positif.
d. Ukuran keluarga
Menurut Kidwel (1981) dengan jumlah anak dalam satu keluarga cara orangtua mengontrol perilaku anak, menetapkan aturan, mengasuh dan perlakuan efektif orangtua terhadap anak. Keluarga yang lebih kecil mempunyai kemungkinan lebih besar untuk memperlakukan anaknya
secara demokratis dan lebih baik untuk kelekatan anak dengan orangtua (Hurlock, 1978).
2. Konsep Diri
A. Definisi konsep diri
Menurut Brehm & Kassin (1989) konsep diri dianggap sebagai komponen kognitif dari diri sosial secara keseluruhan, yang memberikan penjelasan tentang bagaimana individu memahami perilaku, emosi, dan motivasinya sendiri. Secara lebih rinci Brehm dan Kassin mengatakan bahwa konsep diri merupakan jumlah keseluruhan dari keyakinan individu tentang dirinya sendiri.
Pendapat senada diberikan oleh Gecas (dalam Albrecht, Chadwick & Jacobson, 1987) bahwa konsep diri lebih tepat diartikan sebaga i persepsi individu terhadap diri sendiri, yang meliputi fisik, spiritual, maupun moral. Sementara Calhoun & Cocella (1990) mengatakan bahwa konsep diri adalah pandangan kita tentang diri sendiri, yang meliputi dimensi: pengetahuan tentang diri sendiri, pengharapan mengenai diri sendiri, dan penilaian tentang diri sendiri.
Menurut Brooks (dalam Rakhmat, 2002) konsep diri disini dimengerti sebagai pandangan atau persepsi individu terhadap dirinya, baik bersifat fisik, sosial, maupun psikologis, dimana pandangan ini diperolehnya dari pengalamannya berinteraksi dengan orang lain yang mempunyai arti penting dalam hidupnya. Konsep diri ini bukan merupakan faktor bawaan, tetapi factor yang dipelajari dan dibentuk melalui pengalaman individu berhubungan dengan orang lain, sebagaimana dikatakan oleh Grinder (1976) bahwa persepsi orang mengenai dirinya dibentuk selama hidupnya melalui hadiah dan hukuman dari orang-orang di sekitarnya.
Partosuwido, dkk (1985) menambahkan bahwa konsep diri adalah cara bagaimana individu menilai diri sendiri, bagaimana penerimaannya terhadap diri sendiri sebagaimana yang dirasakan, diyakini dan dilakukan, baik ditinjau dari segi fisik, moral, keluarga, personal dan sosial. Konsep diri mempunyai arti yang lebih mendalam dari sekedar gambaran deskriptif. Konsep diri adalah aspek yang penting dari fungsi- fungsi manusia karena sebenarnya manusia sangat memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan dirinya, termasuk siapakah dirinya, seberapa baik mereka merasa tentang dirinya, seberapa efektif fungsi- fungsi mereka atau seberapa besar impresi yang mereka buat terhadap orang lain (Kartikasari, 2002). Batasan pengertian konsep diri dalam Kamus Psikologi adalah keseluruhan yang dirasa dan diyakini benar oleh seorang individu mengenai dirinya sendiri (Kartono & Gulo, 1987).
Berzonsky (1981) menyatakan bahwa konsep diri yang merupakan gabungan dari aspek-aspek fisik, psikis, sosial, dan moral tersebut adalah gambaran mengenai diri seseorang, baik persepsi terhadap diri nyatanya maupun penilaian berdasarkan harapannya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah pandangan atau penilaian individu terhadap dirinya sendiri, baik yang bersifat fisik, sosial, maupun psikologis, yang didapat dari hasil interaksinya dengan orang lain.
B. Pembentukan Konsep Diri
Konsep diri mulai berkembang sejak masa bayi, dan terus akan berkembang sejalan dengan perkembangan individu itu sendiri. Pada awalnya terbentuk pengertian samar-samar, yang merupakan pengalaman berulang-ulang, yang berkaitan dengan kenyamanan atau ketidaknyamanan fisik, sehingga pada akhirnya akan membentuk konsep dasar sebagai bibit dari konsep diri (Asch dalam Calhoun & Cocella, 1990). Jika anak diperlakukan dengan kehangatan dan cinta, konsep dasar yang muncul mungkin berupa perasaan positif terhadap diri sendiri, sebaliknya jika anak mengalami penolakan, yang tertanam adalah bibit penolakan-diri di masa yang akan datang (Coopersmith dalam Calhoun & Cocella, 1990). Memperkuat pendapat di atas, dijelaskan oleh Taylor, Peplau, & Sears (1994), bahwa pengetahuan tentang diri dapat berasal dari berbagai sumber, antara lain praktek sosialisasi, umpan balik yang diterima dari orang lain, serta bagaimana individu merefleksikan pandangan orang lain terhadap dirinya. Sementara itu, Cooley (dalam Albrecht dkk, 1987) mengatakan bahwa konsep diri seseorang berkembang melalui reaksi orang lain, dalam artian bahwa konsep diri individu terbentuk melalui imajinasi individu tentang respon yang diberikan orang lain. Dengan kata lain, bahwa persepsi tersebut merupakan konsekuensi bagi individu, dan apapun itu, semuanya dianggap tepat. Jadi jika orang lain merespon individu secara negatif, maka hal itu dapat membawa akibat yang cukup serius bagi konsep diri individu. Pendapat di atas diperkuat oleh Albrecht, dkk (1987) yang mengatakan bahwa umpan balik terhadap perilaku individu yang didapat dari orang-orang yang cukup berarti (significant others) akan menjadi sangat penting, baik itu berupa hadiah maupun hukuman. Dalam perkembangannya, significant others dapat meliputi semua orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran, dan perasaankita (Rakhmat, 2002). Lebih lanjut dijelaskan, pada masa kanak-kanak,
orangtualah yang berperan sebagai significant others. Pada masa selanjutnya, masa sekolah sampai remaja, peran teman sebaya menjadi lebih penting, dan ketika individu berada pada masa dewasa serta telah mencapai kemandirian secara ekonomi, peran orangtua secara berangsur-angsur menurun, dan digantikan oleh teman, rekan kerja, dan pasangan hidup (Albrecht dkk, 1987). Andayani & Afiatin (1996) menjelaskan bahwa konsep diri terbentuk melalui proses belajar individu dalam interaksinya dengan lingkungan sekitarnya. Interaksi tersebut akan memberikan pengalaman-pengalaman atau umpan balik yang diterima dari lingkungannya, sehingga individu akan mendapatkan gambaran tentang dirinya. Begitu pentingnya penilaian orang lain terhadap pembentukan konsep diri ini, sehingga Allport (dalam Helmi & Ramdhani, 1992) mengemukakan bahwa seorang anak akan melihat siapa dirinya melalui penilaian
orang lain terhadap dirinya. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas disimpulkan bahwa konsep diri terbentuk melalui proses belajar dan bukan merupakan faktor bawaan dan berkembang melalui interaksi individu dengan lingkungan sekitarnya dalam bentuk umpan balik yang diterima dari orang-orang yang berarti bagi individu.
C. Aspek-aspek Konsep Diri
Berzonsky (1981) mengemukakan bahwa aspek-aspek konsep diri meliputi:
a. Aspek fisik (physical self) yaitu penilaian individu terhadap segala sesuatu yang dimiliki individu seperti tubuh, pakaian, benda miliknya, dan sebagainya.
b. Aspek sosial (sosial self) meliputi bagaimana peranan sosial yang dimainkan oleh individu dan sejauh mana penilaian individu terhadap perfomannya.
c. Aspek moral (moral self) meliputi nilai- nilai dan prinsip-prinsip yang member arti dan arah bagi kehidupan individu.
d. Aspek psikis (psychological self) meliputi pikiran, perasaan, dan sikap-sikap individu terhadap dirinya sendiri.
Sementara itu melengkapi pendapat di atas, Fitts (dalam Burns, 1979) mengajukan aspek-aspek konsep diri, yaitu:
a. Diri fisik (physical self). Aspek ini menggambarkan bagaimana individu memandang kondisi kesehatannya, badannya, dan penampilan fisiknya.
b. Diri moral-etik (moral-ethical self). Aspek ini menggambarkan bagaimana individu memandang nilai-nilai moral-etik yang dimilikinya. Meliputi sifatsifat baik atau sifat-sifat jelek yang dimiliki dan penilaian dalam hubungannya dengan Tuhan.
c. Diri sosial (sosial self). Aspek ini mencerminkan sejauhmana perasaan mampu dan berharga dalam lingkup interaksi sosial dengan orang lain.
d. Diri pribadi (personal self). Aspek ini menggambarkan perasaan mampu sebagai seorang pribadi, dan evaluasi terhadap kepribadiannya atau hubungan pribadinya engan orang lain.
e. Diri keluarga (family self). Aspek ini mencerminkan perasaan berarti dan berharga dalam kapasitasnya sebagai anggota keluarga.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan dalam menjelaskan aspek-aspek konsep diri, tampak bahwa pendapat para ahli saling melengkapi meskipun ada sedikit perbedaan, sehingga dapat dikatakan bahwa aspek-aspek konsep diri mencakup diri fisik, diri psikis, diri sosial, diri moral, dan diri keluarga.
D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri
a. Usia
Grinder (1978) berpendapat bahwa konsep diri pada masa anak-anak akan mengalami peninjauan kembali ketika individu memasuki masa dewasa. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa konsep diri dipengaruhi oleh meningkatnya faktor usia. Pendapat tersebut diperkuat oleh hasil penelitiannya Thompson (dalam Partosuwido, 1992) yang menunjukkan bahwa nilai konsep diri secara umum berkembang sesuai dengan semakin bertambahnya tingkat usia.
b. Tingkat Pendidikan
Pengetahuan merupakan bagian dari suatu kajian yang lebih luas dan diyakini sebagai pengalaman yang sangat berarti bagi diri seseorang dalam proses pembentukan konsep dirinya. Pengetahuan dalam diri seorang individu tidak dapat datang begitu saja dan diperlukan suatu proses belajar atau adanya suatu mekanisme pendidikan tertentu untuk mendapatkan pengetahuan yang baik, sehingga kemampuan kognitif seorang individu dapat dengan sendirinya meningkat. Hal tersebut didasarkan pada pendapat Epstein (1973) bahwa konsep diri adalah sebagai suatu self theory, yaitu suatu teori yang berkaitan dengan diri yang tersusun atas dasar pengalaman diri, fungsi, dan kemampuan diri sepanjang hidupnya.
c. Lingkungan
Shavelson & Roger (1982) berpendapat bahwa konsep diri terbentuk dan berkembang berdasarkan pengalaman dan interpretasi dari lingkungan, terutama dipengaruhi oleh penguatan-penguatan, penilain orang lain, dan atribut seseorang bagi tingkah lakunya.
3. Remaja
A. Definisi Remaja
WHO (dalam Sarwono, 2002) mendefinisikan remaja lebih bersifat konseptual, ada tiga krieria yaitu biologis, psikologik, dan sosial ekonomi, dengan batasan usia antara 10-20 tahun, yang secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut:
a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
b. Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.
c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.
Monks (1999) sendiri memberikan batasan usia masa remaja adalah masa diantara 12-21 tahun dengan perincian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun masa remaja akhir. Senada dengan pendapat Suryabrata (1981) membagi masa remaja menjadi tiga, masa remaja awal 12-15 tahun, masa remaja pertengahan 15-18 tahun dan masa remaja akhir 18-21 tahun. Berbeda dengan pendapat Hurlock (1999) yang membagi masa remaja menjadi dua bagian, yaitu masa remaja awal 13-16 tahun, sedangkan masa remaja akhir 17-18 tahun. Penulis menetapkan dalam penelitian ini subjek yang dipakai adalah remaja awal yang masih berusia 13 sampai 16 tahun. Hal ini sesuai dengan pendapat (Hurlock, 1999).
B. Ciri-ciri Remaja
Masa remaja merupakan salah satu periode perkembangan yang dialami oleh setiap individu, sebagai masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa ini memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode perkembangan yang lain. Ciri yang menonjol pada masa ini adalah individu mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang amat pesat, baik fisik, emosional dan sosial. Hurlock (1999) pada masa remaja ini ada beberapa perubahan yang bersifat universal, yaitu meningkatnya emosi, perubahan fisik, perubahan terhadap minat dan peran, perubahan pola perilaku, nilai-nilai dan sikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Berikut ini dijelaskan satu persatu dari ciri-ciri perubahan yang terjadi pada masa remaja.
a. Perubahan fisik
Perubahan fisik berhubungan dengan aspek anotomi dan aspek fisiologis, di masa remaja kelenjar hipofesa menjadi masak dan mengeluarkan beberapa hormone, seperti hormone gonotrop yang berfungsi untuk mempercepat kemasakan sel telur dan sperma, serta mempengaruhi produksi hormone kortikortop berfungsi mempengaruhi kelenjar suprenalis, testosterone, oestrogen, dan suprenalis yang mempengaruhi pertumbuhan anak sehingga terjadi percepatan pertumbuhan (Monks dkk, 1999). Dampak dari produksi hormone tersebut Atwater, (1992) adalah: (1) ukuran otot bertambah dan semakin kuat. (2) testosteron menghasilkan sperma dan oestrogen memproduksi sel telur sebagai tanda kemasakan. (3) Munculnya tanda-tanda kelamin sekunder seperti membesarnya payudara, berubahnya suara, ejakulasi pertama, tumbuhnya rambut-rambut halus disekitar kemaluan, ketiak dan muka.
b. Perubahan Emosional.
Pola emosi pada masa remaja sama dengan pola emosi pada masa kanakkanak. Pola-pola emosi itu berupa marah, takut, cemburu, ingin tahu, iri hati, gembira, sedih dan kasih sayang. Perbedaan terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan pengendalian dalam mengekspresikan emosi. Remaja umumnya memiliki kondisi emosi yang labil pengalaman emosi yang ekstrem dan selalu merasa mendapatkan tekanan (Hurlock, 1999). Bila pada akhir masa remaja mampu menahan diri untuk tidak mengeksperesikan emosi secara ekstrem dan mampu memgekspresikan emosi secara tepat sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan dan dengan cara yang dapat diterima masyarakat, dengan kata lain remaja yang mencapai kematangan emosi akan memberikan reaksi emosi yang stabil (Hurlock, 1999). Nuryoto (1992)
menyebutkan ciri-ciri kematangan emosi pada masa remaja yang ditandai dengan sikap sebagai berikut: (1) tidak bersikap kekanak-kanakan. (2) bersikap rasional. (3) bersikap objektif (4) dapat menerima kritikan orang lain sebagai pedoman untuk bertindak lebih lanjut. (5) bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan. (6) mampu menghadapi masalah dan tantangan yang
dihadapi.

c. Perubahaan sosial
Perubahan fisik dan emosi pada masa remaja juga mengakibatkan perubahan dan perkembangan remaja, Monks, dkk (1999) menyebutkan dua bentuk perkembangan remaja yaitu, memisahkan diri dari orangtua dan menuju kearah teman sebaya. Remaja berusaha melepaskan diri dari otoritas orangtua dengan maksud menemukan jati diri. Remaja lebih banyak berada di luar rumah dan berkumpul bersama teman sebayanya dengan membentuk kelompok dan mengeksperesikan segala potensi yang dimiliki. Kondisi ini membuat remaja sangat rentan terhadap pengaruh teman dalam hal minat, sikap penampilan dan perilaku. Perubahan yang paling menonjol adalah hubungan heteroseksual. Remaja akan memperlihatkan perubahan radikal dari tidak menyukai lawan jenis menjadi lebih menyukai. Remaja ingin diterima, diperhatikan dan dicintai oleh lawan jenis dan kelompoknya.
C. Landasan Teori
Banyak peneliti yang telah melakukan penelitian untuk mencari faktorfaktor yang berhubungan dengan kenakalan remaja, faktor-faktor tersebut antara lain identitas, konsep diri, kontrol diri, usia, jenis kelamin, harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah, proses keluarga, pengaruh teman sebaya, kelas sosial ekonomi dan kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal, semua factor tersebut memiliki kontribusi terhadap kecenderungan kenakalan remaja. Pada penelitian ini, faktor keluarga dan konsep diri akan dipilih sebagai faktor yang akan memprediksi kecenderungan kenakalan remaja. Keluarga sebagai kelompok sosial terkecil dalam masyarakat, mempunyai peranan penting dalam pembentukan konsep diri pada anak. Hurlock (1999)
berpendapat bahwa dukungan khususnya keluarga atau kurangnya dukungan akan mempengaruhi kepribadian anak melalui konsep diri yang terbentuk. Pola terbentuknya konsep diri pada seorang individu bukan merupakan bawaan dari lahir, tetapi konsep diri terbentuk melalui proses, dan proses pembentukan konsep diri tidak dapat terlepas dari peran keluarga. Konsep diri yang positif dan keluarga yang harmonis ditengarai akan mampu mencegah seorang remaja untuk cenderung melakukan kenakalan atau perbuatan yang negatif. Simandjuntak (1984) berpendapat bahwa secara garis besar munculnya perilaku delinkuen pada remaja disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud meliputi karakteristik kepribadian, nilai-nilai yang dianut, sikap negatif terhadap sekolah, serta kondisi emosi remaja yang labil. Adapun faktor eksternal mancakup lingkungan rumah atau keluarga, sekolah, media massa, dan keadaan sosial ekonomi. Berdasarkan pendapat tersebut di atas dapat dipahami bahwa kecenderungan berperilaku delikuen pada remaja dipengaruhi oleh konsep diri individu yang bersangkutan dan peran keluarga yang didapatnya. Hasil penelitian Ling & Chan (1997) menyatakan bahwa konsep diri berhubungan dengan kenakalan remaja yang dihubungkan melalui keharmonisan keluarga. Menurut Shavelson & Roger (1982), konsep diri terbentuk dan
berkembang berdasarkan pengalaman dan inteprestasi dari lingkungan, penilaian orang lain, atribut, dan tingkah laku dirinya. Pengembangan konsep diri tersebut berpengaruh terhadap perilaku yang ditampilkan, sehingga bagimana orang lain memperlakukan individu dan apa yang dikatakan orang lain tentang individu akan dijadikan acuan untuk menilai dirinya sendiri ( Mussen dkk, 1979). Tanggapan positif dari lingkungan terhadap keadaan remaja akan menimbulkan rasa puas dan menerima keadaan dirinya, sedangkan tanggapan negatif dari lingkungan akan menimbulkan perasaan tidak puas pada dirinya dan individu cenderung tidak
menyukai dirinya (Sullivan dalam Rakhmat, 1986) yang nantinya akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap peraturan dan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Remaja yang mempunyai konsep diri yang positif akan mampu dan mengatasi dirinya, memperhatikan dunia luar, dan mempunyai kemampuan untuk berinteraksi sosial (Beane & Lipka, 1986). Selain itu remaja yang memiliki konsep diri yang tinggi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut, yaitu spontan, kreatif dan orisinil, menghargai diri sendiri dan orang lain, bebas dan dapat mengantisipasi hal negatif serta memandang dirinya secara utuh, disukai, diinginkan dan diterima oleh orang lain (Combs Snygg dalam Shiffer dkk., 1977).
Sedangkan Coopersmith (dalam Partosuwido, 1992) mengemukakan karakteristik remaja dengan konsep diri tinggi, yaitu bebas mengemukakan pendapat, memiliki motivasi yang tinggi untuk mencapai prestasi, mampu mengaktualisasikan potensinya dan mampu menyelaraskan dengan lingkungannya, sedangkan remaja yang berkonsep diri negatif atau rendah akan sulit mengganggap suatu keberhasilan diperoleh dari diri sendiri tetapi karena bantuan orang lain, kebetulan, dan nasib semata. Remaja tersebut biasanya mengalami kecemasan yang tinggi (Ames dalam Beane dan Lipka, 1986). Coopersmith (dalam Partosuwido, 1992) mengemukan karakteristik remaja yang memiliki konsep diri rendah, yaitu mempunyai perasaan tidak aman, kurang penerimaan diri, dan biasanya memiliki harga diri yang rendah. Adanya konsep diri yang tinggi tersebut remaja dituntut untuk melakukan perbuatan positif yang diharapkan oleh masyarakat, sehingga akan mengurangi tingkat kenakalan remaja, dan sebaliknya remaja yang memiliki konsep diri yang rendah, seringkali melanggar peraturan dan norma-norma yang ada dalam masyarakat, sehingga nantinya dapat mengakibatkan terjadinya kenakalan remaja. Berdasarkan landasan teori di atas, mekanisme psikologis yang terjadi pada permasalahan tersebut adalah bagaimana remaja yang mempersepsi keluarganya harmonis cenderung mempunyai konsep diri yang positif. Hal ini tentu berdampak semakin berkurangnya kecenderungan berperilaku nakal atau negatif, karena di dalam keluarga harmonis anak diajarkan apa itu tanggungjawab dan kewajiban, mengajarkan berbagai norma yang berlaku di masyarakat dan keterampilan lainnya agar anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan serta dapat mencapai kematangan secara keseluruhan baik emosi maupun kematangan secara sosial. Suasana harmonis yang dirasakan remaja, secara tidak langsung berpengaruh terhadap pembentukan kepribadiannya dalam hal ini konsep diri. Remaja yang mempunyai konsep diri positif ditandai dengan kemampuan individu di dalam mengontrol diri dan mengelola faktor- faktor perilaku yang sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan sosial, sehingga dapat mengurangi perilaku negatif atau kenakalan pada remaja.
Depresi
Menurut Rice PL (1992), depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir, berperasaan dan berperilaku) seseorang. Pada umumnya mood yang secara dominan muncul adalah perasaan tidak berdaya dan kehilangan harapan.
Menurut Kusumanto (1981) depresi adalah suatu perasaan kesedihan yang psikopatologis, yang disertai perasaan sedih, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju kepada meningkatnya keadaan mudah lelah yang sangat nyata sesudah bekerja sedikit saja, dan berkurangnya aktivitas. Depresi dapat merupakan suatu gejala, atau kumpulan gejala (sindroma).
Menurut Kartono (2002) depresi adalah kemuraman hati (kepedihan, kesenduan, keburaman perasaan) yang patologis sifatnya. Biasanya timbul oleh; rasa inferior, sakit hati yang dalam, penyalahan diri sendiri dan trauma psikis. Jika depresi itu psikotis sifatnya, maka ia disebut melankholi.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir, berperasaan dan berperilaku) seseorang, muncul perasaan tidak berdaya dan kehilangan harapan¸yang disertai perasaan sedih, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energy yang menuju kepada meningkatnya keadaan mudah lelah yang sangat nyata dan berkurangnya aktivitas.
Ciri-ciri dari depresi:
Ciri ciri dari depresi dibagi menjadi dua yaitu ciri utama serta ciri lainnya yang mendukung ciri utama dimana gejala-gejala tersebut akan menentukan berat ringannya tingkat depresi (Yosep, 2007) :
a. Ciri  Utama
1) Afek depresi yaitu sulit merasa bahagia dan rasa percaya diri yang rendah
2) Kehilangan minat dan kegembiraan
3) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja dan menurunnya aktivitas )
b. Ciri lainnya
1) Konsentrasi dan perhatian berkurang
2) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna.
4) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis.
5) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
6) Tidur terganggu dan nafsu makan berkura
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.Pendekatan Kualitatif

Istilah penelitian kualitatif menurut Krik dan Miller (dalam Moleong, 2006) pada mulanya bersumber pada pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkat suatu ciri tertentu. Untuk menemukan sesuatu dalam pengamatan, pengamat harus mengetahui apa yang menjadi ciri sesuatu itu. Berdasarkan pertimbangan tersebut, peneliti menyatakan bahwa penelitian kuantitatif mencakup setiap jenis penelitian yang didasarkan atas perhitungan statistik atau angka kuantitas. Atas dasar pertimbangan itulah maka kemudian penelitian kualitatif tampaknya diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan.

Menurut Banister (dalam Alsa, 2003) penelitian kulatitatif dapat didefinisikan sebagai satu cara sederhana, sangat longgar, yaitu suatu penelitian interpretatif terhadap suatu masalah dimana peneliti merupakan sentral dari pengertian atau pemaknaan yang dibuat mengenai masalah itu.

Meriam (dalam Alsa, 2003) merumuskan penelitian kualitatif sebagai satu konsep payung yang mencakup beberapa bentuk penelitian untuk membantu peneliti memahami dan menerangkan makna fenomena sosial yang terjadi dengan sekecil mungkin gangguan terhadap setting alamiahnya.

Menurut Alsa (2003) penelitian kualitatif bertitik tolak dari paradigma fenomenologis yang obyektivitasnya dibangun atas rumusan tentang situasi tertentu sebagaimana yang dihayati oleh individu atau kelompok sosial tertentu, dan relevan dengan tujuan penelitian.

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006) mengadakan pengkajian selanjutnya terhadap istilah penelitian kualitatif, yang mendefinisikan “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitan yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar belakang dan individu tersebut secara holistik.
Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006) mengatakan salah satu kekuatan dari pendekatan kualitatif adalah dapat memahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan.
Pendekatan kualitatif dipandang lebih sesuai untuk mengetahui bagaimana kecemasan pada saat ini dan apa yang mendasari individu menjadi terlalu cemas atau takut. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Poerwandari (2007) bahwa pendekatan yang sesuai untuk penelitian yang tertarik dalam memahami manusia dengan segala kompleksitasnya sebagai mahluk subjektif adalah penelitian kualitatif.
1. Karakteristik Penelitian Kualitatif
Menurut Alsa (2003) ada sembilan ciri penelitian kulitatif yaitu :
            a. Penelitian kualitatif memiliki setting alamiah sebagai sumber data
            b. Peneliti sebagai instrumen penelitian
   c. Penelitian kualitatif adalah deskriptif
   d. Peneliti kualitaif lebih memperhatikan proses daripada hasil penelitian
   e. Peneliti kulitatif cenderuing menganalisa datanya secara induktif
   f. Pemaknaan merupakan perhatian utama dari penelitian kualitatif
   g. Pentingnya kontak personal langsung dengan subyek
   h. Berorientasi pada kasus unik
   i. Penelitian kualitatif biasanya merupakan penelitian lapangan.
2. Langkah Penelitian Kualitatif
Menurut Alsa (2003) langkah – langkah penelitian kualitatif adalah sebagai berikut :
      a. Mengidentifikasi problem penelitian
      b. Mereviu kepustakaan
      c. Menetapkan tujuan penelitian
      d. Mengumpulkan data
      e. Menganalisa dan menginterpretasi data
      f. Melaporkan dan mengevaluasi penelitian
B.Metode Pengambilan Data
Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang terbuka dan luas, metode pengambilan data kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian serta sifat objek yang diteliti. Metode pengambilan data dalam penelitian kualitatif antara lain: wawancara, observasi, diskusi kelompok terfokus, analisa terhadap karya (tulis, film, dan karya seni lain), analisa dokumen, analisa catatan pribadi, studi kasus, studi riwayat hidup dan sebagainya. Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2006) menyatakan bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata atau tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Dalam penelitian ini, metode pengambilan data dilakukan dengan wawancara.
Menurut Poerwandari (2007) ada beberapa ragam metode pengumpulan data, diantaranya yaitu : Observasi, wawancara, diskusi kelompok terfokus, penelitian partisipatoris, metode – metode yang terkait dengan gambar atau penggunaan foto, metode pemetaan, metode – metode dengan drama,dan oral history.

Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang akan digunakan adalah observasi, dan wawancara. Karena sifat penelitian kualitatif yang fleksibel dimungkinkan adanya tambahan data – data lain seperti foto ataupun  catatan  harian.

1. Wawancara

Menurut Banister (dalam Poerwandari, 2007) wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu, berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain.
Metode pengumpulan informasi yang terdiri dari pernyataan-pernyataan memerlukan kemampuan untuk menggali atau probing dari jawaban-jawaban responden, sehingga informasi yang diperoleh akan lebih spesifik yaitu berupa informasi mengenai perasaan, perilaku dan informasi lainnya yang dimiliki oleh individu. Keberhasilan dari wawancara sangat dipengaruhi oleh perencanaan terlebih dahulu (Stewart dan Cash dalam Moleong, 2006).
Adapun struktur wawancara menurut Stewart dan Cash (dalam Moleong, 2006), antara lain adalah:
a.         Interview Guide (Pedoman wawancara)
Pedoman yang disusun oleh pewawancara yaitu merupakan sebuah outline yang berisikan aspek-aspek utama dari topik wawancara.
b.         The Opening (Pembukaan)
Menciptakan atmosfir yang saling memiliki kepercayaan dan saling menghargai sehingga dapat membentuk hubungan positif antara pewawancara dan responden.
c.         The Body (Isi)
Pewawancara menggali jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan dari pedoman wawancara.
d.        The Closing (Penutup)
Pewawancara mengakhiri wawancara ketika informasi yang diperoleh telah didapat dari responden.

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2007) wawancara secara umum dapat dibedakan menjadi tiga pendekatan, yaitu:
a.         Wawancara informal
Proses wawancara didasarkan sepenuhnya pada berkembangannya pertanyaan-pertanyaan secara spontan dalam interaksi alamiah. Tipe wawancara demikian umumnya dilakukan oleh peneliti yang melakukan observasi partisipatif. Dalam situasi demikian, orang yang diajak bicara mungkin tidak menyadari dirinya sedang diwawancarai secara sistematis untuk menggali data.
b.         Wawancara dengan pedoman umum
Dalam proses wawancara ini peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek – aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek – aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks actual saat wawancara berlangsung. Wawancara dengan pedoman sangat umum ini dapat bnerbantuk wawancara terfokus, yakni wawancara yang mengarahkan pembicara pada hal – hal atau aspek – aspek tertentu dari kehidupan atau pengalaman subjek. Tetapi wawancara juga dapat berbentuk wawancara mendalam, dimana peneliti mengajukian pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek, secara utuh dan mendalam.
c.         Wawancara dengan pedoman terstandar yang terbuka
Dalam bentuk wawancara ini, pedoman wawancara ditulis dengan rinci, lengkap dengan set pertanyaan dan penjabarannya dalam kalimat. Peneliti diharapkan dapat melaksanakan wawancara sesuai sekuensi yang tercantum, serta menanyakannya dengan cara yang sama pada responden – responden yang berbeda. Keluwesan dalam mendalami jawaban terbatas, tergantung pada sifat wawancara dan ketrampilan peneliti.
Dalam penelitian ini akan digunakan wawancara dengan pedoman umum dimana peneliti mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Pedoman wawancara ini digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek – aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek – aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung. Wawancara dengan pedoman sangat umum ini dapat berbentuk wawancara terfokus, yakni wawancara yang mengarahkan pembicara pada hal – hal atau aspek – aspek tertentu dari kehidupan atau pengalaman subjek. Tetapi wawancara juga dapat berbentuk wawancara mendalam, dimana peneliti mengajukian pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek, secara utuh dan mendalam
     2. Observasi
Istilah observasi ditunkan dalam bahasa latin yang berarti “melihat” dan “memperlihatkan”. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara actual, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Observasi selalu menjadi bagian dalam penelitian psikologis, dapat berlangsung dalam konteks laboratorium (eksperimental) maupun dalam konteks alamiah (Banister, dalam Poerwandari 2007).
Patton (dalam Poerwandari, 2007) menegaskan observasi merupakan metode pengumpulan data esensial dalam penelitian, apalagi penelitian dengan pendekatan kualitatif, agar memberikan data yang akurat dan bermanfaat.
Menurut Poerwandari (2007) tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas – aktivitas yang berlangsung, orang – orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari persepktif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut.
Kemudian menurut Wilkinson (dalam Minauli, 2006) observasi adalah aspek penting bagi banyak ilmu pengetahuan dan telah memainkan peranan penting dalam perkembangan psikologi sebagai suatu disiplin ilmu. Kekuatan utama dari observasi adalah karena ia dapat diamati secara langsung dan tepat. Observasi adalah metode yang paling penting dalam pengumpulan data.
a.Unsur – Unsur Observasi
Secara umum menurut Nietzel (dalam Minauli, 2006) metode observasi memiliki unsur – unsur sebagai berikut :
1.      Pemilihan (selection)
Observer pertama kali memilih orang (selects) orang, mengklasifikasikan perilaku, kejadian, situasi, atau periode waktu yang akan menjadi fokus perhatian.
2.      Pembangkitan (provocation)
Keputusan harus dibuat mengenai apakah perlu membangkitkan (provoke) perilaku dan situasi atau menunggu hingga hal itu terjadi dengan sendirinya.
3.      Pencatatan (recording)
Perencanaan dibuat untuk merekam (record) observasi, apakah dengan menggunakan ingatan observer, lembaran catatan, audio atau videotape, system monitoring fisiologis, penunjuk waktu, alat penghitung, atau yang lainnya.
                  Menurut Banister (dalam Poerwandari, 2007) dalam membuat catatan dalam observasi hal – hal yang harus diperhatikan adalah
a.       deskripsi konteks
b.      deskripsi mengenai karakter orang – orang yang diamati
c.       deskripsi tentang siapa yang melakukan observasi
d.      deskripsi mengenai perilaku yang ditampilkan orang – orang yang diamati
e.       interpretasi sementara peneliti terhadap kejadian yang diamati
f.       pertimbangan mengenai alternative interpretasi – interpretasi lain
g.      eksplorasi perasaan dan penghayatan peneliti terhadap kejadian yang diamati.
4.      Pemberian kode (encoding)
Akhirnya mengembangkan suatu system untuk pengkodean (encoding) dari observasi mentah kedalam bentuk yang dapat digunakan.
Menurut Poerwandari (2007) koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistematiskan data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topic yang dipelajari.
C.      Responden Penelitian

1. Karakteristik Responden

a.         Para remaja laki-laki,
b.         Usia 12-21 tahun,

2. Jumlah Responden

Menurut Banister (dalam Poerwandari, 2007) mengatakan dengan fokusnya pada kedalaman dan proses, penelitian kualitaif cenderung dilakukan dengan jumlah kasus sedikit. Suatu kasus tunggal pun dapat dipakai, bila secara potensial memang sangat sulit bagi peneliti memperoleh kasus yang lebih banyak, dan bila dari kasus tunggal tersebut memang diperlukan sekaligus dapat diungkap informasi yang sangat mendalam.
Sarantakos (dalam Poerwandari, 2007) mengemukakan karakteristik prosedur penentuan responden dalam penelitian kualitatif pada umumnya adalah sebagai berikut:
a.         Diarahkan tidak pada jumlah sampel yang besar
b.         Tidak ditentukan secara kaku sejak awal,  tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian
c.         Tidak diarahkan pada keterwakilan dalam arti jumlah atau peristiwa acak,  melainkan pada kecocokan konteks.
Dengan karakteristik seperti disebutkan diatas, jumlah sampel dalam penelitian kualitatif tidak dapat ditentukan secara tegas di awal penelitian.  Dalam penelitian ini, jumlah responden yang direncanakan adalah sebanyak 6 (enam) orang.

3. Lokasi  dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan April tahun 2013. Proses wawancara  bisa dilakukan langsung di lokasi sekolah, di taman ataupun di rumah responden sendiri, sesuai dengan kemauan responden.
D.      Alat Bantu Pengumpulan Data
Pencatatan data selama penelitian penting sekali karena data dasar yang akan dianalisis didasarkan atas “kutipan” hasil wawancara. Oleh karena itu, pencatatan data harus dilakukan dengan cara yang sebaik dan setepat mungkin. Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitataif cukup rumit, untuk itu diperlukan instrumen atau alat penelitian agar dapat membantu peneliti dalam mengumpulkan data (Moleong, 2006).
Alat bantu yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara, dan sebuah alat perekam yaitu tape recorder.

1. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari, 2007). Pedoman wawancara bertujuan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data nantinya.
2. Alat Perekam (tape recorder)
Alat perekam digunakan untuk memudahkan peneliti dalam mengulang kembali hasil wawancara yang telah dilakukan. Dengan adanya hasil rekaman wawancara tersebut akan memudahkan peneliti apabila ada kemungkinan data yang kurang jelas sehingga responden yang diwawancarai dapat dihubungi kembali. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan memperoleh persetujuan responden terlebih dahulu.
E.      Prosedur Penelitian
Tahap-tahap penelitian kualitatif dengan salah satu ciri pokoknya peneliti sebagai alat penelitian, menjadi berbeda dengan tahap-tahap penelitian nonkualitatif. Tahap-tahap penelitian kualitatif (Moleong, 2006), terdiri dari:

 

1. Tahap Persiapan Penelitian

Tahap persiapan penelitian dilakukan untuk mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan dalam penelitian:
a.                   Mengumpulkan informasi tentang isu-isu yang berhubungan dengan Hubungan kenakalan Remaja dengan Prestasi Belajar Peneliti mengumpulkan semua informasi yang berkaitan dengan Hubungan kenakalan Remaja dengan Prestasi Belajar. Selanjutnya peneliti menentukan karakteristik responden yang akan disertakan dalam penelitian ini.
b.      Menyiapkan pedoman wawancara
Agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian, sebelum wawancara dilakukan, peneliti terlebih dahulu menyiapkan pedoman wawancara yang disusun berdasarkan teori yang ada.
c.   Menghubungi calon responden yang sesuai dengan karakteristik responden
Setelah peneliti memperoleh beberapa orang calon responden, peneliti menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian. Apabila calon responden bersedia, peneliti kemudian menyepakati waktu wawancara bersama calon responden.
  1. Melaksanakan rapport
Menurut Moleong (2006) rapport adalah hubungan antara peneliti dengan subjek penelitian yang sudah melebur seolah-olah sudah tidak ada lagi dinding pemisah diantara keduanya. Dengan demikian, subjek dengan sukarela dapat menjawab pertanyaan atau memberi informasi yang diberikan oleh peneliti.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
            Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki tahap pelaksanaan penelitian.
a.       Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara.
Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden. Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan responden dalam keadaan sehat dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara yang telah dilakukan.
b.      Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara
Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta responden untuk menandatangani lembar persetujuan wawancara yang menyatakan bahwa responden mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.
c.       Memindahkan rekaman hasil wawancara kedalam bentuk transkrip verbatim
Setelah hasil wawancara diperoleh, peneliti memindahkan hasil wawancara dan observasi ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding yaitu membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran topik yang dipelajari (Poerwandari, 2007).
d.      Melakukan analisa data
Bentuk transkrip verbatim telah selesai, kemudian dibuatkan salinannya dan diserahkan kepada pembimbing. Pembimbing membaca verbatim berulang-ulang untuk mendapatkan gambaran yang jelas. Setelah itu, verbatim wawancara disortir untuk memperoleh hasil yang relevan dengan tujuan penelitian dan diberi kode.
e.       Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran
Setelah analisa data selesai peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan diskusi terhadap kesimpulan dan seluruh hasil penelitian. Dengan memperhatikan hasil penelitian, kesimpulan data, dan diskusi yang telah dilakukan, peneliti mengajukan saran bagi penelitian selanjutnya.
3.     Tahap Pencatatan Data
      Semua data yang diperoleh pada saat wawancara direkam dengan alat perekam dengan persetujuan subjek penelitian sebelumnya. Dari hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisis. Transkrip adalah salinan hasil wawancara dalam pita suara kedalam ketikan di atas kertas.
F.   Prosedur Analisis Data
   Data penelitian kualitatif tidak berbentuk angka, tetapi lebih banyak berupa narasi, cerita, dokumen tertulis dan tidak tertulis (gambar atau foto) ataupun bentuk-bentuk nonangka lainnya. Penelitian kualitatif tidak memiliki rumusan atau aturan absolut untuk mengolah dan menganalisis data (Poerwandari, 2007). Moleong dan Poerwandari menjelaskan prosedur analisis data dalam penelitian kualitatif adalah sebagai berikut:


1.      Mengelompokkan data menjadi bentuk teks
2.      Mengelompokkan data dalam kategori-kategori tertentu sesuai dengan pokok-pokok permasalahan yang ingin dijawab. Dalam hal ini pertama-tama dilakukan sorting data untuk memilih data yang relevan dengan pokok permasalahan dan tahap kedua dilakukan coding atau pengelompokan data dalam berbagai kategori.
3.      Dilakukan interpretasi awal terhadap setiap kategori data. Dari hasil interpretasi awal ini peneliti dapat kembali melakukan pengumpulan data dan melakukan kembali proses 1 sampai 3. Hal ini merupakan keunikan lain dari penelitian kualitatif, dimana selalu terjadi proses “bolak-balik“ dari pengumpulan data dan proses interpretasi atau analisis.
4.      Mengidentifikasi tema utama atau kategori utama dari data yang terkumpul. Hal ini dilakukan untuk melihat gambaran apa yang paling utama tampil dan dirasakan oleh subjek penelitian. Jika ditemukan tema utama, maka hasil interpretasi lainnya merupakan penunjang untuk menjelaskan dinamika tema tersebut.
5.     Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi Penelitian di lakukan di daerah deli sedang dengan lokasi yang terhindar dari keributan kenderaan bermotor,sepeda motor,mobil,becak dan sebagainya,namun lokasi yang lakukan langsung ketempat: Sekolah Dhamma Sekha Dhamma Mitta yang beralamatkan JL.LK.VI.Gg. kebun sayur 13 Deli Tua Barat kec.Deli Tua Ksh.Deli Serdang Sumatera Utara.




A.Waktu Penelitian
 Waktu Penelitian lebih kurang pada pagi hari menjelang siang hari, dimana waktu yang baik bagi penelitian dan waktu baik pada siswa kira-kira waktu di hari minggu dan senin di jam 90.30 -  11.00 Wib, begitu juga bisa ambil wawancara lanjutan hari senin berikutnya waktu pada jam 12.00 -  13.00 Wib siang hari.
6.     Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di. Sekolah Dhamma Sekha Dhamma Mitta berada di
Alamat : JL.LK.VI.Gg. kebun sayur 13 Deli Tua Barat kec.Deli Tua Ksh.Deli Serdang Sumatera Utara.
7.     Waktu Penelitian
    Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2013      
G.Teknik Obsevasi Wawancara
1.      Rekama rekoder
Dengan wawancara mengunakan handpon sebagai alat rekoder,disaat rekaman bersama subjeck berjalan dengan lancar dengan berbagai pertanyakan dan di rekam dalam handpon
2.      Tanyak jawab langsung kepada subjeck
Tanyak jawab langsung kepada subjeck di tempat itu, banyak informasi juga di dapat dengan hasil rekaman dari rekoder, kemudian hasil pertanyakan juga langsung di ketik kembali ke computer dengan mendengar kembali isi cerita pertanyakan dalam hasil remakan rekoder handpon (VERBATIN)

Verbatim Responden 1
KODING
ISI WAWANCARA
TEMA
I-10001
I-10002
I-10003
I-10004
I-10005
I-10006
I-10007
I-10008
I-10009
I-10010
I-10011
I-10012
I-10013
I-10014
I-10015
I-10016
I-10017
I-10018
I-10019
I-10020
I-10021
I-10022
I-10023
I-10024
I-10025
I-10026
I-10027
I-10028
I-10029
I-10030
I-10031
I-10032
I-10033
I-10034
I-10035
I-10036
I-10037
I-10038
I-10039
I-10040
I-10041
I-10042
I-10043
I-10044
I-10045
I-10046
I-10047
I-10048
I-10049
I-10050
I-10051
I-10052
I-10053
I-10054
I-10055
I-10056
I-10057
I-10058
I-10059
I-10060
I-10061
I-10062
I-10063
I-10064
I-10065
I-10066
I-10067
I-10068
I-10069
I-10070
I-10071
I-10072
I-10073
I-10074
I-10075
I-10076
I-10077
I-10078
I-10079
I-10080
I-10081
I-10082
I-10083
I-10084
I-10085
I-10086
I-10087
I-10088
I-10089
I-10090
I-10091
I-10092
I-10093
I-10094
I-10095
I-10096
I-10097
I-10099
I-10100
I-10101
I-10102
I-10103
I-10104
I-10105
I-10106
I-10107
I-10108
I-10109
I-10110
I-10111
I-10112
I-10113
I-10114
I-10115
I-10116
I-10117
I-10118
I-10119
I-10120
I-10121
I-10122
I-10123
I-10124
I-10125
I-10126
I-10127
I-10128
I-10129
I-10130
I-10131
I-10132
I-10133
I-10134
I-10135
I-10136
I-10137
I-10138
I-10139
I-10140
I-10141
I-10142
I-10143
I-10144
I-10145
I-10146
I-10147
I-10148
I-10149
I-10150
I-10151
I-10152
I-10153
I-10154
I-10155
I-10156
I-10157
I-10158
I-10159
I-10160
I-10161
I-10162
I-10163
I-10164
I-10165
I-10166
I-10167
I-10168
I-10169
I-10170
I-10171
I-10172
I-10173
I-10174
I-10175
I-10176
I-10177
I-10178
I-10179
I-10180
I-10181
I-10182
I-10183
I-10184
I-10185
I-10186
I-10187
I-10188
I-10189
I-10190
I-10191
I-10192
I-10193
I-10194
I-10195
I-10196
I-10197
I-10198
I-10199
I-10200
I-10201
I-10202
I-10203
I-10204
I-10205
I-10206
I-10207
I-10208
I-10209
I-10210
I-10211
I-10212
I-10213
I-10214
I-10215
I-10216
I-10217
I-10218
I-10219
I-10220
I-10221
I-10222
I-10223
I-10224
I-10225
I-10226
I-10227
I-10228
I-10229
I-10230
I-10231
I-10232
I-10233
I-10234
I-10235
I-10236
I-10237
I-10238
I-10239
I-10240
I-10241
I-10242
I-10243
I-10244
I-10245
I-10246
I-10247
I-10248
I-10249
I-10250
I-10261
I-10262
I-10263
I-10264
I-10265
I-10266
I-10267
I-10268
I-10269
I-10270
I-10281
I-10282
I-10283
I-10284
I-10285
I-10286
I-10287
I-10288
I-10289
I-10290
I-10291
I-10292
I-10293
I-10294
Iter : ehh Selamat siang Adi?
Itee: ooo, iya.... Selamat siang bhante....(menyambut dan menyalami peneliti.
Iter : hari ini bhante mau wawancara,observasi kenakalan remaja,jadi apa yang di ketahui Adi pengertian belajar?...
Itee : belajar yang tekun,terus serius belajar tidak boleh main-main.....
Iter : ini maksudnya nakal....?yang membuat nakal pengertiannya apa?
Itee: mencontek,suka main-main,suka gangu orang,jahil.....
Iter: kemudian masuk pertanyakan kedua prinsip-prinsip belajar yang selama di kelas membuat Adi nakal itu apa?.....
Itee: Sering gurunya tidak memperhatikan muridnya,makanya muridnya suka hati begitu,karena muridnya bandel gurunya tidak open,maka disitulah muridnya main-main dan suka bandel.
Iter: jadi pengalaman Adi di sekolah ?itu ehh pun begitulah….?
Itee: ya ?
Iter: selain itu ada lagi?
Itee : tidak ada ?
Iter:kemudian kita masuk pertanyakan berikutnya…ehhhh factor-faktor yang mempengaruhi belajar disaat  Adi nakal ?
Itee : kadang main Hp tidak mendengarkan apa yang di bicarakan guru,tidak open,cuwek begitu,bermain sama teman-teman
Iter: kemudian kita masuk pertanyakan hasil belajar,nah hasil belajar yang di peroleh waktu nakal Adi?waktu guru mengajar dapat di mengerti atau tidak?
Itee : tidak mengerti waktu guru menerangkan tidak mau mendengar,mau main-main kalau guru menerangkan tidak mau tahu,buka buku tidak mau ?
Iter: terakhir gurunya menerangkan tidak mengertilah…?
Itee : ya tidak mengerti…!
Iter: kemudian masuk pertanyakan media pengajaran berbasis computer ada ngak di sekolah...
Itee : computer ada.?
Itee : disaat media berbasis computer itu nakal itu perna terjadi ngak itu?...
Itee : tidak perna ?
Iter : tapi kalau yang perna itu misalnya apa?...
Itee : di dalam lap computer begitu,tidak perna bhante !
Iter : seperti main game?....
Itee : tidak perna,tidak pandai buka internet ?
Iter : Di ajari mengetik?.
Itee : Di ajari mengetik...?
Iter : Kegiatan jahatnya,seperti merusak computer begitu?...
Itee : perna kibotnya mesin di pijit-pijit gitu..?
Iter : kemudian masuk pertanyakan berikutnya metode mengajar dengan mengunakan media computer, itu biasanya dari guru mengajar terus kita tidalk mengerti,kita mukul-mukul computer perna terjadi....?
Itee : Ada yang tidak mengerti cuman pukul teman,kadang pukul belakangnya,supaya kasih tahu. ?
Iter : kemudian kita masuk pertanyakan fungsi dan manfaat media pendidikan,jadi fungsi media pendidikan itu selama Adi ketahui di sekolah itu?apa-apa saja?seperti media perpustakaan.
Itee : kalau di perpustakaan tidak perna baca buku,setiap bermain berondok di perpustakaan,supaya guru mengira jadwal perpustakaan ?
Iter : jadi fungsi-fungsinya itu tidak di manfaatkan lah?.
Itee : ya ?
Iter : kemudian baik kita masuk pertanyakan berikutnya kenakalan remaja apa yang perna di lakukan kenakalan remaja itu oleh Adi di sekolah?
Iter : seperti ngejek-ngejek, ?
Iter : cubit-cubit kawan,kemudian sengol-sengol kawan?cewak-cewak kelas sering di gangu?
Itee : ya ?
Iter : kemudian masuk pertanyakan berikutnya definisi kenakalan remaja itu di pengaruhi apa saja?...
Itee : seperti gurunya tidak.mengarahkan,jadi muridnya menjadi,perna marah,cuman kita tidak perna ngapain,guru bilang apa kita cuwekan,jangan main,juga main-main,cuman kita tak perna dengar kalau guru tugur.?
Iter :kemudian teman-teman Adi yang wanita juga ada yang nakal?
Itee : Ada ?
Iter : ciri-ciri nakalnya gimana ?
Itee : jahil,suka bilangi orang.brisik,suka tertekan di sekolah ?
Iter : jadi kita masuk pertanyakan bentuk dan aspek aspek kenakalan remaja itu Adi selama sekolah itu apa ?....
Itee : sama kawan seperti taruk pulpen di atas bangku,biar dia duduk kesakitan!
Iter : kemudian ada yang lain,atau menyepak kawan,loncat dari meja...!
Itee : ya loncat dari meja..?
Iter : salain itu merokok di kamar mandi?....
Itee: perna!
Iter : ...kemudian masuk pertanyakan karakteristik remaja nakal bentuk apa?
Itee : merokok di kamar mandi!
Iter : kemudian?.
Itee : jahil,bandel,melangar aturan sekolah!
Iter : perna menggangu cewek sampai nagis?
Itee : perna mengejek sampai menagis!
Iter : kemudian di luar sekolah apa lagi?.
Itee :berkelahi perna sekali diluar sekolah.
Iter : Pertanyakan berikutnya faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan kenakalan remaja itu apa-apa saja?
Itee :  merokok untuk menghilangkan strees!
Iter :selain itu?
Itee : perna pikiran yang negatip,suka buka film yang tidak senono.
Iter : kemudian..!
Itee : tidak ada lagi!
Iter : kemudian masuk pertanyakan presepsi keharmonisan keluarga itu di keluarga Adi itu presepsi keharmonisan keluarga itu gimana?.
Itee : bapak marah-marah gitu,kadang pun perna melawan orang tua,apa yang di katakana tidak mau dengar,salalu melawan.
Iter : kenapa melawan?
Itee :waktu dulu perna beli Hp sama mama,perna lawan pada orang tua,mama orang sudah pakai Hp saya ko belum,bapak marah sama bapak.
Iter : kemudian masuk pertanyakan definisi persepsi keharmonisan keluarga?harmonis ngak?
Itee :tidak harmonis!
Iter : gimana itu ? kok tidak bisa harmonis?
Itee : karena setiap ada masalah apa,bapak tidak perna bisa ngomong pelan-pelan,selalu memakai emosi gitu!kek tidak bisa pakai kata-kata lembut gitu!
Iter : jadi Adi strees lah ya?
Itee : ya strees!!!
Iter : habis strees itu?apa yang menyebabkan menjadi nakal?
Itee :tidak mau sayangi orang tua lagi,tentunya Bapak,marah-marah mama begitu,karena bapak tidak kerja gitu,tapi ia main pukul,dia selalu maki mama,semua dia salah,dari saya sejak kecil mama cari makan sampai saya dewasa,itu pun mau main pukul!
Iter : jadi kamu jadi strees….lah ya ?
Itee : ya ….!
Iter : kemudian aspek-aspek keharmonisan keluarga sebab-sebab timbulnya keharmonisan keluarga?mengakibatkan nakal gitu?
Itee :marah-marah gitu,kayak mama jualan pagi-pagi,kami kalau dia kasih makan,kami masih ngantuk,kalau kadang kita tidak mau bangun,emosi,marah-marah,kalian mau mati !marahnya kayak gitu,jadi kami kira tidak harmonis lagi !
Iter : kemudian pertanyakan berikutnya factor-faktor yang mempengaruhi keharmonisan keluarga itu tidak harmonis itu salain itu apa lagi?
Itee :kadang kakak pun di banguni tidak mau bangun,marah-marah sama bapak,sehingga dia tidak perduli,kalau malam di seruh cepat tidur tidak mau,peginya di suruh bangun tidak mau,disitulah tidak terjadi harmonis.
Iter : pertanyakan berikutnya definisi konsep diri Adi !definisi konsep diri setelah strees dan kenakalan apa?
Itee : Saya bingung mau ngomong sama siap!bandel,sering menjahili kawan,melihat orang tua tidak perna akur gitu,selalu recok gitu!
Iter :sehingga konsep dirinya menjadi tidak ada gitu?
Itee : ya…….!bimbang…!
Iter : .berikutnya kita masuki!pertanyakan pembentukan konsep diri?jadi pembentukan konsep diri dari diri sendiri di pengaruhi ehhhhhh kenakalan factor orang tua?
Itee : ya?.....!
Iter : Adi konsep diri nakal dari mana ?
Itee : karena dari orang tua sering berantakan,tidak sering pakai kata-kata yang baik,kata-kata kasar,cakap kotor begitu,maka gitu anaknya tidak perna menghargai orang tuanya lagi!...
Iter : faktornya Adi semakin nakal apa ?
Itee : nakalnya tidak bandel kali,keluar cari kawan gitu,hilangkan strees ngomong-ngomong sama dia.
Iter : ada minuman keras ?
Itee :  tidak…..!
Iter : ..kita masuki pertanyakan aspek-aspek konsep diri ?konsep aspeknya  diri Adi itu ?konsep memilih saat nakal itu?
Itee :  mau berubah menjadi hal yang lebih baik lagi!
Iter : kemudian ada lagi konsep diri ehhhh supaya yang nakal itu berusaha tidak mengulanginya lagi gitu?..
Itee : ya ?
Iter : tapi apabilah orang tua tidak perna berubah apa makin strees?
Itee : tidak perna berubah melihat orang tua tidak perna akur,semakin stress….!
Iter : kita masuk pertanyakan remaja di sisi adi itu yang nakal itu membuat jadi bahagia atau duka?
Itee : jadi duka!..
Iter : jadi maksudnya jadi remaja itu apa?
Itee : sudah bisa cari duit,kalau dulu dididik oleh orang tua,sekarang tidak lagi,keknya kerja sendiri,bisa cari uang sendiri!
Iter : perna minta uang untuk beli rokok,nakoba
Itee : Ya ?
Iter : ...kiat masuk pertanyakan definisi remaja apa yang adi ketahui?definisi remaja itu?yang adi lihat nakal itu…?.
Itee : melihat kawan seperti merokok,minum keras,obat,gitu?cuman aku tidak ikut pada waktu itu!
Iter : kemudian disaat itu ehhhh definisi remaja Adi terbentuk gimana?rasanya ikut atau tidak
Itee :tidak saya bandel tidak boleh ikut orang yang merokok,minum keras gitu???!!!!!!!!!!!!!
Iter :atau geng motor?!!!
Itee :tidak perna….!
Iter :tapi perna sekali untuk naik seperti itu…?
Itee :ya ada…!
Iter :disaat nakal itu di coba sepeda motor yang suara besar-basar…..?
Itee :ya perna ….!....
Iter :kita masuk pertanyakan ciri-ciri remaja?apa yang adi ketahui ciri-ciri remaja itu?ciri-cirinya gimana…?
Itee :merokok,minuman keras,berjudi…..!
Iter :Adi sekarang rengking di sekolah berapa ya…?
Itee :rengking 23 dari 29 orang siswa…!
Iter : jadi rengking dari belakang corot ya ?
Itee : karena itu dari 29 siswa…!
Iter : jadi sudah selesai cukup sekian ehhhhh….!wawancaranya sudah selesai! Terima kasih ya…..!
Itee : ya….!
Iter : Namo…buddhaya….!
Itee : Namo..buddhaya bhante…!


Adi sangat nakal,malas belajar dan terpengaru oleh lingkungan dari rumah dan kurang mengerti apa itu belajar di kemudian hari bagi dirinya





Adi tidak merasa prinsip untuk belajar kurang dan minat untuk belajar juga tidak baik,sehingga banyak perhatian dari guru terabaikan oleh karena ketidak perdulian bagi dirinya dan orang lain.




Adi begitu juga dengan konsentrasi belajar dengan media Hp dan asik bermain tidak memperhatikan sekitarnya,baik lingkungan sekolah dan teman,bahkan untuk dirinya sendiri juga kurang di perhatikan,sehingga sesukanya apa yang dia mau.




Adi juga tidak mau memperhatikan disaat perhatian ganjar-mengajar dari guru,sehingga perhatian belajar kurang di peroleh dan malas untuk memperoleh ilmu pengetahuan dari guru dan juga malas untuk membaca buku pelajaran sekolah.



Media yang tersedia juga kurang di perhatikan dengan memperoleh pendidikan yang baik di teknologi informasi ini,sehingga sampai juga tidak bisa mempergunakan internet,juga nakal disaat ganjar-mengajar computer,sehingga sampai dengan menggangu temannya belajar.


Media yang ada berupa computer juga kurang di perhatikan dan cuman lebih memperhatikan teman untuk bertanyak dengan usil



Media yang berfungsi sebagai alat bantu juga tidak dapat di manfaatkan oleh siswa yang nakal,sehingga justru tempat untuk berlindung dan alas an untuk bermain,tidak memperdulikan media itu juga akan menggangu orang lain.

Kenakalan yang bersifat individu dengan sikap mental yang suka berbuat kesenangan diri sendiri dan suka menggangu orang lain,sifatnya nakal itu juga akan membuat prilaku akan senang di waktu jangka waktu yang pendek saja.


Tidak memperhatikan disaat guru mengajar banyak perhatian terabaikan,ilmu pengetahuan yang di berikan tidak bermanfaat bagi murid,sehingga kenakalan lebih memetingkan diri sendiri,untuk berbuat nakal di doromg oleh sikap acuh tak acuh dan tidak mau tahu di saat ngajar-mengajar


Perbuatan jahat dengan tujuan nakal dengan niat untuk bermain-main dapat memicu suatu perbuatan nakal dengan pribadi untuk mehilangkan strees diri,sehingga tidak memperdulikan strees orang lain.
Prilaku nakal juga dapat membohongi diri dan orang lain,dengan sikap nakal juga dengan cara mencuri waktu untuk berbuat nakal,sehingga sikap nakal juga di dorong oleh nakal,karena usil,jahil dan suka bermain-main.

Perbuatan nakal dengan niat untuk kesenangan diri juga dapat buruk bagi dirinya sendiri dan orang lain,suka mencari pikiran yang nakal untuk memuaskan nafsu keinginan.


Adi merasa hidup ini tertekan oleh orang tua yang mempunyai sifat yang tidak memperhatikan anak-anaknya,sehingga suka bertengkar dengan sikap yang buruk



Adi dengan sifat orang tua yang kasar,suka dengan kata-kata yang kasar dengan mendidik anak,sehingga adi merasa stress dan tertekan oleh keluarga yang tidak akur,sering bertengkar dan memukul ibunya,kalau berbicara tidak bisa pelan dan kasar,bagitu juga saudaranya yang suka malas di waktu bagun tidur,sehingga Adi menjadi tidak harmonis



Adi yang strees dengan sikap orang tua yang selalu bertengkar dan sering memukul ibunya,kalau disaat pulang kerja,memperhatikan anak-anaknya dengan sikap yang kasar dengan marah-marah.walaupun seorang ibu selalu menyangi anaknya akan tetapi caranya berbada dengan kasar.

Sikap saudara atau kakaknya dalam keluarga yang tidak mempunyai disiplin hidup semberautan,dengan suka-suka menentukan waktu dan jam,sifat keluarga yang mempengaruhi sikap nakal adiknya juga membuat merasa tidak harmonis dalam keluarga

Strees tidak mempunyai konsep diri,ragu-ragu menetukan sikap hidup,tidak bisa member pendapat dan melepaskan tekanan dari keluarga,bimbang dengan sikap pribadi yang memicu nakal.



Sikap Adi dari orang tua yang buruk,sering cakap jorok dan tidak memperhatikan anak,maka anak tidak perna akan menghargai orang tua yang suka marah,benci,kata-kata kasar,tidak perduli oleh anak dan istri.


Perubahan hal baik apabila tekanan dari keluarga juga berubah sekap seseorang,akan tetapi dari keluarga tidak berubah,maka perubahan juga sedikit,namun srees dengan keperdulian yang tidak lebih,maka masalah dalam sapek konsep diri juga ada perubahan.


Remaja yang di dorong dengan tekanan yang bersifat buruk,maka pengalaman hidup juga akan membuat suatu pengalaman pahit,sehingga ingin berubah dengan jenjang remaja yang akan memasuki usia dewasa,dorongan pikiran dan perbuatan akan menuju pada sikap berdiri sendiri.


Remaja yang terpengaruh hal yang buruk justru membuat remaja ingin mencoba hal yang baru,sehingga baik dan buruk juga ingin di ketahui,sehingga banyak menimbulkan efek yang kurang baik  dirinya dan lingkungan orang lain,kanakalan juga di picu oleh rasa ingin tahu dan ingin mencobanya.


Remaja nakal yang terpengaruh hal yang buruk juga cepat berkembang dari lingkungan dan pergaulan bersama teman-teman,jadi kecenderungan remaja nakal leratip dari gensi dan kepercayaan diri kurang,sehingga terjadi perbuatan yang di contoh oleh teman-teman yang nakal.












DAFTAR PUSTAKA
 Keharmonisan Keluarga. A.1. Pengertian Keluarga. Keluarga menurut Ahmadi (1991:20
Aryanti. 2008. Pengertian Persepsi. pengertian-persepsi. Azizi A, Nasution Z. 2008.
Sudarsono. (2004). Kenakalan Remaja. Jakarta: Rieka Cipta.
Santrock. (2003). Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.
Sarlito, W.S. (2003). Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ali, M. ... Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. -----------.
Daftar Pustaka Makalah dan Skripsi. Arikunto, S. (2005). Manajemen ... Bandung: Remaja Rosdakarya. Related posts
Menurut Kartono (2003) .... Menurut teori perkembangan yang dikemukakan oleh Erikson (dalam. Santrock, 1996)
Santrock. J. W. (2003). Adolescence: Perkembangan Remaja.(edisi keenam) Jakarta: Erlangga
Bresnick, S., (2003), Intisari Biologi, Hpokrates, Jakarta.
.     Alkatri, S., (1996), Kajian Ringkas Biologi Beserta Soal – Soal, Airlangga University Press, Surabaya
         Syamsuri, I.., (2000), Biologi SMA, Erlangga, Jakarta.
          UNICEF (2003 (diakses tanggal 13 April 2008)
          Alsa, A. 2003. Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif serta Kombinasinya dalam Penelitian Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
         American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (4th ed.) (text revision). Washington, DC: APA Press.
         Anastasi & Urbina.1997. Tes Psikologi. Edisi Bahasa Indonesia. Alih Bahasa Robertus H. Imam. Jakarta: Prenhallindo
        Goleman, Daniel. (2000). Working With Emotional Intelligence (terjemahan). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
       Goleman, Daniel. (2000). Emitional Intelligence (terjemahan). Jakata : PT Gramedia Pustaka Utama.







DAFTAR GAMBAR
                                                                                                               Halaman
Gambar1. Kenakalan Remaja pada Laki – Laki                                                  i
                           
                  
Gambar2. Kenakalan Remaja pada Wanita                                                         ii
                                                                         


Gambar3. Wawancara Subjek                                                                            iii
       
          Gambar4. Lokasi kenakalan                                                                    iv      
  
Gambar5. Siklus Kenakalan Remaja                                                                  v





Yudisium mahasiwa UNPRI pada tgl 18 september 2016

Acara pelepasan wisudawan dan wisudawati psikologi S1 angkatan ke 5 Yudisium mahasiwa Unpri jurusan psikologi, kegiatan ini juga akan ...