Kenakalan Remaja Pada Keluarga Yang Kurang Harmonis
Suatu Pendekatan Fenomenologi
PROPOSAL
Diajukan
Kepada Fakultas Psikologi Universitas Prima Indonesia
Guna Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Untuk Proposal Metodologi Penelitian II
kualitatif
Oleh:
Tjung teck
11.33.100.95
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA
MEDAN
2013
TEMA
Kenakalan Remaja Pada Keluarga Yang Kurang Harmonis
Diajukan
Untuk Proposal Metodologi Penelitian II kualitatif
Oleh:
Tjung teck
11.33.100.95
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA
MEDAN
2013
Menyetujui:
Dosen Pembimbing Skripsi
LIANA MAILANI. S.Psi.M.A
NIP.
Mengetahui:
Jurusan Psikologi
(S1) Program
Studi Psikologi
Ketua,
Ketua,
Rianda Elvinawanty S.Psi.M.Si
Sri Hartini.Psi.M.Si
NIP.
NIP.
Kata
Pengantar
Dengan
Tujuan Penelitian kualitatif nanti tujuannya akan mengembangkan suatu hasil
yang di peroleh dalam penelitian,Sebelumnya Puji sukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa,dengan rahkmat kebesaranya tujuan pelaksanaan penelitan juga akan berjalan
dengan lancar,namun dengan memperoleh setiap hasil penelitian juga akan
menghasilkan dampat yang jauh lebih baik,kendati setiap penelitian juga
membutuhkan waktu dan ruang lingkup kerja sama yang baik dengan
sesamanya,seperti penelitian juga membutuhkan kerja sama antara objeck dan
subjeck yang di teliti.
Tahap
awal dalam penelitian mencakup lingkungan tempat dalam suatu tujuan penelitian,lokasi
yang paling penting dalam penelitian keadaan
lingkungan yang pantas atau cocok dalam suatu penelitian,banyak penelitian yang
bergantung pada tempat.waktu dan lingkungan yang baik untuk melaksanakan suatu
penelitian itu,juga dukungan dan bimbingan dari dosen tentunya Ibu Liana
Mailani.Spsi,MA sebagai dosen mata kuliah Metodologi Penelitian II yang banyak
memberi masukan berupa bimbingan dari awal penyusunan proposal dari yang salah
atau berantakan menjadi susunan yang baik dan benar dengan berdasarkan aturan
Akademis di Universita UNPRI.
Penelitian
juga membutuhkan banyak pengetahuan yang bertujuan untuk mengetahui hasil suatu
penelitian, yang bersadarkan landasan teori dan secara ilmia,berupa perubahan
dan hasil juga akan nantinya menjamin hasil penelitian menjadi hasil yang
secara ilmia,Selaku penelitian yang meneliti persoalan yang berdasarkan judul
ini,juga banyak menerima masukan dan dukungan dari berbagai pihak,Seperti
lokasi sekolah,tempat dan waktu lingkungan yang mendukung meneliti dengan
baik,Dengan ucapan terima kasih kepada Dosen pembimbing,Kepala sekolah Dhamma
Sekha Dhamma Mitta,segala pihak lingkungan jl. Kebun sayur Deli Serdang yang
mendukung untuk melakukan suatu penelitian kualitatif di sekolah itu.
Medan,08
Mei 2013
Tjung teck
Peneliti
DAFTAR
ISI
Pengesahan
Daftar
isi-----------------------------------------------------------------------------------------------05
Lampiran----------------------------------------------------------------------------------------------89
Daftar
Gambar----------------------------------------------------------------------------------------81
BAB
I PENDAHULUAN
1.Latar
Belakang Masalah
A.Keluarga
Yang Kurang Harmonis
Sebagai
factor Penyebab Kenakalan Remaja-----------------------------------------------------08
2.Identifikas
Masalah--------------------------------------------------------------------------------21
3.Batasan
Masalah-----------------------------------------------------------------------------------21
4.Rumusan
Masalah---------------------------------------------------------------------------------22
5.Tujuaan
Penelitian---------------------------------------------------------------------------------22
6.Manfaat
Penelitian---------------------------------------------------------------------------------22
BAB
II TINJAUAN PUSTAKA
1.Kerangka Teoritis----------------------------------------------------------------------------------23
A.Definisi
Kenakalan Remaja----------------------------------------------------------------------23
B.Bentuk
dan Aspek-Aspek Kenakalan Remaja-------------------------------------------------24
C.Karakteristik
Remaja Nakal----------------------------------------------------------------------29
D.Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Kecenderungan
Kenakalan
Remaja------------------------------------------------------------------------------------31
A.Keharmonisan
Keluarga--------------------------------------------------------------------------35
B.Aspek-Aspek
Keharmonisan Keluarga---------------------------------------------------------37
C.Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Keharmonisan Keluarga------------------------------39
2.Konsep
Diri-----------------------------------------------------------------------------------------40
A.Definisi
Konsep diri------------------------------------------------------------------------------40
B.Pembentukan
Konsep Diri-----------------------------------------------------------------------42
C.Aspek-Aspek
Konsep Diri-----------------------------------------------------------------------44
D.Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Konsep Diri--------------------------------------------45
3.Remaja----------------------------------------------------------------------------------------------46
A.Definisi
Remaja-----------------------------------------------------------------------------------46
B.Ciri-ciri
Remaja-----------------------------------------------------------------------------------47
C.Landasan
Teori------------------------------------------------------------------------------------49
BAB
III METODE PENELITIAN
A.Pendekatan
Kualitatif----------------------------------------------------------------------------54
B.Metode
Pengambilan Data-----------------------------------------------------------------------56
1.
Wawancara-----------------------------------------------------------------------------------57
2.
Observasi-------------------------------------------------------------------------------------60
C.
Responden Penelitian--------------------------------------------------------------------------62
1.Karakteristik Responden-----------------------------------------------------------------62
2.Jumlah Responden------------------------------------------------------------------------62
3.Lokasi dan
Waktu Penelitian------------------------------------------------------------63
D.
Alat Bantu Pengumpulan Data------------------------------------------------------------------63
1.Pedoman Wawancara---------------------------------------------------------------------64
2.Alat Perekam (tape recorder)--------------------------------------------------------------------64
E. Prosedur
Penelitian-------------------------------------------------------------------------------65
1.Tahap Persiapan Penelitian--------------------------------------------------------------65
2.Tahap Pelaksanaan Penelitian-----------------------------------------------------------66
F.Prosedur
Analisi Data-----------------------------------------------------------------------------68
1.lokasi dan
waktu Penelitian--------------------------------------------------------------69
2.lokasi
Penelitian---------------------------------------------------------------------------69
3.Waktu
Penelitian--------------------------------------------------------------------------69
G.Teknik
Observasi Wawancara-------------------------------------------------------------------69
1.Rekaman
Rekoder----------------------------------------------------------------------------------69
2.Tanyak jawab langsung
kepada Subjeck--------------------------------------------------------69
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR
LAMPIRAN
Halaman
Lampiran
1 Observasi
Lampiran
2 Wawancara
Lampiran
3 Verbatin
DAFTAR
GAMBAR
Halaman
Gambar1.
Kenakalan Remaja pada Laki – Laki
Gambar2.
Kenakalan Remaja pada Wanita
Gambar3.
Lokasi kenakalan
Gambar4.
Siklus Kenakalan Remaja
BAB I
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
A.Keluarga Yang Kurang Harmonis Sebagai
factor Penyebab Kenakalan Remaja
Di
Indonesia banyak terjadi kenakalan remaja di sebabkan oleh lingkungan dan
pendidikan dari orang tua,sehingga banyak tekanan dari lingkungan berupa dari
orang tua dan saudara-saudaranya,biasanya kenakalan remaja ini juga banyak di
dorong oleh prilaku buruk dari keluarga,seperti orang tua yang cara mendidik
anak-anaknya dengan sifat yang keras dengan prilaku kasar maupun ucapan yang
kasar melalui hubungan komunikasi dengan kata-kata yang kasar dan jorok,namun
dengan melihat kondisi anak yang tertekan oleh keadaan dari orang tua,maka anak
cenderung menjadi bandel,degil,nakal,prilaku buruk yang di contoh oleh orang
tuanya,sehingga juga di praktekan di lingkungan di mana bergaul dengan juga
terpengaruh oleh sifat dari teman-temannya,kemudian anak nakal juga dari
tekanan dari orang tua maka anak menjadi tertekan dan mencari lampiasan dengan
gensi, berupa apa saja yang ada di lingkungan,seperti hal dengan
berbohong,berjina,merokok,mabuk,mencuri,merampok,perkosaan teman sebayanya
untuk berbuat bermacam kejahatan berupa mencuri,berbohong,sehingga kejadian
selalu berulang tampa harus berubah kalau perbuatan ini merasa yang baik untuk
dirinya.
Anak nakal biasa tertekan oleh situasi dalam
keluarga,maka bergaul dan berbuat jahat juga karena di sebabkan oleh
gensi,merasa apa yang dilakukan merasa benar,walaupun banyak yang di tutupi jati
dirinya yang tertekan oleh stress dari rumah,juga banyak pranata hidup juga di
langar baik sampai badan hokum,seperti
mencuri,merampok,pemerkosaan,nakoba,Banyak pristiwa anak nakal dengan beragam
permasalah yang timbul akibat ketidak sesuaian hidup bersama orang tuanya,walaupun
banyak perbuatan nakal di peroleh dari luar lingkungan seperti pergaulan dari
teman dan kenakalan dari dirinya sendiri,hal seperti malas,tidur larut malam setelah
orang tua marah membangunkan tidak mau bangun,tidur malas bangun,sehingga orang
tua jerah dan marah dengan kata kasar dengan makian yang ucapan kasar.
Sarwono
(2002) mengungkapkan kenakalan remaja sebagai tingkah laku yang menyimpang dari
norma-norma hukum pidana, sedangkan Fuhrmann (1990) menyebutkan bahwa kenakalan
remaja suatu tindakan anak muda yang dapat merusak dan menggangu, baik terhadap
diri sendiri maupun orang lain. Santrock (1999) juga menambahkan kenakalan
remaja sebagai kumpulan dari berbagai perilaku, dari perilaku yang tidak dapat
diterima secara sosial sampai tindakan kriminal.
Khasus
seperti : -10148Itee :tidak
mau sayangi orang tua lagi,tentunya bapak,marah-marah sama mama begitu,karena
bapak tidak kerja gitu,tapi ia main pukul,dia selalu maki mama,semua dia
salah,dari saya sejak kecil mama cari makan sampai saya dewasa,itu pun mau main
pukul. Adi
dengan sifat orang tua yang kasar,suka dengan kata-kata yang kasar dengan
mendidik anak,sehingga adi merasa stress dan tertekan oleh keluarga yang tidak
akur,sering bertengkar dan memukul ibunya,kalau berbicara tidak bisa pelan dan
kasar,bagitu juga saudaranya yang suka malas di waktu bagun tidur,sehingga Adi
menjadi tidak harmonis.
Anak Nakal Tidak Mau Mendegar Nasehat
Orang Tua Latar
belakang kenakalan umunya terjadi akibat didikan orang tua dan lingkungan yang
mempengaruhi,sebab terjadi kenakalan remaja tentunya di akibatkan perhatian
dari orang tua,yang kurang cara mendidika orang tua bagi anak dengan
kekerasan,kebencian,mementingkan diri sendiri,,tidak perduli anak dan istri
,sifat buruk dari orang tua,pengaruh dari lingkungan yang bersifat buruk,anak
merasa hidupnya tertekan oleh sifat buruk dari orang tua,anak yang bandel juga
sebab utama bagi kenakalan di nasehati tidak mau mendengar,jadi
degil,bandel,sehingga salah menyalakan orang lain dan diri sendiri,akibatnya
anak semakin bandel dan nakal,orang tua juga mendidik anaknya dengan kekerasan
ucapan,kata-kata kasar,makian,benci,karena prilaku anak yang malas dan bandel.
Khasusnya seperti melihat khasus yang terjadi seperti
tauran,geng motor yang selalu merusak pranata hidup manusia,juga merusak diri
sendiri dengan taruhan balap sepeda motor dan kalah menang motor menjadi
taruhannya dan juga taruhan uang,namun dengan tauran yang merugikan masyarakat
juga perkelahian antar geng motor yang mengakibatkan kerusakan motor dan
fasilita umun,sehingga juga merampok apabila di butuhkan dalam suatu kebutuhan
hidup untuk nakoba,mencuri,sampai dengan pemerkosaan bagi wanita,kalau
perkelahian antar geng motor terjadi maka kerusakan bisa memicu pada hulu-arah,
yang berhubungan keamanan nasional
berupa tauran antar geng yang bisa melibatkan berbagai pihak istansi
pemerintahan,seperti polisi,sapan, untuk menindak lanjuti setiap tauran,
sehingga juga terjadi pertikaian antara geng motor bersama polisi.
Kutipan jurnal Syabab
Syabab. -
Geliat dunia remaja yang berjumlah 63,4 juta atau sekitar 26,7 persen dari
total penduduk Indonesia kian banyak menyita perhatian media. Sayangnya, kabar
dari dunia remaja yang mengisi headline media massa justeru
didominasi oleh berita miring dan negatif. Kasus kenakalan remaja—yang mengarah
pada kriminalitas remaja—dengan berbagai bentuknya tak henti-hentinya menjadi
trending topik, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Sudah separah itukah
kondisi remaja saat ini?
Kenakalan Remaja Kian
Merajalela Naiknya grafik
jumlah kenakalan/kriminalitas remaja setiap tahun menunjukkan permasalahan
remaja yang cukup kompleks. Ini tidak hanya diakibatkan oleh satu perilaku
menyimpang, tetapi akibat berbagai bentuk pelanggaran terhadap aturan agama,
norma masyarakat atau tata tertib sekolah yang dilakukan remaja. Berikut
beberapa bentuk kenakalan remaja—yang sejatinya mengarah pada
kejahatan/kriminalitas remaja, red.—yang sering
mendominasi pemberitaan media massa:
Penyalahgunaan narkoba Penyalahgunaan narkoba di kalangan
remaja makin menggila. Penelitian yang pernah dilakukan Badan Narkotika
Nasional (BNN) menemukan bahwa 50 – 60 persen pengguna narkoba di Indonesia
adalah kalangan pelajar dan mahasiswa. Total seluruh pengguna narkoba
berdasarkan penelitian yang dilakukan BNN dan UI adalah sebanyak 3,8 sampai 4,2
juta. Di antara jumlah itu, 48% di antaranya adalah pecandu dan sisanya sekadar
coba-coba dan pemakai. Demikian seperti disampaikan Kepala Bagian Hubungan
Masyarakat (Kabag Humas) BNN, Kombes Pol Sumirat Dwiyanto seperti dihubungi detikHealth, Rabu
(6/6/2012).
Akses media porno Pornografi dan pornoaksi yang tumbuh
subur di negeri kita memancing remaja untuk memanjakan syahwatnya, baik di
lapak kaki lima maupun dunia maya. Zoy Amirin, pakar psikologi seksual dari
Universitas Indonesia, mengutip Sexual Behavior Survey 2011, menunjukkan
64 persen anak muda di kota-kota besar Indonesia ‘belajar’ seks melalui film
porno atau DVD bajakan. Akibatnya, 39 persen responden ABG usia 15-19 tahun
sudah pernah berhubungan seksual, sisanya 61 persen berusia 20-25 tahun.
Survei yang didukung pabrik kondom Fiesta itu mewawancari 663 responden
berusia 15-25 tahun tentang perilaku seksnya di Jabodetabek, Bandung,
Yogyakarta, Surabaya dan Bali pada bulan Mei 2011.
Seks bebas Gerakan
moral Jangan Bugil di Depan Kamera (JBDK) mencatat adanya
peningkatan secara signifikan peredaran video porno yang dibuat oleh anak-anak
dan remaja di Indonesia. Jika pada tahun 2007 tercatat ada 500 jenis video
porno asli produksi dalam negeri, maka pada pertengahan 2010 jumlah tersebut
melonjak menjadi 800 jenis. Fakta paling memprihatinkan dari fenomena di atas
adalah kenyataan bahwa sekitar 90 persen dari video tersebut, pemerannya
berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Sesuai dengan data penelitan
yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah
Mada (UGM) Yogyakarta. (Okezone.com, 28/3/2012).
Aborsi Gaya hidup seks bebas berakibat pada
kehamilan tidak dikehendaki yang sering dialami remaja putri. Karena takut akan
sanksi sosial dari lingkungan keluarga, sekolah, atau masyarakat sekitar,
banyak pelajar hamil yang ambil jalan pintas: menggugurkan kandungannya. Base
line survey yang dilakukan oleh BKKBN LDFE UI (2000), di Indonesia
terjadi 2,4 juta kasus aborsi pertahun dan sekitar 21% (700-800 ribu)
dilakukan oleh remaja. Data yang sama juga
disampaikan Komisi Nasional Perlindungan Anak tahun 2008. Dari 4.726 responden
siswa SMP dan SMA di 17 kota besar, sebanyak 62,7 persen remaja SMP sudah tidak
perawan, dan 21,2 persen remaja mengaku pernah aborsi (Kompas.com,
14/03/12).
Prostitusi Selain
aborsi dan penularan penyakit menular seksual, gaya hidup seks bebas juga
memicu pertumbuhan pekerja seksual remaja yang sering dikenal dengan sebutan ‘cewek
bispak’. Sebuah penelitian mengungkap fakta bahwa jumlah anak dan
remaja yang terjebak di dunia prostitusi di Indonesia semakin meningkat dalam
empat tahun terakhir ini, terutama sejak krisis moneter terjadi. Setiap tahun
sejak terjadinya krismon, sekitar 150.000 anak di bawah usia 18 tahun menjadi
pekerja seks. Menurut seorang ahli, setengah dari pekerja seks di Indonesia
berusia di bawah 18 tahun, sedangkan 50.000 di antaranya belum mencapai usia 16
tahun (Tawuran Kejahatan remaja yang satu ini tengah naik daun pasca
tawuran pelajar SMAN 70 dengan SMAN 6 yang menewaskan Alawi, siswa kelas X SMA
6. Tawuran pelajar seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perilaku
pelajar. Meski sudah banyak jatuh korban, ‘perang kolosal’ ala pelajar terus
terjadi. Data dari Komnas Anak, jumlah tawuran pelajar sudah memperlihatkan
kenaikan pada enam bulan pertama tahun 2012. Hingga bulan Juni, sudah terjadi
139 tawuran kasus tawuran di wilayah Jakarta. Sebanyak 12 kasus menyebabkan
kematian. Pada 2011, ada 339 kasus tawuran menyebabkan 82 anak meninggal dunia
(Vivanews.com, 28/09/12).
Geng motor Karena longgarnya pengawasan dan
ketidaktegasan terhadap geng motor, para angota geng motor semakin leluasa
bertindak brutal. Lembaga pengawas kepolisian Indonesia (IPW) mencatat ada tiga
prilaku buruk geng motor yaitu balapan liar, pengeroyokan dan judi berbentuk
taruhan. Tak tanggung-tanggung, menurut data IPW, judi taruhan tersebut berkisar
pada Rp 5 sampai 25 juta per sekali balapan liar. IPW juga mencatat aksi brutal
yang dilakukan geng motor di Jakarta telah tewaskan sekitar 60 orang setiap
tahunnya. Mereka menjadi korban aksi balap liar, perkelahian, maupun korban
penyerangan geng motor).
Kejahatan remaja yang terus
meningkat setiap tahunnya menunjukkan bahwa kondisi ini tidak semata potret
buram, tetapi juga kusut dan sulit terurai. Pemerintah seolah ‘angkat tangan’
mengatasinya sampai tuntas. Faktanya, setiap tahun grafik kejahatan remaja
terus beranjak naik. Padahal sudah banyak kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah
untuk mengatasi masalah ini, tetapi hasilnya belum signifikan. Apa yang salah
dengan solusi dari Pemerintah?
Solusi Kapitalis
Setengah Hati
Berbagai upaya dilakukan oleh
Pemerintah agar generasi muda bisa menunjukkan kesiapannya menjadi calon
pemimpin masa depan. Berikut beberapa kebijakan Pemerintah dalam mengatasi
masalah remaja:
Gerakan anti narkoba Guna mengantisipasi penggunaan narkoba
di kalangan remaja, Pemerintah gencar mengkampanyekan program ‘Say
No to Drugs!’ Ini dilakukan mulai dari penunjukkan duta remaja anti
narkoba, sosialisasi bahaya narkoba ke sekolah-sekolah, hingga razia narkoba di
kalangan remaja. Bagi pecandu heroin yang sudah akut, Pemerintah memfasilitasi
mereka dengan pengadaan jarum suntik steril sebagai antisipasi penyebaran virus
HIV. Ada juga program substitusi (pengganti) heroin dengan metadon sebagai
bagian dari terapi penyembuhan pecandu.
Ironis. Di satu sisi Pemerintah
ngotot ingin menghentikan peredaran narkoba, namun di sisi lain justru
pemerintah melestarikan pemakaian narkoba. Inilah salah satu solusi dangkal
yang ditawarkan oleh sistem kapitalis sekular dalam mengatasi masalah narkoba.
Gerakan kondomisasi Saat ini, kampanye safe
sex with condom gencar disuarakan berbagai pihak demi memutus
rantai penyebaran virus HIV. Hal senada juga diangkat lagi oleh Menkes Nafsiah
Mboi dengan program kondomisasi remaja; seolah ‘karet pengaman’ itu tidak bisa
ditembus oleh HIV. Padahal kenyataan menunjukkan sebaliknya. Pakar AIDS, R,
Smith (1995), setelah bertahun-tahun mengikuti ancaman AIDS dan penggunaan
kondom, mengecam mereka yang telah menyebarkan safe sex
dengan cara menggunakan kondom sebagai “sama saja dengan mengundang kematian”.
Selanjutnya beliau mengetengahkan pendapat agar risiko penularan/penyebaran
HIV/AIDS diberantas dengan cara menghindari hubungan seksual di luar nikah (Republika,
12/11/1995).
Kondomisasi cuma sebuah
solusi pragmatis yang sangat menyesatkan. Pasalnya, kondomisasi bukan
menghilangkan akar masalah sesungguhnya, yakni seks bebas yang kian beringas di
kalangan remaja. Sebaliknya, kondomisasi makin menambah masalah, karena secara
tidak langsung melegalisasi seks bebas. Bukannya mengantisipasi, malah
memfasilitasi. Akibatnya, kampanye kondom berpotensi menguatkan gaya hidup seks
bebas. Hal ini pernah diungkapkan oleh Mark Schuster dari Rand, sebuah lembaga
penelitian nirlaba, dan seorang pediatri di University of California.
Berdasarkan penelitian mereka, setelah kampanye kondomisasi, aktivitas seks
bebas di kalangan pelajar pria meningkat dari 37% menjadi 50% dan di kalangan
pelajar wanita meningkat dari 27% menjadi 32% (USA Today,
14/4/1998).
Razia tawuran pelajar Untuk mengantisipasi tawuran pelajar
yang kian marak, Pemerintah gencar melakukan razia ke sekolah maupun di jalan
raya. Pelajar yang kedapatan membawa senjata tajam segera diciduk dan dibawa ke
kantor polisi untuk diproses. Menteri Pendidikan Nasional, M Nuh menjelaskan
langkah konkret yang akan ditempuh agar tawuran tidak kembali terjadi, yakni
dengan cara membuat tiga rumusan dasar: (a) Tegakkan disiplin internal sekolah;
(b) Bangun kegiatan bersama antarsekolah; (c) Berikan dukungan penuh kepada
kepolisian untuk menegakkan hukum siapapun yang salah harus dihukum.
Dari upaya Pemerintah mengatasi
kenakalan/kejahatan remaja, kebanyakan masih berkutat di permukaan yang
pragmatis, belum menyentuh aspek mendasarnya. Inilah solusi pragmatis setengah
hati yang menjadi ciri khas sistem kapitalis dalam menyelesaikan masalah.
Penyalahgunaan narkoba diatasi dengan metode substitusi (pengganti). Maraknya
prostitusi diatasi dengan lokalisasi. Gencarnya seks bebas diatasi dengan
kondomisasi. Jadi, yang pemerintah kejar bukan kebaikan masyarakat, tetapi
hanya penurunan pengidap HIV/AIDS agar sesuai dengan poin 6 agenda MDGs (Millenium
Development Goals) atau Tujuan Pembangunan Milenium. Inilah salah
satu bentuk penjajahan baru dari negara kapitalis yang dilegitimasi oleh PBB.
Dengan demikian negara maju bisa dengan bebas mengintevensi kebijakan negara
berkembang dengan dalih penyelesaian masalah sosial. Padahal solusinya tampak
setengah hati dan menambah parah masalah dalam negeri.
Menepis Diskriminasi
Rohis Satu hal yang tidak
disentuh secara intensif oleh Pemerintah dalam mengatasi masalah
kenakalan/kejahatan remaja, yaitu edukasi bermutu tinggi; sebuah konsep
pembelajaran bagi remaja yang bisa mempengaruhi pola pikir dan pola sikap
mereka ke arah positif. Tidak sekadar penyuluhan akibat seks bebas atau
sosialisasi bahaya narkoba, tetapi pembentukan pemahaman positif pada diri
remaja yang terus-menerus. Dengan begitu mereka mempunyai dorongan sangat kuat
untuk menjauhi perilaku yang bisa mengantarkan mereka pada kenakalan/kejahatan.
Dorongan yang lebih kuat dari solidaritas teman, pertimbangan materi, atau
ikatan emosional, inilah yang didapat siswa dari kegiatan rohis di sekolah
maupun kampus.
Rohis dapat meningkatkan sikap
religius siswa. Melalui rohis siswa memiliki kesempatan yang cukup besar untuk
mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan dan meningkatkan pemahaman keislaman
melalui kajian hadis, fikih, akidah, akhlak dan tarikh. Bukan hanya itu,
kajian khusus untuk membahas problematika remaja dengan cara pandang Islam
menjadikan para siswa memiliki kepribadian yang Islami (syakhshiyah
Islamiyah). Mereka menjadi siswa yang memahami halal dan haram,
terikat dengan aturan agama dan taat beribadah. Semua itu akan menjadi pondasi
awal bagi mereka jika kelak menjadi pemimpin ataupun yang dipimpin di dalam
masyarakat. Kehadiran rohis setidaknya menjadi solusi untuk mengeliminasi
masalah kenakalan remaja yang terus meningkat.
Sayangnya, pada tanggal 5
September 2012, Metro TV bikin ulah yang
mencoreng nama baik organisasi kerohanian Islam alias rohis. Dalam sebuah
tayangan program “Metro Hari Ini”, stasiun TV yang digawangi Surya Paloh ini
memaparkan sebuah ilustrasi mengenai pola rekrutmen ‘teroris muda’ yang
dikaitkan dengan kegiatan ekstra kulikuler berbasis mesjid yang ada di sekolah.
Apa yang disampaikan
Pranowo dan Metro TV semakin menguatkan
keyakinan banyak orang bahwa war on terrorism is war
against Islam. Ini adalah stempel negatif yang dimaksudkan untuk
membunuh karakter rohis, aktivisnya dan ajaran Islam. Stigma ini adalah teror
yang menakut-nakuti agar para siswa menjauh dari rohis; teror bagi orangtua
siswa agar tidak mengizinkan putra-putrinya aktif bersama rohis; juga teror
terhadap institusi sekolah agar menutup kegiatan rohis jika tidak ingin dicap
melindungi base camp pembinaan teroris.
Jika Pemerintah punya kemauan
kuat untuk mengatasi kenakalan/kejahatan remaja, sejatinya tak memandang
sebelah mata keberadaan rohis, apalagi sampai mengkaitkannya sebagai sarang
teroris. Justru rohis dengan segudang kegiatannya akan membantu kerja
Pemerintah dalam mengedukasi remaja untuk menjauhi pelanggaran aturan agama,
norma masyarakat, maupun hukum negara. Dengan begitu remaja bisa membingkai
masa depan kepemimpinannya dengan cerah dan tanpa kusut, seperti harapan
pemerintah dan kita semua. Rohis mesti tetap eksis! [341; Guslaeni
Hafid (Anggota LDS DPP HTI, Pimred Majalah
Remaja Islam D’Rise)]. [majalah-al-waie, nopember 2012/syabab.com]
Manusia semasa hidupnya selalu
akan mendapat pengaruh dari keluarga, sekolah, dan dari masyarakat luas. Ketiga
lingkungan ini sering disebut sebagai tripusat pendidikan, yang akan
mempengaruhi manusia secara bervariasi. Ihsan, F, (2001) menjelaskan bahwa
manusia memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pengalaman.
Pengalaman itu terjadi karena interaksi manusia dengan lingkungannya, baik
lingkungan fisik maupun lingkungan sosial manusia secara efisien dan efektif,
itulah yang disebut dengan pendidikan.
Sukmadinata, N.S (2003) menyatakan
lingkungan sosial merupakan lingkungan pergaulan antar sesama manusia,
pergaulan antara pendidik dan peserta didik serta orang-orang lainnya yang
terlibat dalam interaksi pendidikan. Interaksi pendidikan dipengaruhi oleh
karakteristik pribadi dan corak pergaulan antar orang-orang yang terlibat dalam
interaksi tersebut, baik pihak peserta didik (siswa/mahasiswa) maupun para
pendidik (guru/dosen) dan pihak lainnya. Lingkungan-lingkungan tersebut akan
memberikan pengaruh yang cukup besar dalam proses belajar dan hasil dari pendidikan.
Proses pendidikan selalu berlangsung
dalam suatu lingkungan, yaitu lingkungan pendidikan. Lingkungan fisik terdiri
atas lingkungan alam dan lingkungan buatan manusia, yang merupakan tempat
sekaligus memberikan dukungan dan juga hambatan bagi berlangsungnya proses
pendidikan. Proses pendidikan mendapatkan dukungan dari lingkungan fisik berupa
sarana, prasarana serta fasilitas yang digunakan. Tersedianya sarana, prasarana
dan juga fasilitas fisik dalam jenis jumlah dan kaulitas yang memadai akan
sangat mendukung berlangsungnya proses pendidikan yang efektif. Kekurangan
sarana, prasarana dan fasilitas fisik dapat menghambat pencapaian hasil yang
maksimal.
Proses belajar terjadi dalam interaksi
dengan lingkungan. Namun, tidak sembarang berada ditengah-tengah lingkungan,
dan menjamin adanya proses belajar. Orangnya harus aktif sendiri, melibatkan
diri dengan segala pemikiran, kemauan dan perasaannya. Winkel (2004)
Menjelaskan bahwa “belajar adalah sebagai suatu aktifitas mental/psikis yang
berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan,yang menghasilkan
perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai sikap.
Perubahan itu bersifat secara relatif menetap (konsisten) dan berbekas”.
Secara umum dapat dikatakan bahwa siswa
telah banyak mengalami proses belajar sebagai usaha untuk memperoleh hasil yang
maksimal, namun hasil yang mereka capai selalu berbeda. Apakah itu perbedaan
waktu dalam belajar, maupun perbedaan dalam hal perolehan nilai.
Adanya perbedaan-perbedaan tersebut,
pada dasarnya disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi siswa dalam
kegiatan belajarnya. Dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi siswa dalam
proses belajarnya, salah satu diantaranya adalah “lingkungan”.
Rohani dan Ahmadi (1995) menjelaskan
bahwa: Lingkungan adalah sesuatu yang ada diluar dari individu. Adapun
lingkungan pengajaran merupakan apa yang bisa mendukung pengajaran itu sendiri
yang dapat difungsikan sebagai “sumber pengajaran” atau “sumber belajar”.
….Pengajaran yang tidak menghiraukan prinsip lingkungan yang akan mengakibatkan
peserta didik tidak mampu beradaptasi dengan linkungan dimana dia hidup,
pengetahuan yang mungkin mereka kuasai belum menjamin pada bagaimana ia
menerapkan pengetahuannya itu bagi lingkungan yang ia hadapi.
Sekolah SMA Dhamma Sekha Dhamma Mitta
Alamat :Lk VI.Gg.kebun sayur 13 Deli Tua Barat,Kec.Deli Tua Kab.Deli Serdang
Sumatera Utara, secara umum merupakan sarana tempat pendidikan yang baik dengan
sarana prasarana yang lengkap dan keadaan gedung yang kokoh serta laboratorium
yang tersedia seperti : laboratorium biologi, fisika, kimia, bahasa, dan
komputer. Kondisi lingkungan sekolah yang mendukung dalam proses belajar
mengajar yang jauh dari jalan raya sehingga terhindar dari kebisingan kendaraan
bermotor.
Beberapa tanggapan dari para siswa
menjelaskan bahwa sekolah tersebut merupakan tempat sarana pendidikan yang
baik, walaupun dengan biaya yang tidak begitu mahal yang dibebankan kepada
siswa. Hubungan guru antar siswa yang terjalin dengan baik dan guru- guru yang
berpengalaman turut mendukung siswa belajar dengan baik serta aturan – aturan
yang diterapkan sekolah yang ketat membuat siswa harus disiplin dengan baik.
Berdasarkan kutipan di atas dapatlah
dijelaskan, bahwa lingkungan disekitar manusia selalu mempunyai keterkaitan
segala macam bentuk perbuatan yang dilakukan oleh manusia dalam mengembangkan
tingkah lakunya, dalam hal ini perbuatan belajar termasuk di dalamnya.
Dari uraian di atas ditetapkan judul
penelitian, yaitu: Kenakalan Remaja Pada Keluarga Yang Kurang Harmonis Siswa
SMA Dhamma Sekha Dhamma Mitta
Dewasa ini banyak kita jumpai banyak
orang yang mengalami depresi,bahkan remaja juga bisa mengalami depresi.depresi
pada remaja bisa terjadi mungkin ada kenakalan Remaja Pada Keluarga Yang Kurang
Harmonis karena Di dalam
keluarga, orang tua lah yang berperan dalam mengasuh, membimbing, dan membantu
mengarahkan remaja . Meskipun ada faktor lain yang bisa
menyebabkan depresi pada remaja ataupun remaja misalnya lingkungan, tetapi keluarga tetap merupakan pilar
utama dalam membentuk kepribadian
remaja.Keluarga merupakan lingkungan kehidupan yang dikenal remaja untuk
pertama kalinya,
dan untuk seterusnya remaja banyak belajar di dalam kehidupan keluarga. Karena
itu peranan orang tua dianggap paling besar pengaruhnya terhadap terbentuknya
kepribadian pada diri remaja. Sikap orang tua terutama tercermin pada pola
asuhannya, di mana mempunyai sumbangan yang cukup besar dalam perkembangan
kepribadian remaja.
Peran keluarga menjadi penting untuk
mendidik remaja baik dalam sudut tinjauan agama, tinjauan sosial kemasyarakatan
maupun tinjauan individu. Jika pendidikan keluarga dapat berlangsung dengan
baik maka mampu menumbuhkan perkembangan kepribadian remaja menjadi manusia
dewasa yang memiliki sikap positif. kepribadian yang baik, potensi jasmani dan
rohani serta intelektual yang berkembang secara optimal.
Tujuan dalam
membina kehidupan keluarga adalah agar dapat melahirkan generasi baru sebagai
penerus perjuangan hidup orang tua. Untuk itulah orang tua mempunyai tanggung
jawab dan kewajiban dalam pendidikan anak-anaknya.
oleh karena itu,diperlukan cara yang
tepat untuk masa depan remaja, sehingga terbentuklah suatu kepribadian remaja
yang diharapkan orang tua sebagai harapan masa depan dan bebas dari gangguan
depresi.
2.Identifikasi Masalah
Banyak masalah yang dapat di
identifikasi yang dapat mempengaruhi kenakalan Remaja siswa, salah satunya
adalah faktor lingkungan yang meliputi:
1. Faktor
Keluarga meliputi : faktor dukungan dari orang tua, suasana dalam rumah tangga,
dan keadaan sosial ekonomi keluarga.
2.
Lingkungan Sekolah meliputi : lokasi dan keadaan gedung, kelengkapan sumber dan
sarana belajar, faktor guru yang meliputi metode mengajar, dan relasi guru
dengan siswa.
3.
Linkungan masyarakat meliputi : mass media, pergaulan di masyarakat serta
kegiatan – kegiatan dalam bermasyarakat.
3.Batasan Masalah
Mengingat demikian luasnya permasalahan
sedangkan kemampuan terbatas, maka dalam penelitian ini dibuat batasan
masalah yakni tentang faktor lingkungan pendidikan (keluarga, sekolah, dan
masyarakat) yang berkaitan dengan perolehan hasil belajar bersifat kognitif
Kenakalan Remaja Pada Keluarga Yang Kurang Harmonis melalui perolehan nilai hasil
belajar SMA Dhamma Sekha Dhamma Mitta
4.Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas,
maka rumusan masalah dalam penilitian ini adalah untuk mengetahui :
Apakah ada Kenakalan Remaja Pada
Keluarga Yang Kurang Harmonis siswa SMA
Dhamma Sekha Dhamma Mitta.
5.Tujuan Penelitian
Mendapatkan data yang empiris tentang
Kenakalan Remaja Pada Keluarga Yang Kurang Harmonis SMA Dhamma Sekha Dhamma
Mitta
6.Manfaat Peneltian
Hasil penilitian ini diharapkan dapat
memberi manfaat, antara lain:
1. Sebagai
langkah awal bagi peneliti, dalam meneliti dan memahami kaitan Kenakalan Remaja
Pada Keluarga Yang Kurang Harmonis siswa SMA Dhamma Sekha Dhamma Mitta.
2. Sebagai
bahan masukan, pertimbangan dan juga sebagai bahan pelajaran bagi mahasiswa
sebagai calon guru dalam memahami kaitan lingkungan tersebut terhadap hasil
belajar siswa sehingga mutu pendidikan dapat ditingkatkan.
3. Sebagai
bahan masukan bagi sekolah tentang keberadaannya sebagai lembaga dan lingkungan
pendidikan yang selalu berhubungan dengan keberhasilan siswa dalam kegiatan
pembelajaran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.Kerangka Teoritis
A. Definisi Kenakalan Remaja
bahasa
latin “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas
artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal, pelanggar aturan,Kenakalan
remaja biasa disebut dengan istilah Juvenile berasal dari bahasa Latin
juvenilis, yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda,
sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquent berasal dari pembuat
ribut, pengacau peneror, durjana dan lain sebagainya. Juvenile delinquency atau
kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda, merupakan
gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan
oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan bentuk
perilaku yang menyimpang. Istilah kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang
yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat
diterima
sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal.(Kartono, 2003).
Mussen
dkk (1994), mendefinisikan kenakalan remaja sebagai perilaku yang melanggar
hukum atau kejahatan yang biasanya dilakukan oleh anak remaja yang berusia
16-18 tahun, jika perbuatan ini dilakukan oleh orang dewasa maka akan mendapat
sangsi hukum. Hurlock (1973) juga menyatakan kenakalan remaja adalah tindakan
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh remaja, dimana tindakan tersebut dapat
membuat seseorang individu yang melakukannya masuk penjara.
Sama
halnya dengan Conger (1976) & Dusek (1977) mendefinisikan kenakalan remaja
sebagai suatu kenakalan yang dilakukan oleh seseorang individu yang berumur di
bawah 16 dan 18 tahun yang melakukan perilaku yang dapat dikenai sangsi atau
hukuman.
Sarwono
(2002) mengungkapkan kenakalan remaja sebagai tingkah laku yang menyimpang dari
norma-norma hukum pidana, sedangkan Fuhrmann (1990) menyebutkan bahwa kenakalan
remaja suatu tindakan anak muda yang dapat merusak dan menggangu, baik terhadap
diri sendiri maupun orang lain. Santrock (1999) juga menambahkan kenakalan
remaja sebagai kumpulan dari berbagai perilaku, dari perilaku yang tidak dapat
diterima secara sosial sampai tindakan kriminal.
Dari
pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kecenderungan kenakalan
remaja adalah kecenderungan remaja untuk melakukan tindakan yang melanggar
aturan yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya
sendiri maupun orang lain yang dilakukan remaja di bawah umur 17 tahun.
B.
Bentuk dan Aspek-Aspek Kenakalan Remaja
Menurut
Kartono (2003), bentuk-bentuk perilaku kenakalan remaja dibagi menjadi empat,
yaitu :
a.
Kenakalan terisolir (Delinkuensi terisolir)
Kelompok
ini merupakan jumlah terbesar dari remaja nakal. Pada umumnya mereka tidak
menderita kerusakan psikologis. Perbuatan nakal mereka didorong oleh
faktor-faktor berikut :
1)
Keinginan meniru dan ingin konform dengan gangnya, jadi tidak ada motivasi,
kecemasan atau konflik batin yang tidak dapat diselesaikan.
2)
Mereka kebanyakan berasal dari daerah kota yang transisional sifatnya yang
memiliki subkultur kriminal. Sejak kecil remaja melihat adanya gang-gang
kriminal, sampai kemudian dia ikut bergabung. Remaja merasa diterima,
mendapatkan kedudukan hebat, pengakuan dan prestise tertentu.
3)
Pada umumnya remaja berasal dari keluarga berantakan, tidak harmonis, dan
mengalami banyak frustasi. Sebagai jalan keluarnya, remaja memuaskan semua
kebutuhan dasarnya di tengah lingkungan kriminal. Gang remaja nakal memberikan
alternatif hidup yang menyenangkan.
4)
Remaja dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit sekali mendapatkan supervisi
dan latihan kedisiplinan yang teratur, sebagai akibatnya dia tidak sanggup
menginternalisasikan norma hidup normal. Ringkasnya, delinkuen terisolasi itu
mereaksi terhadap tekanan dari lingkungan sosial, mereka mencari panutan dan
rasa aman dari kelompok gangnya, namun pada usia dewasa, mayoritas remaja nakal
ini meninggalkan perilaku kriminalnya, paling sedikit 60 % dari mereka
menghentikan perilakunya pada usia 21-23 tahun. Hal ini disebabkan oleh proses
pendewasaan dirinya sehingga remaja menyadari adanya tanggung jawab sebagai
orang dewasa yang mulai memasuki peran sosial yang baru.
b.
Kenakalan neurotik (Delinkuensi neurotik)
Pada
umumnya, remaja nakal tipe ini menderita gangguan kejiwaan yang cukup serius,
antara lain berupa kecemasan, merasa selalu tidak aman, merasa bersalah dan
berdosa dan lain sebagainya. Ciri - ciri perilakunya adalah :
1)
Perilaku nakalnya bersumber dari sebab-sebab psikologis yang sangat dalam, dan
bukan hanya berupa adaptasi pasif menerima norma dan nilai subkultur gang yang
kriminal itu saja.
2)
Perilaku kriminal mereka merupakan ekspresi dari konflik batin yang belum
terselesaikan, karena perilaku jahat mereka merupakan alat pelepas ketakutan,
kecemasan dan kebingungan batinnya.
3)
Biasanya remaja ini melakukan kejahatan seorang diri, dan mempraktekkan jenis
kejahatan tertentu, misalnya suka memperkosa kemudian membunuh korbannya,
kriminal dan sekaligus neurotik.
4)
Remaja nakal ini banyak yang berasal dari kalangan menengah, namun pada umumnya
keluarga mereka mengalami banyak ketegangan emosional yang parah, dan
orangtuanya biasanya juga neurotik atau psikotik.
5)
Remaja memiliki ego yang lemah, dan cenderung mengisolir diri dari lingkungan.
6)
Motif kejahatannya berbeda-beda.
7)
Perilakunya menunjukkan kualitas kompulsif (paksaan).
c.
Kenakalan psikotik (Delinkuensi psikopatik) Delinkuensi psikopatik ini sedikit
jumlahnya, akan tetapi dilihat dari kepentingan umum dan segi keamanan, mereka
merupakan oknum criminal yang paling berbahaya. Ciri tingkah laku mereka adalah
:
1)
Hampir seluruh remaja delinkuen psikopatik ini berasal dan dibesarkan dalam
lingkungan keluarga yang ekstrim, brutal, diliputi banyak pertikaian keluarga,
berdisiplin keras namun tidak konsisten, dan orangtuanya selalu menyia-nyiakan
mereka, sehingga mereka tidak mempunyai kapasitas untuk menumbuhkan afeksi dan
tidak mampu menjalin hubungan emosional yang akrab dan baik dengan orang lain.
2)
Mereka tidak mampu menyadari arti bersalah, berdosa, atau melakukan pelanggaran.
3)
Bentuk kejahatannya majemuk, tergantung pada suasana hatinya yang kacau dan
tidak dapat diduga. Mereka pada umumnya sangat agresif dan impulsif, biasanya
mereka residivis yang berulang kali keluar masuk penjara, dan sulit sekali
diperbaiki.
4)
Mereka selalu gagal dalam menyadari dan menginternalisasikan norma-norma sosial
yang umum berlaku, juga tidak peduli terhadap norma subkultur gangnya sendiri.
5)
Kebanyakan dari mereka juga menderita gangguan neurologis, sehingga mengurangi
kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri. Psikopat merupakan bentuk kekalutan
mental dengan karakteristik sebagai berikut: tidak memiliki pengorganisasian
dan integrasi diri, orangnya tidak pernah bertanggung jawab secara moral,
selalu mempunyai konflik dengan
norma
sosial dan hukum. Mereka sangat egoistis, anti sosial dan selalu menentang apa
dan siapapun. Sikapnya kasar, kurang ajar dan sadis terhadap siapapun tanpa
sebab.
d.
Kenakalan defek moral (Delinkuensi defek moral)
Defek
(defect, defectus) artinya rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat, kurang.
Delinkuensi defek moral mempunyai ciri-ciri: selalu melakukan tindakan anti
sosial, walaupun pada dirinya tidak terdapat penyimpangan, namun ada disfungsi
pada inteligensinya. Kelemahan para remaja delinkuen tipe ini adalah mereka
tidak mampu mengenal dan memahami tingkah lakunya
yang
jahat, juga tidak mampu mengendalikan dan mengaturnya, mereka selalu ingin
melakukan perbuatan kekerasan, penyerangan dan kejahatan, rasa kemanusiaannya
sangat terganggu, sikapnya sangat dingin tanpa afeksi jadi ada kemiskinan
afektif dan sterilitas emosional. Terdapat kelemahan pada dorongan instinktif
yang primer, sehingga pembentukan super egonya sangat lemah. Impulsnya tetap
pada taraf primitif sehingga sukar dikontrol dan dikendalikan. Mereka merasa
cepat puas dengan prestasinya, namun perbuatan mereka sering disertai
agresivitas yang meledak. Remaja yang defek moralnya biasanya menjadi penjahat
yang sukar diperbaiki. Mereka adalah para residivis yang melakukan kejahatan karena
didorong oleh naluri rendah, impuls dan kebiasaan primitif, di antara para
penjahat residivis remaja, kurang lebih 80%
mengalami
kerusakan psikis, berupa disposisi dan perkembangan mental yang salah, jadi
mereka menderita defek mental. Hanya kurang dari 20 % yang menjadi penjahat
disebabkan oleh faktor sosial atau lingkungan sekitar. Jensen (dalam Sarwono,
2002) membagi kenakalan remaja menjadi empat bentuk yaitu:
a.
Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan,
perampokan, pembunuhan, dan lain- lain.
b.
Kenakalan yang meninbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan,
pemerasan dan lain- lain.
c.
Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran,
penyalahgunaan obat, hubungan seks bebas.
d.
Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai
pelajar
dengan cara membolos, minggat dari rumah, membantah perintah. Hurlock (1973)
berpendapat bahwa kenakalan yang dilakukan remaja terbagi dalam empat bentuk,
yaitu:
a.
Perilaku yang menyakiti diri sendiri dan orang lain.
b.
Perilaku yang membahayakan hak milik orang lain, seperti merampas, mencuri, dan
mencopet.
c.
Perilaku yang tidak terkendali, yaitu perilaku yang tidak mematuhi orangtua dan
guru seperti membolos, mengendarai kendaran dengan tanpa surat izin, dan kabur
dari rumah.
d.
Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, seperti mengendarai motor
dengan kecepatan tinggi, memperkosa dan menggunakan senjata tajam.
Dari
beberapa bentuk kenakalan pada remaja dapat disimpulkan bahwa semuanya
menimbulkan dampak negatif yang tidak baik bagi dirinya sendiri dan orang lain,
serta lingkungan sekitarnya. Adapun aspek-aspeknya diambil dari
pendapat
Hurlock (1973) & Jensen (dalam Sarwono, 2002). Terdiri dari aspek perilaku
yang melanggar aturan dan status, perilaku yang membahayakan diri sendiri dan
orang lain, perilaku yang mengakibatkan korban materi, dan perilaku yang
mengakibatkan korban fisik.
C.
Karakteristik Remaja Nakal
Menurut
Kartono (2003), remaja nakal itu mempunyai karakteristik umum yang sangat
berbeda dengan remaja tidak nakal. Perbedaan itu mencakup :
a.
Perbedaan struktur intelektual
Pada
umumnya inteligensi mereka tidak berbeda dengan inteligensi remaja yang normal,
namun jelas terdapat fungsi- fungsi kognitif khusus yang berbeda biasanya
remaja nakal ini mendapatkan nilai lebih tinggi untuk tugas-tugas prestasi
daripada nilai untuk ketrampilan verbal (tes Wechsler). Mereka kurang toleran
terhadap hal-hal yang ambigius biasanya mereka kurang
mampu
memperhitungkan tingkah laku orang lain bahkan tidak menghargai pribadi lain
dan menganggap orang lain sebagai cerminan dari diri sendiri.
b.
Perbedaan fisik dan psikis
Remaja
yang nakal ini lebih “idiot secara moral” dan memiliki perbedaan cirri karakteristik
yang jasmaniah sejak lahir jika dibandingkan dengan remaja normal. Bentuk tubuh
mereka lebih kekar, berotot, kuat, dan pada umumnya bersikap lebih agresif.
Hasil penelitian juga menunjukkan ditemukannya fungsi fisiologis dan neurologis
yang khas pada remaja nakal ini, yaitu: mereka kurang bereaksi terhadap
stimulus kesakitan dan menunjukkan ketidakmatangan jasmaniah atau anomali
perkembangan tertentu.
c.
Ciri karakteristik individual
Remaja
yang nakal ini mempunyai sifat kepribadian khusus yang menyimpang, seperti :
1)
Rata-rata remaja nakal ini hanya berorientasi pada masa sekarang, bersenang-senang
dan puas pada hari ini tanpa memikirkan masa depan.
2)
Kebanyakan dari mereka terganggu secara emosional.
3)
Mereka kurang bersosialisasi dengan masyarakat normal, sehingga tidak mampu
mengenal norma-norma kesusilaan, dan tidak bertanggung jawab secara sosial.
4)
Mereka senang menceburkan diri dalam kegiatan tanpa berpikir yang
merangsang
rasa kejantanan, walaupun mereka menyadari besarnya risiko
dan
bahaya yang terkandung di dalamnya.
5)
Pada umumnya mereka sangat impulsif dan suka tantangan dan bahaya.
6)
Hati nurani tidak atau kurang lancar fungsinya.
7)
Kurang memiliki disiplin diri dan kontrol diri sehingga mereka menjadi liar dan
jahat. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja nakal biasanya berbeda
dengan remaja yang tidak nakal. Remaja nakal biasanya lebih ambivalen terhadap
otoritas, percaya diri, pemberontak, mempunyai control diri yang kurang, tidak
mempunyai orientasi pada masa depan dan kurangnya kemasakan sosial, sehingga
sulit bagi mereka untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan
sosial.
D.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecenderungan Kenakalan Remaja
Faktor-faktor
kenakalan remaja menurut Santrock, (1996) lebih rinci dijelaskan sebagai
berikut :
a.
Identitas
Menurut
teori perkembangan yang dikemukakan oleh Erikson (dalam Santrock, 1996) masa
remaja ada pada tahap di mana krisis identitas versus difusi identitas harus di
atasi. Perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya dua bentuk
integrasi terjadi pada kepribadian remaja: (1) terbentuknya perasaan akan
konsistensi dalam kehidupannya dan (2) tercapainya identitas peran, kurang
lebih dengan cara menggabungkan motivasi, nilai-nilai, kemampuan dan gaya yang
dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja. Erikson percaya bahwa
delinkuensi pada remaja terutama ditandai dengan kegagalan remaja untuk
mencapai integrasi yang kedua, yang melibatkan aspek-aspek peran identitas. Ia
mengatakan bahwa remaja yang memiliki masa balita, masa kanak-kanak atau masa
remaja yang membatasi mereka dari berbagai peranan sosial yang dapat diterima
atau yang membuat mereka merasa tidak mampu memenuhi tuntutan yang dibebankan
pada mereka, mungkin akan memiliki perkembangan identitas yang negatif.
Beberapa dari remaja ini mungkin akan mengambil bagian dalam tindak kenakalan,
oleh
karena
itu bagi Erikson, kenakalan adalah suatu upaya untuk membentuk suatu identitas,
walaupun identitas tersebut negative
b.
Kontrol diri
Kenakalan
remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk mengembangkan kontrol
diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Beberapa anak gagal dalam mengembangkan
kontrol diri yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama proses
pertumbuhan. Kebanyakan remaja telah mempelajari perbedaan antara tingkah laku
yang dapat diterima dan tingkah
laku
yang tidak dapat diterima, namun remaja yang melakukan kenakalan tidak
mengenali hal ini. Mereka mungkin gagal membedakan tingkah laku yang dapat
diterima dan yang tidak dapat diterima, atau mungkin mereka sebenarnya sudah
mengetahui perbedaan antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol yang
memadai dalam menggunakan perbedaan itu
untuk
membimbing tingkah laku mereka. Hasil penelitian yang dilakukan baru-baru ini
Santrock (1996) menunjukkan bahwa ternyata kontrol diri mempunyai peranan
penting dalam kenakalan remaja. Pola asuh orangtua yang efektif di masa
kanak-kanak (penerapan strategi yang konsisten, berpusat pada anak dan tidak
aversif) berhubungan dengan dicapainya pengaturan diri oleh anak. Selanjutnya,
dengan memiliki ketrampilan ini sebagai atribut internal akan berpengaruh pada
menurunnya tingkat kenakalan remaja.
c.
Usia
Munculnya
tingkah laku anti sosial di usia dini berhubungan dengan penyerangan serius
nantinya di masa remaja, namun demikian tidak semua anak yang bertingkah laku
seperti ini nantinya akan menjadi pelaku kenakalan, seperti hasil penelitian
dari McCord (dalam Kartono, 2003) yang menunjukkan bahwa pada usia dewasa,
mayoritas remaja nakal tipe terisolir meninggalkan tingkah laku kriminalnya.
Paling sedikit 60 % dari mereka menghentikan perbuatannya pada usia 21 sampai
23 tahun.
d.
Jenis kelamin
Remaja
laki- laki lebih banyak melakukan tingkah laku anti sosial daripada perempuan.
Menurut catatan kepolisian Kartono (2003) pada umumnya jumlah remaja laki- laki
yang melakukan kejahatan dalam kelompok gang diperkirakan 50 kali lipat
daripada gang remaja perempuan.
e.
Harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah
Remaja
yang menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan yang rendah terhadap
pendidikan di sekolah. Mereka merasa bahwa sekolah tidak begitu bermanfaat
untuk kehidupannya sehingga biasanya nilai-nilai mereka terhadap sekolah
cenderung rendah. Mereka tidak mempunyai motivasi untuk sekolah. Riset yang
dilakukan oleh Janet Chang dan Thao N. Lee (2005) mengenai pengaruh orangtua,
kenakalan teman sebaya, dan sikap sekolah terhadap prestasi akademik siswa di
Cina, Kamboja, Laos, dan remaja Vietnam menunjukkan bahwa faktor yang berkenaan
dengan orangtua secara umum tidak mendukung banyak, sedangkan sikap sekolah
ternyata dapat menjembatani hubungan antara kenakalan teman sebaya dan prestasi
akademik.
f.
Proses keluarga
Faktor
keluarga sangat berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan remaja. Kurangnya
dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua terhadap aktivitas anak,
kurangnya penerapan disiplin yang efektif, kurangnya kasih sayang orangtua
dapat menjadi pemicu timbulnya kenakalan remaja. Penelitian yang dilakukan oleh
Gerald Patterson dan rekan-rekannya (dalam
Santrock,
1996) menunjukkan bahwa pengawasan orangtua yang tidak memadai terhadap
keberadaan remaja dan penerapan disiplin yang tidak efektif dan tidak sesua i
merupakan faktor keluarga yang penting dalam menentukan munculnya kenakalan
remaja. Perselisihan dalam keluarga atau stress yang dialami keluarga juga
berhubungan dengan kenakalan. Faktor genetik juga termasuk pemicu timbulnya
kenakalan remaja, meskipun persentasenya tidak begitu besar.
g.
Pengaruh teman sebaya
Memiliki
teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan risiko remaja untuk
menjadi nakal. Pada sebuah penelitian Santrock (1996) terhadap 500 pelaku
kenakalan dan 500 remaja yang tidak melakukan kenakalan di Boston, ditemukan
persentase kenakalan yang lebih tinggi pada remaja yang memiliki hubungan
reguler dengan teman sebaya yang melakukan kenakalan.
h.
Kelas sosial ekonomi
Ada
kecenderungan bahwa pelaku kenakalan lebih banyak berasal dari kelas sosial
ekonomi yang lebih rendah dengan perbandingan jumlah remaja nakal di antara
daerah perkampungan miskin yang rawan dengan daerah yang memiliki banyak
privilege diperkirakan 50 : 1 (Kartono, 2003). Hal ini disebabkan kurangnya
kesempatan remaja dari kelas sosial rendah untuk mengembangkan ketrampilan yang
diterima oleh masyarakat. Mereka mungkin saja merasa bahwa mereka akan
mendapatkan perhatian dan status dengan cara melakukan tindakan anti sosial.
Menjadi “tangguh” dan “maskulin” adalah contoh status yang tinggi bagi remaja
dari kelas sosial yang lebih rendah, dan status seperti ini sering ditentukan
oleh keberhasilan remaja
dalam
melakukan kenakalan dan berhasil meloloskan diri setelah melakukan kenakalan.
i.
Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal
Komunitas
juga dapat berperan serta dalam memunculkan kenakalan remaja. Masyarakat dengan
tingkat kriminalitas tinggi memungkinkan remaja mengamati berbagai model yang
melakukan aktivitas kriminal dan memperoleh hasil atau penghargaan atas
aktivitas kriminal mereka.
Masyarakat
seperti ini sering ditandai dengan kemiskinan, pengangguran, dan perasaan
tersisih dari kaum kelas menengah. Kualitas sekolah, pendanaan pendidikan, dan
aktivitas lingkungan yang terorganisir adalah faktor- factor lain dalam
masyarakat yang juga berhubungan dengan kenakalan remaja.
Berdasarkan
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang paling berperan
menyebabkan timbulnya kecenderungan kenakalan remaja adalah factor keluarga
yang kurang harmonis dan faktor lingkungan terutama teman sebaya yang kurang
baik, karena pada masa ini remaja mulai bergerak meninggalkan rumah dan menuju
teman sebaya, sehingga minat, nilai, dan norma yang ditanamkan oleh kelompok
lebih menentukan perilaku remaja dibandingkan
dengan
norma, nilai yang ada dalam keluarga dan masyarakat
A.
Keharmonisan Keluarga.
Keluarga
merupakan satu organisasi sosial yang paling penting dalam kelompok sosial dan
keluarga merupakan lembaga di dalam masyarakat yang paling utama bertanggung
jawab untuk menjamin kesejahteraan sosial dan kelestarian biologis anak manusia
(Kartono, 1977). Sedangkan menurut Hawari (1997) keharmonisan keluarga itu akan
terwujud apabila masing-masing unsure dalam keluarga itu dapat berfungsi dan
berperan sebagimana mestinya dan tetap
berpegang
teguh pada nilai-nilai agama kita, maka interaksi sosial yang harmonis antar
unsur dalam keluarga itu akan dapat diciptakan. Dalam kehidupan berkeluarga
antara suami istri dituntut adanya hubungan yang baik dalam arti diperlukan
suasana yang harmonis yaitu dengan menciptakan saling pengertian, saling terbuka,
saling menjaga, saling menghargai dan saling memenuhi kebutuhan (Anonim, 1985)
Basri
(1999) menyatakan bahwa setiap orangtua bertanggung jawab juga memikirkan dan
mengusahakan agar senantiasa terciptakan dan terpelihara suatu hubungan antara
orangtua dengan anak yang baik, efektif dan menambah kebaikan dan keharmonisan
hidup dalam keluarga, sebab telah menjadi bahan kesadaran para orangtua bahwa
hanya dengan hubungan yang baik kegiatan pendidikan dapat dilaksanakan dengan
efektif dan dapat menunjang terciptanya kehidupan keluarga yang harmonis.
Selanjutnya Hurlock (1973) menyatakan bahwa anak yang hubungan perkawinan
orangtuanya bahagia akan mempersepsikan rumah mereka sebagai tempat yang
membahagiakan untuk hidup karena makin sedikit masalah antar orangtua, semakin
sedikit masalah yang dihadapi anak, dan sebaliknya hubungan keluarga yang buruk
akan berpengaruh kepada seluruh anggota keluarga. Suasana keluarga ynag
tercipta adalah tidak
menyenangkan,
sehingga anak ingin keluar dari rumah sesering mungkin karena secara emosional
suasana tersebut akan mempengaruhi masing-masing anggota keluarga untuk
bertengkar dengan lainnya. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan
persepsi keharmonisan keluarga adalah persepsi terhadap situasi dan kondisi
dalam keluarga dimana di
dalamnya
tercipta kehidupan beragama yang kuat, suasana yang hangat, saling menghargai,
saling pengertian, saling terbuka, saling menjaga dan diwarnai kasih sayang dan
rasa saling percaya sehingga memungkinkan anak untuk tumbuh dan berkembang
secara seimbang.
C.
Aspek-Aspek Keharmonisan Keluarga
Hawari
(dalam Murni, 2004)) mengemukakan enam aspek sebagai suatu pegangan hubungan
perkawinan bahagia adalah:
a.
Menciptakan kehidupan beragama dalam keluarga.
Sebuah
keluarga yang harmonis ditandai dengan terciptanya kehidupan beragama dalam
rumah tersebut. Hal ini penting karena dalam agama terdapat nilai-nilai moral
dan etika kehidupan. Berdasarkan beberapa penelitian ditemukan bahwa keluarga
yang tidak religius yang penanaman komitmennya rendah atau tanpa nilai agama
sama sekali cenderung terjadi pertentangan
konflik
dan percekcokan dalam keluarga, dengan suasana yang seperti ini, maka anak akan
merasa tidak betah di rumah dan kemungkinan besar anak akan mencari lingkungan
lain yang dapat menerimanya.
b.
Mempunyai waktu bersama keluarga
Keluarga
yang harmonis selalu menyediakan waktu untuk bersama keluarganya, baik itu
hanya sekedar berkumpul, makan bersama, menemani anak bermain dan mendengarkan
masalah dan keluhan-keluhan anak, dalam kebersamaan ini anak akan merasa
dirinya dibutuhkan dan diperhatikan oleh orangtuanya, sehingga anak akan betah
tinggal di rumah.
c.
Mempunyai komunikasi yang baik antar anggota keluarga
Komunikasi
merupakan dasar bagi terciptanya keharmonisan dalam keluarga. Meichati (dalam
Murni, 2004) mengatakan bahwa remaja akan merasa aman apabila orangtuanya
tampak rukun, karena kerukunan tersebut akan memberikan rasa aman dan
ketenangan bagi anak, komunikasi yang baik dalam keluarga juga akan dapat
membantu remaja untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya di luar rumah,
dalam hal ini selain berperan sebagai orangtua, ibu dan ayah juga harus
berperan sebagai teman, agar anak lebih leluasa dan terbuka dalam menyampaikan
semua permasalahannya.
d.
Saling menghargai antar sesama anggota keluarga
Furhmann
(dalam Murni, 2004) mengatakan bahwa keluarga yang harmonis adalah keluarga
yang memberikan tempat bagi setiap anggota keluarga menghargai perubahan yang
terjadi dan mengajarkan ketrampilan berinteraksi sedini mungkin pada anak
dengan lingkungan yang lebih luas.
e.
Kualitas dan kuantitas konflik yang minim.
Faktor
lain yang tidak kalah pentingnya dalam menciptakan keharmonisan keluarga adalah
kualitas dan kuantitas konflik yang minim, jika dalam keluarga sering terjadi
perselisihan dan pertengkaran maka suasana dalam keluarga tidak lagi
menyenangkan. Dalam keluarga harmonis setiap anggota keluarga berusaha
menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dan mencari
penyelesaian
terbaik dari setiap permasalahan.
f.
Adanya hubungan atau ikatan yang erat antar anggota keluarga.
Hubungan
yang erat antar anggota keluarga juga menentukan harmonisnya sebuah keluarga,
apabila dalam suatu keluarga tidak memiliki hubungan yang erat maka antar
anggota keluarga tidak ada lagi rasa saling memiliki dan rasa kebersamaan akan
kurang. Hubungan yang erat antar anggota keluarga ini dapat diwujudkan dengan
adanya kebersamaan, komunikasi yang baik antar
anggota
keluarga dan saling menghargai. Keenam aspek tersebut mempunyai hubungan yang
erat satu dengan yang lainnya. Proses tumbuh kembang anak sangat ditentukan
dari berfungsi
tidaknya
keenam aspek di atas, untuk menciptakan keluarga harmonis peran dan fungsi
orangtua sangat menentukan, keluarga yang tidak bahagia atau tidak harmonis
akan mengakibatkan persentase anak menjadi nakal semakin tinggi (Hawari, 1997).
D.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keharmonisan Keluarga
a.
Komunikasi interpersonal
Komunikasi
interpersonal merupakan faktor yang sangat mempengaruhi keharmonisan keluarga,
karena menurut Hurlock (1978) komunikasi akan menjadikan seseorang mampu
mengemukakan pendapat dan pandangannya, sehingga mudah untuk memahami orang
lain dan sebaliknya tanpa adanya komunikasi kemungkinan besar dapat menyebabkan
terjadinya kesalahpahaman yang memicu terjadinya konflik.
b.
Tingkat ekonomi keluarga.
Menurut
beberapa penelitian, tingkat ekonomi keluarga juga merupakan salah satu faktor
yang menentukan keharmonisan keluarga. Jorgensen (dalam Murni, 2004) menemukan
dalam penelitiannya bahwa semakin tinggi sumber ekonomi keluarga akan mendukung
tingginya stabilitas dan kebahagian keluarga, tetapi tidak berarti rendahnya
tingkat ekonomi keluarga merupakan indikasi tidak bahagianya keluarga. Tingkat
ekonomi hanya berpengaruh trerhadap kebahagian keluarga apabila berada pada taraf
yang sangat rendah sehingga kebutuhan dasar saja tidak terpenuhi dan inilah
nantinya yang akan menimbulkan konflik dalam keluarga.
c.
Sikap orangtua
Sikap
orangtua juga berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga terutama hubungan
orangtua dengan anak-anaknya. Orangtua dengan sikap yang otoriter akan membuat
suasana dalam keluarga menjadi tegang dan anak merasa tertekan, anak tidak
diberi kebebasan untuk
mengeluarkan
pendapatnya, semua keputusan ada ditangan orangtuanya sehingga membuat remaja
itu merasa tidak mempunyai peran dan merasa kurang dihargai dan kurang kasih
sayang serta memandang orangtuanya tidak bijaksana. Orangtua yang permisif
cenderung mendidik anak terlalu bebas dan tidak terkontrol karena apa yang
dilakukan anak tidak pernah mendapat bimbingan dari orangtua. Kedua sikap
tersebut cenderung memberikan peluang yang besar untuk menjadikan anak
berperilaku menyimpang, sedangkan orangtua yang bersikap demokratis dapat
menjadi
pendorong perkembangan anak kearah yang lebih positif.
d.
Ukuran keluarga
Menurut
Kidwel (1981) dengan jumlah anak dalam satu keluarga cara orangtua mengontrol
perilaku anak, menetapkan aturan, mengasuh dan perlakuan efektif orangtua
terhadap anak. Keluarga yang lebih kecil mempunyai kemungkinan lebih besar untuk
memperlakukan anaknya
secara
demokratis dan lebih baik untuk kelekatan anak dengan orangtua (Hurlock, 1978).
2.
Konsep Diri
A.
Definisi konsep diri
Menurut
Brehm & Kassin (1989) konsep diri dianggap sebagai komponen kognitif dari
diri sosial secara keseluruhan, yang memberikan penjelasan tentang bagaimana
individu memahami perilaku, emosi, dan motivasinya sendiri. Secara lebih rinci
Brehm dan Kassin mengatakan bahwa konsep diri merupakan jumlah keseluruhan dari
keyakinan individu tentang dirinya sendiri.
Pendapat
senada diberikan oleh Gecas (dalam Albrecht, Chadwick & Jacobson, 1987)
bahwa konsep diri lebih tepat diartikan sebaga i persepsi individu terhadap
diri sendiri, yang meliputi fisik, spiritual, maupun moral. Sementara Calhoun
& Cocella (1990) mengatakan bahwa konsep diri adalah pandangan kita tentang
diri sendiri, yang meliputi dimensi: pengetahuan tentang diri sendiri, pengharapan
mengenai diri sendiri, dan penilaian tentang diri sendiri.
Menurut
Brooks (dalam Rakhmat, 2002) konsep diri disini dimengerti sebagai pandangan
atau persepsi individu terhadap dirinya, baik bersifat fisik, sosial, maupun
psikologis, dimana pandangan ini diperolehnya dari pengalamannya berinteraksi
dengan orang lain yang mempunyai arti penting dalam hidupnya. Konsep diri ini
bukan merupakan faktor bawaan, tetapi factor yang dipelajari dan dibentuk
melalui pengalaman individu berhubungan dengan orang lain, sebagaimana
dikatakan oleh Grinder (1976) bahwa persepsi orang mengenai dirinya dibentuk
selama hidupnya melalui hadiah dan hukuman dari orang-orang di sekitarnya.
Partosuwido,
dkk (1985) menambahkan bahwa konsep diri adalah cara bagaimana individu menilai
diri sendiri, bagaimana penerimaannya terhadap diri sendiri sebagaimana yang
dirasakan, diyakini dan dilakukan, baik ditinjau dari segi fisik, moral,
keluarga, personal dan sosial. Konsep diri mempunyai arti yang lebih mendalam
dari sekedar gambaran deskriptif. Konsep diri adalah aspek yang penting dari
fungsi- fungsi manusia karena sebenarnya manusia sangat memperhatikan hal-hal
yang berhubungan dengan dirinya, termasuk siapakah dirinya, seberapa baik
mereka merasa tentang dirinya, seberapa efektif fungsi- fungsi mereka atau
seberapa besar impresi yang mereka buat terhadap orang lain (Kartikasari,
2002). Batasan pengertian konsep diri dalam Kamus Psikologi adalah keseluruhan
yang dirasa dan diyakini benar oleh seorang individu mengenai dirinya sendiri
(Kartono & Gulo, 1987).
Berzonsky
(1981) menyatakan bahwa konsep diri yang merupakan gabungan dari aspek-aspek
fisik, psikis, sosial, dan moral tersebut adalah gambaran mengenai diri
seseorang, baik persepsi terhadap diri nyatanya maupun penilaian berdasarkan
harapannya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah
pandangan atau penilaian individu terhadap dirinya sendiri, baik yang bersifat
fisik, sosial, maupun psikologis, yang didapat dari hasil interaksinya dengan
orang lain.
B.
Pembentukan Konsep Diri
Konsep
diri mulai berkembang sejak masa bayi, dan terus akan berkembang sejalan dengan
perkembangan individu itu sendiri. Pada awalnya terbentuk pengertian
samar-samar, yang merupakan pengalaman berulang-ulang, yang berkaitan dengan
kenyamanan atau ketidaknyamanan fisik, sehingga pada akhirnya akan membentuk
konsep dasar sebagai bibit dari konsep diri (Asch dalam Calhoun & Cocella,
1990). Jika anak diperlakukan dengan kehangatan dan cinta, konsep dasar yang
muncul mungkin berupa perasaan positif terhadap diri sendiri, sebaliknya jika
anak mengalami penolakan, yang tertanam adalah bibit penolakan-diri di masa yang
akan datang (Coopersmith dalam Calhoun & Cocella, 1990). Memperkuat
pendapat di atas, dijelaskan oleh Taylor, Peplau, & Sears (1994), bahwa
pengetahuan tentang diri dapat berasal dari berbagai sumber, antara lain
praktek sosialisasi, umpan balik yang diterima dari orang lain, serta bagaimana
individu merefleksikan pandangan orang lain terhadap dirinya. Sementara itu,
Cooley (dalam Albrecht dkk, 1987) mengatakan bahwa konsep diri seseorang
berkembang melalui reaksi orang lain, dalam artian bahwa konsep diri individu
terbentuk melalui imajinasi individu tentang respon yang diberikan orang lain.
Dengan kata lain, bahwa persepsi tersebut merupakan konsekuensi bagi individu,
dan apapun itu, semuanya dianggap tepat. Jadi jika orang lain merespon individu
secara negatif, maka hal itu dapat membawa akibat yang cukup serius bagi konsep
diri individu. Pendapat di atas diperkuat oleh Albrecht, dkk (1987) yang
mengatakan bahwa umpan balik terhadap perilaku individu yang didapat dari
orang-orang yang cukup berarti (significant others) akan menjadi sangat
penting, baik itu berupa hadiah maupun hukuman. Dalam perkembangannya,
significant others dapat meliputi semua orang yang mempengaruhi perilaku,
pikiran, dan perasaankita (Rakhmat, 2002). Lebih lanjut dijelaskan, pada masa
kanak-kanak,
orangtualah
yang berperan sebagai significant others. Pada masa selanjutnya, masa sekolah
sampai remaja, peran teman sebaya menjadi lebih penting, dan ketika individu
berada pada masa dewasa serta telah mencapai kemandirian secara ekonomi, peran
orangtua secara berangsur-angsur menurun, dan digantikan oleh teman, rekan
kerja, dan pasangan hidup (Albrecht dkk, 1987). Andayani & Afiatin (1996)
menjelaskan bahwa konsep diri terbentuk melalui proses belajar individu dalam
interaksinya dengan lingkungan sekitarnya. Interaksi tersebut akan memberikan
pengalaman-pengalaman atau umpan balik yang diterima dari lingkungannya,
sehingga individu akan mendapatkan gambaran tentang dirinya. Begitu pentingnya
penilaian orang lain terhadap pembentukan konsep diri ini, sehingga Allport
(dalam Helmi & Ramdhani, 1992) mengemukakan bahwa seorang anak akan melihat
siapa dirinya melalui penilaian
orang
lain terhadap dirinya. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas disimpulkan bahwa
konsep diri terbentuk melalui proses belajar dan bukan merupakan faktor bawaan
dan berkembang melalui interaksi individu dengan lingkungan sekitarnya dalam bentuk
umpan balik yang diterima dari orang-orang yang berarti bagi individu.
C.
Aspek-aspek Konsep Diri
Berzonsky
(1981) mengemukakan bahwa aspek-aspek konsep diri meliputi:
a.
Aspek fisik (physical self) yaitu penilaian individu terhadap segala sesuatu yang
dimiliki individu seperti tubuh, pakaian, benda miliknya, dan sebagainya.
b.
Aspek sosial (sosial self) meliputi bagaimana peranan sosial yang dimainkan oleh
individu dan sejauh mana penilaian individu terhadap perfomannya.
c.
Aspek moral (moral self) meliputi nilai- nilai dan prinsip-prinsip yang member arti
dan arah bagi kehidupan individu.
d.
Aspek psikis (psychological self) meliputi pikiran, perasaan, dan sikap-sikap individu
terhadap dirinya sendiri.
Sementara
itu melengkapi pendapat di atas, Fitts (dalam Burns, 1979) mengajukan
aspek-aspek konsep diri, yaitu:
a.
Diri fisik (physical self). Aspek ini menggambarkan bagaimana individu memandang
kondisi kesehatannya, badannya, dan penampilan fisiknya.
b.
Diri moral-etik (moral-ethical self). Aspek ini menggambarkan bagaimana individu
memandang nilai-nilai moral-etik yang dimilikinya. Meliputi sifatsifat baik
atau sifat-sifat jelek yang dimiliki dan penilaian dalam hubungannya dengan
Tuhan.
c.
Diri sosial (sosial self). Aspek ini mencerminkan sejauhmana perasaan mampu dan
berharga dalam lingkup interaksi sosial dengan orang lain.
d.
Diri pribadi (personal self). Aspek ini menggambarkan perasaan mampu sebagai
seorang pribadi, dan evaluasi terhadap kepribadiannya atau hubungan pribadinya
engan orang lain.
e.
Diri keluarga (family self). Aspek ini mencerminkan perasaan berarti dan berharga
dalam kapasitasnya sebagai anggota keluarga.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan dalam menjelaskan aspek-aspek konsep diri,
tampak bahwa pendapat para ahli saling melengkapi meskipun ada sedikit
perbedaan, sehingga dapat dikatakan bahwa aspek-aspek konsep diri mencakup diri
fisik, diri psikis, diri sosial, diri moral, dan diri keluarga.
D.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri
a.
Usia
Grinder
(1978) berpendapat bahwa konsep diri pada masa anak-anak akan mengalami
peninjauan kembali ketika individu memasuki masa dewasa. Berdasarkan pendapat
tersebut dapat dipahami bahwa konsep diri dipengaruhi oleh meningkatnya faktor
usia. Pendapat tersebut diperkuat oleh hasil penelitiannya Thompson (dalam
Partosuwido, 1992) yang menunjukkan bahwa nilai konsep diri secara umum
berkembang sesuai dengan semakin bertambahnya tingkat usia.
b.
Tingkat Pendidikan
Pengetahuan
merupakan bagian dari suatu kajian yang lebih luas dan diyakini sebagai
pengalaman yang sangat berarti bagi diri seseorang dalam proses pembentukan
konsep dirinya. Pengetahuan dalam diri seorang individu tidak dapat datang
begitu saja dan diperlukan suatu proses belajar atau adanya suatu mekanisme
pendidikan tertentu untuk mendapatkan pengetahuan yang baik, sehingga kemampuan
kognitif seorang individu dapat dengan sendirinya meningkat. Hal tersebut
didasarkan pada pendapat Epstein (1973) bahwa konsep diri adalah sebagai suatu
self theory, yaitu suatu teori yang berkaitan dengan diri yang tersusun atas dasar
pengalaman diri, fungsi, dan kemampuan diri sepanjang hidupnya.
c.
Lingkungan
Shavelson
& Roger (1982) berpendapat bahwa konsep diri terbentuk dan berkembang
berdasarkan pengalaman dan interpretasi dari lingkungan, terutama dipengaruhi
oleh penguatan-penguatan, penilain orang lain, dan atribut seseorang bagi
tingkah lakunya.
3.
Remaja
A.
Definisi Remaja
WHO
(dalam Sarwono, 2002) mendefinisikan remaja lebih bersifat konseptual, ada tiga
krieria yaitu biologis, psikologik, dan sosial ekonomi, dengan batasan usia
antara 10-20 tahun, yang secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai
berikut:
a.
Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual
sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
b.
Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak
menjadi dewasa.
c.
Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan
yang relatif lebih mandiri.
Monks
(1999) sendiri memberikan batasan usia masa remaja adalah masa diantara 12-21
tahun dengan perincian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja
pertengahan, dan 18-21 tahun masa remaja akhir. Senada dengan pendapat
Suryabrata (1981) membagi masa remaja menjadi tiga, masa remaja awal 12-15
tahun, masa remaja pertengahan 15-18 tahun dan masa remaja akhir 18-21 tahun.
Berbeda dengan pendapat Hurlock (1999) yang membagi masa remaja menjadi dua
bagian, yaitu masa remaja awal 13-16 tahun, sedangkan masa remaja akhir 17-18
tahun. Penulis menetapkan dalam penelitian ini subjek yang dipakai adalah remaja
awal yang masih berusia 13 sampai 16 tahun. Hal ini sesuai dengan pendapat
(Hurlock, 1999).
B.
Ciri-ciri Remaja
Masa
remaja merupakan salah satu periode perkembangan yang dialami oleh setiap
individu, sebagai masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa
ini memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode perkembangan
yang lain. Ciri yang menonjol pada masa ini adalah individu mengalami
pertumbuhan dan perkembangan yang amat pesat, baik fisik, emosional dan sosial.
Hurlock (1999) pada masa remaja ini ada beberapa perubahan yang bersifat
universal, yaitu meningkatnya emosi, perubahan fisik, perubahan terhadap minat
dan peran, perubahan pola perilaku, nilai-nilai dan sikap ambivalen terhadap
setiap perubahan. Berikut ini dijelaskan satu persatu dari ciri-ciri perubahan
yang terjadi pada masa remaja.
a.
Perubahan fisik
Perubahan
fisik berhubungan dengan aspek anotomi dan aspek fisiologis, di masa remaja
kelenjar hipofesa menjadi masak dan mengeluarkan beberapa hormone, seperti
hormone gonotrop yang berfungsi untuk mempercepat kemasakan sel telur dan
sperma, serta mempengaruhi produksi hormone kortikortop berfungsi mempengaruhi
kelenjar suprenalis, testosterone, oestrogen, dan suprenalis yang mempengaruhi
pertumbuhan anak sehingga terjadi percepatan pertumbuhan (Monks dkk, 1999).
Dampak dari produksi hormone tersebut Atwater, (1992) adalah: (1) ukuran otot
bertambah dan semakin kuat. (2) testosteron menghasilkan sperma dan oestrogen memproduksi
sel telur sebagai tanda kemasakan. (3) Munculnya tanda-tanda kelamin sekunder
seperti membesarnya payudara, berubahnya suara, ejakulasi pertama, tumbuhnya
rambut-rambut halus disekitar kemaluan, ketiak dan muka.
b.
Perubahan Emosional.
Pola
emosi pada masa remaja sama dengan pola emosi pada masa kanakkanak. Pola-pola
emosi itu berupa marah, takut, cemburu, ingin tahu, iri hati, gembira, sedih
dan kasih sayang. Perbedaan terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi
dan pengendalian dalam mengekspresikan emosi. Remaja umumnya memiliki kondisi
emosi yang labil pengalaman emosi yang ekstrem dan selalu merasa mendapatkan
tekanan (Hurlock, 1999). Bila pada akhir masa remaja mampu menahan diri untuk
tidak mengeksperesikan emosi secara ekstrem dan mampu memgekspresikan emosi
secara tepat sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan dan dengan cara yang
dapat diterima masyarakat, dengan kata lain remaja yang mencapai kematangan
emosi akan memberikan reaksi emosi yang stabil (Hurlock, 1999). Nuryoto (1992)
menyebutkan
ciri-ciri kematangan emosi pada masa remaja yang ditandai dengan sikap sebagai
berikut: (1) tidak bersikap kekanak-kanakan. (2) bersikap rasional. (3)
bersikap objektif (4) dapat menerima kritikan orang lain sebagai pedoman untuk
bertindak lebih lanjut. (5) bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan.
(6) mampu menghadapi masalah dan tantangan yang
dihadapi.
c.
Perubahaan sosial
Perubahan
fisik dan emosi pada masa remaja juga mengakibatkan perubahan dan perkembangan
remaja, Monks, dkk (1999) menyebutkan dua bentuk perkembangan remaja yaitu,
memisahkan diri dari orangtua dan menuju kearah teman sebaya. Remaja berusaha
melepaskan diri dari otoritas orangtua dengan maksud menemukan jati diri.
Remaja lebih banyak berada di luar rumah dan berkumpul bersama teman sebayanya
dengan membentuk kelompok dan mengeksperesikan segala potensi yang dimiliki.
Kondisi ini membuat remaja sangat rentan terhadap pengaruh teman dalam hal
minat, sikap penampilan dan perilaku. Perubahan yang paling menonjol adalah hubungan
heteroseksual. Remaja akan memperlihatkan perubahan radikal dari tidak menyukai
lawan jenis menjadi lebih menyukai. Remaja ingin diterima, diperhatikan dan
dicintai oleh lawan jenis dan kelompoknya.
C.
Landasan Teori
Banyak
peneliti yang telah melakukan penelitian untuk mencari faktorfaktor yang
berhubungan dengan kenakalan remaja, faktor-faktor tersebut antara lain
identitas, konsep diri, kontrol diri, usia, jenis kelamin, harapan terhadap pendidikan
dan nilai-nilai di sekolah, proses keluarga, pengaruh teman sebaya, kelas
sosial ekonomi dan kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal, semua factor tersebut
memiliki kontribusi terhadap kecenderungan kenakalan remaja. Pada penelitian
ini, faktor keluarga dan konsep diri akan dipilih sebagai faktor yang akan
memprediksi kecenderungan kenakalan remaja. Keluarga sebagai kelompok sosial
terkecil dalam masyarakat, mempunyai peranan penting dalam pembentukan konsep
diri pada anak. Hurlock (1999)
berpendapat
bahwa dukungan khususnya keluarga atau kurangnya dukungan akan mempengaruhi
kepribadian anak melalui konsep diri yang terbentuk. Pola terbentuknya konsep
diri pada seorang individu bukan merupakan bawaan dari lahir, tetapi konsep
diri terbentuk melalui proses, dan proses pembentukan konsep diri tidak dapat
terlepas dari peran keluarga. Konsep diri yang positif dan keluarga yang
harmonis ditengarai akan mampu mencegah seorang remaja untuk cenderung
melakukan kenakalan atau perbuatan yang negatif. Simandjuntak (1984)
berpendapat bahwa secara garis besar munculnya perilaku delinkuen pada remaja
disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud
meliputi karakteristik kepribadian, nilai-nilai yang dianut, sikap negatif
terhadap sekolah, serta kondisi emosi remaja yang labil. Adapun faktor
eksternal mancakup lingkungan rumah atau keluarga, sekolah, media massa, dan
keadaan sosial ekonomi. Berdasarkan pendapat tersebut di atas dapat dipahami
bahwa kecenderungan berperilaku delikuen pada remaja dipengaruhi oleh konsep
diri individu yang bersangkutan dan peran keluarga yang didapatnya. Hasil
penelitian Ling & Chan (1997) menyatakan bahwa konsep diri berhubungan
dengan kenakalan remaja yang dihubungkan melalui keharmonisan keluarga. Menurut
Shavelson & Roger (1982), konsep diri terbentuk dan
berkembang
berdasarkan pengalaman dan inteprestasi dari lingkungan, penilaian orang lain,
atribut, dan tingkah laku dirinya. Pengembangan konsep diri tersebut berpengaruh
terhadap perilaku yang ditampilkan, sehingga bagimana orang lain memperlakukan
individu dan apa yang dikatakan orang lain tentang individu akan dijadikan
acuan untuk menilai dirinya sendiri ( Mussen dkk, 1979). Tanggapan positif dari
lingkungan terhadap keadaan remaja akan menimbulkan rasa puas dan menerima
keadaan dirinya, sedangkan tanggapan negatif dari lingkungan akan menimbulkan
perasaan tidak puas pada dirinya dan individu cenderung tidak
menyukai
dirinya (Sullivan dalam Rakhmat, 1986) yang nantinya akan mengakibatkan
terjadinya pelanggaran terhadap peraturan dan norma-norma yang ada dalam
masyarakat. Remaja yang mempunyai konsep diri yang positif akan mampu dan mengatasi
dirinya, memperhatikan dunia luar, dan mempunyai kemampuan untuk berinteraksi
sosial (Beane & Lipka, 1986). Selain itu remaja yang memiliki konsep diri
yang tinggi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut, yaitu spontan, kreatif dan
orisinil, menghargai diri sendiri dan orang lain, bebas dan dapat mengantisipasi
hal negatif serta memandang dirinya secara utuh, disukai, diinginkan dan
diterima oleh orang lain (Combs Snygg dalam Shiffer dkk., 1977).
Sedangkan
Coopersmith (dalam Partosuwido, 1992) mengemukakan karakteristik remaja dengan
konsep diri tinggi, yaitu bebas mengemukakan pendapat, memiliki motivasi yang
tinggi untuk mencapai prestasi, mampu mengaktualisasikan potensinya dan mampu
menyelaraskan dengan lingkungannya, sedangkan remaja yang berkonsep diri
negatif atau rendah akan sulit mengganggap suatu keberhasilan diperoleh dari
diri sendiri tetapi karena bantuan orang lain, kebetulan, dan nasib semata.
Remaja tersebut biasanya mengalami kecemasan yang tinggi (Ames dalam Beane dan
Lipka, 1986). Coopersmith (dalam Partosuwido, 1992) mengemukan karakteristik
remaja yang memiliki konsep diri rendah, yaitu mempunyai perasaan tidak aman,
kurang penerimaan diri, dan biasanya memiliki harga diri yang rendah. Adanya
konsep diri yang tinggi tersebut remaja dituntut untuk melakukan perbuatan
positif yang diharapkan oleh masyarakat, sehingga akan mengurangi tingkat
kenakalan remaja, dan sebaliknya remaja yang memiliki konsep diri yang rendah,
seringkali melanggar peraturan dan norma-norma yang ada dalam masyarakat,
sehingga nantinya dapat mengakibatkan terjadinya kenakalan remaja. Berdasarkan
landasan teori di atas, mekanisme psikologis yang terjadi pada permasalahan
tersebut adalah bagaimana remaja yang mempersepsi keluarganya harmonis
cenderung mempunyai konsep diri yang positif. Hal ini tentu berdampak semakin
berkurangnya kecenderungan berperilaku nakal atau negatif, karena di dalam
keluarga harmonis anak diajarkan apa itu tanggungjawab dan kewajiban,
mengajarkan berbagai norma yang berlaku di masyarakat dan keterampilan lainnya
agar anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan serta dapat mencapai
kematangan secara keseluruhan baik emosi maupun kematangan secara sosial.
Suasana harmonis yang dirasakan remaja, secara tidak langsung berpengaruh
terhadap pembentukan kepribadiannya dalam hal ini konsep diri. Remaja yang
mempunyai konsep diri positif ditandai dengan kemampuan individu di dalam
mengontrol diri dan mengelola faktor- faktor perilaku yang sesuai dengan
situasi dan kondisi lingkungan sosial, sehingga dapat mengurangi perilaku
negatif atau kenakalan pada remaja.
Depresi
Menurut
Rice PL (1992), depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan
yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir, berperasaan dan berperilaku)
seseorang. Pada umumnya mood yang secara dominan muncul adalah perasaan tidak
berdaya dan kehilangan harapan.
Menurut
Kusumanto (1981) depresi adalah suatu perasaan kesedihan yang psikopatologis,
yang disertai perasaan sedih, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya
energi yang menuju kepada meningkatnya keadaan mudah lelah yang sangat nyata
sesudah bekerja sedikit saja, dan berkurangnya aktivitas. Depresi dapat
merupakan suatu gejala, atau kumpulan gejala (sindroma).
Menurut
Kartono (2002) depresi adalah kemuraman hati (kepedihan, kesenduan, keburaman
perasaan) yang patologis sifatnya. Biasanya timbul oleh; rasa inferior, sakit
hati yang dalam, penyalahan diri sendiri dan trauma psikis. Jika depresi itu
psikotis sifatnya, maka ia disebut melankholi.
Berdasarkan
beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa depresi adalah gangguan
mood, kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental
(berpikir, berperasaan dan berperilaku) seseorang, muncul perasaan tidak
berdaya dan kehilangan harapan¸yang disertai perasaan sedih, kehilangan minat
dan kegembiraan, berkurangnya energy yang menuju kepada meningkatnya keadaan
mudah lelah yang sangat nyata dan berkurangnya aktivitas.
Ciri-ciri
dari depresi:
Ciri
ciri dari depresi dibagi menjadi dua yaitu ciri utama serta ciri lainnya yang
mendukung ciri utama dimana gejala-gejala tersebut akan menentukan berat
ringannya tingkat depresi (Yosep, 2007) :
a.
Ciri Utama
1)
Afek depresi yaitu sulit merasa bahagia dan rasa percaya diri yang rendah
2)
Kehilangan minat dan kegembiraan
3)
Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah
yang nyata sesudah kerja sedikit saja dan menurunnya aktivitas )
b.
Ciri lainnya
1)
Konsentrasi dan perhatian berkurang
2)
Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3)
Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna.
4)
Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis.
5)
Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
6)
Tidur terganggu dan nafsu makan berkura
BAB III
METODOLOGI
PENELITIAN
A.Pendekatan Kualitatif
Istilah penelitian kualitatif menurut Krik dan Miller (dalam Moleong, 2006) pada mulanya bersumber pada pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkat suatu ciri tertentu. Untuk menemukan sesuatu dalam pengamatan, pengamat harus mengetahui apa yang menjadi ciri sesuatu itu. Berdasarkan pertimbangan tersebut, peneliti menyatakan bahwa penelitian kuantitatif mencakup setiap jenis penelitian yang didasarkan atas perhitungan statistik atau angka kuantitas. Atas dasar pertimbangan itulah maka kemudian penelitian kualitatif tampaknya diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan.
Menurut Banister (dalam Alsa, 2003) penelitian kulatitatif dapat didefinisikan sebagai satu cara sederhana, sangat longgar, yaitu suatu penelitian interpretatif terhadap suatu masalah dimana peneliti merupakan sentral dari pengertian atau pemaknaan yang dibuat mengenai masalah itu.
Meriam (dalam Alsa, 2003) merumuskan penelitian kualitatif sebagai satu konsep payung yang mencakup beberapa bentuk penelitian untuk membantu peneliti memahami dan menerangkan makna fenomena sosial yang terjadi dengan sekecil mungkin gangguan terhadap setting alamiahnya.
Menurut Alsa (2003) penelitian kualitatif bertitik tolak dari paradigma fenomenologis yang obyektivitasnya dibangun atas rumusan tentang situasi tertentu sebagaimana yang dihayati oleh individu atau kelompok sosial tertentu, dan relevan dengan tujuan penelitian.
Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006) mengadakan
pengkajian selanjutnya terhadap istilah penelitian kualitatif, yang
mendefinisikan “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitan yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan
pada latar belakang dan individu tersebut secara holistik.
Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006) mengatakan
salah satu kekuatan dari pendekatan kualitatif adalah dapat memahami gejala
sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai
dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang
dipaksakan.
Pendekatan kualitatif dipandang lebih sesuai untuk
mengetahui bagaimana kecemasan pada saat ini dan apa yang mendasari individu menjadi
terlalu cemas atau takut. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Poerwandari
(2007) bahwa pendekatan yang sesuai untuk penelitian yang tertarik dalam
memahami manusia dengan segala kompleksitasnya sebagai mahluk subjektif adalah
penelitian kualitatif.
1. Karakteristik Penelitian Kualitatif
Menurut Alsa (2003) ada sembilan ciri penelitian
kulitatif yaitu :
a.
Penelitian kualitatif memiliki setting alamiah sebagai sumber data
b.
Peneliti sebagai instrumen penelitian
c. Penelitian kualitatif adalah deskriptif
d. Peneliti kualitaif lebih memperhatikan
proses daripada hasil penelitian
e. Peneliti kulitatif cenderuing menganalisa
datanya secara induktif
f. Pemaknaan merupakan perhatian utama dari
penelitian kualitatif
g. Pentingnya kontak personal langsung dengan
subyek
h. Berorientasi pada kasus unik
i. Penelitian kualitatif biasanya merupakan
penelitian lapangan.
2. Langkah
Penelitian Kualitatif
Menurut Alsa (2003) langkah – langkah penelitian
kualitatif adalah sebagai berikut :
a. Mengidentifikasi
problem penelitian
b. Mereviu
kepustakaan
c. Menetapkan
tujuan penelitian
d.
Mengumpulkan data
e. Menganalisa
dan menginterpretasi data
f. Melaporkan
dan mengevaluasi penelitian
B.Metode Pengambilan Data
Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang
terbuka dan luas, metode pengambilan data kualitatif sangat beragam,
disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian serta sifat objek yang diteliti.
Metode pengambilan data dalam penelitian kualitatif antara lain: wawancara,
observasi, diskusi kelompok terfokus, analisa terhadap karya (tulis, film, dan
karya seni lain), analisa dokumen, analisa catatan pribadi, studi kasus, studi
riwayat hidup dan sebagainya. Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2006)
menyatakan bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata
atau tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.
Dalam penelitian ini, metode pengambilan data dilakukan dengan wawancara.
Menurut Poerwandari
(2007) ada beberapa ragam metode pengumpulan data, diantaranya yaitu :
Observasi, wawancara, diskusi kelompok terfokus, penelitian partisipatoris,
metode – metode yang terkait dengan gambar atau penggunaan foto, metode
pemetaan, metode – metode dengan drama,dan oral history.
Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang akan digunakan adalah observasi, dan wawancara. Karena sifat penelitian kualitatif yang fleksibel dimungkinkan adanya tambahan data – data lain seperti foto ataupun catatan harian.
1. Wawancara
Menurut Banister (dalam Poerwandari, 2007)
wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai
tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk
memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu,
berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi
terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan
lain.
Metode pengumpulan informasi yang terdiri dari
pernyataan-pernyataan memerlukan kemampuan untuk menggali atau probing dari
jawaban-jawaban responden, sehingga informasi yang diperoleh akan lebih
spesifik yaitu berupa informasi mengenai perasaan, perilaku dan informasi
lainnya yang dimiliki oleh individu. Keberhasilan dari wawancara sangat
dipengaruhi oleh perencanaan terlebih dahulu (Stewart dan Cash dalam Moleong,
2006).
Adapun
struktur wawancara menurut Stewart dan Cash (dalam Moleong, 2006), antara lain
adalah:
a.
Interview Guide
(Pedoman wawancara)
Pedoman yang
disusun oleh pewawancara yaitu merupakan sebuah outline yang berisikan
aspek-aspek utama dari topik wawancara.
b.
The Opening (Pembukaan)
Menciptakan
atmosfir yang saling memiliki kepercayaan dan saling menghargai sehingga dapat
membentuk hubungan positif antara pewawancara dan responden.
c.
The Body (Isi)
Pewawancara
menggali jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan mempersiapkan
pertanyaan-pertanyaan lanjutan dari pedoman wawancara.
d.
The Closing
(Penutup)
Pewawancara
mengakhiri wawancara ketika informasi yang diperoleh telah didapat dari responden.
Menurut
Patton (dalam Poerwandari, 2007) wawancara secara umum dapat dibedakan menjadi
tiga pendekatan, yaitu:
a.
Wawancara informal
Proses
wawancara didasarkan sepenuhnya pada berkembangannya pertanyaan-pertanyaan
secara spontan dalam interaksi alamiah. Tipe wawancara demikian umumnya
dilakukan oleh peneliti yang melakukan observasi partisipatif. Dalam situasi
demikian, orang yang diajak bicara mungkin tidak menyadari dirinya sedang
diwawancarai secara sistematis untuk menggali data.
b.
Wawancara dengan pedoman umum
Dalam
proses wawancara ini peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara yang sangat
umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan
pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Pedoman wawancara
digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek – aspek yang harus
dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek – aspek
relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian,
peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara
konkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks
actual saat wawancara berlangsung. Wawancara dengan pedoman sangat umum ini
dapat bnerbantuk wawancara terfokus, yakni wawancara yang mengarahkan pembicara
pada hal – hal atau aspek – aspek tertentu dari kehidupan atau pengalaman
subjek. Tetapi wawancara juga dapat berbentuk wawancara mendalam, dimana
peneliti mengajukian pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek, secara
utuh dan mendalam.
c.
Wawancara dengan pedoman terstandar yang
terbuka
Dalam
bentuk wawancara ini, pedoman wawancara ditulis dengan rinci, lengkap dengan
set pertanyaan dan penjabarannya dalam kalimat. Peneliti diharapkan dapat
melaksanakan wawancara sesuai sekuensi yang tercantum, serta menanyakannya
dengan cara yang sama pada responden – responden yang berbeda. Keluwesan dalam
mendalami jawaban terbatas, tergantung pada sifat wawancara dan ketrampilan
peneliti.
Dalam penelitian ini akan digunakan wawancara dengan
pedoman umum dimana peneliti mencantumkan isu-isu yang harus
diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk
pertanyaan eksplisit. Pedoman wawancara ini digunakan untuk mengingatkan
peneliti mengenai aspek – aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar
pengecek (checklist) apakah aspek – aspek relevan tersebut telah dibahas atau
ditanyakan. Dengan pedoman demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana
pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya,
sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara
berlangsung. Wawancara dengan pedoman sangat umum ini dapat berbentuk wawancara
terfokus, yakni wawancara yang mengarahkan pembicara pada hal – hal atau aspek
– aspek tertentu dari kehidupan atau pengalaman subjek. Tetapi wawancara juga
dapat berbentuk wawancara mendalam, dimana peneliti mengajukian pertanyaan
mengenai berbagai segi kehidupan subjek, secara utuh dan mendalam
2. Observasi
Istilah
observasi ditunkan dalam bahasa latin yang berarti “melihat” dan
“memperlihatkan”. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan
secara actual, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan
antar aspek dalam fenomena tersebut. Observasi selalu menjadi bagian dalam
penelitian psikologis, dapat berlangsung dalam konteks laboratorium
(eksperimental) maupun dalam konteks alamiah (Banister, dalam Poerwandari
2007).
Patton
(dalam Poerwandari, 2007) menegaskan observasi merupakan metode pengumpulan
data esensial dalam penelitian, apalagi penelitian dengan pendekatan
kualitatif, agar memberikan data yang akurat dan bermanfaat.
Menurut Poerwandari (2007) tujuan observasi adalah mendeskripsikan
setting yang dipelajari, aktivitas – aktivitas yang berlangsung, orang – orang
yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari persepktif
mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut.
Kemudian menurut Wilkinson (dalam Minauli, 2006) observasi adalah aspek
penting bagi banyak ilmu pengetahuan dan telah memainkan peranan penting dalam
perkembangan psikologi sebagai suatu disiplin ilmu. Kekuatan utama dari
observasi adalah karena ia dapat diamati secara langsung dan tepat. Observasi
adalah metode yang paling penting dalam pengumpulan data.
a.Unsur – Unsur Observasi
Secara umum menurut Nietzel (dalam Minauli, 2006) metode observasi
memiliki unsur – unsur sebagai berikut :
1.
Pemilihan (selection)
Observer pertama kali memilih orang (selects) orang,
mengklasifikasikan perilaku, kejadian, situasi, atau periode waktu yang akan
menjadi fokus perhatian.
2.
Pembangkitan (provocation)
Keputusan harus dibuat mengenai apakah perlu
membangkitkan (provoke) perilaku dan situasi atau menunggu hingga hal itu
terjadi dengan sendirinya.
3.
Pencatatan (recording)
Perencanaan dibuat untuk merekam (record)
observasi, apakah dengan menggunakan ingatan observer, lembaran catatan, audio
atau videotape, system monitoring fisiologis, penunjuk waktu, alat penghitung,
atau yang lainnya.
Menurut
Banister (dalam Poerwandari, 2007) dalam membuat catatan dalam observasi hal –
hal yang harus diperhatikan adalah
a.
deskripsi konteks
b.
deskripsi mengenai karakter orang – orang yang diamati
c.
deskripsi tentang siapa yang melakukan observasi
d.
deskripsi mengenai perilaku yang ditampilkan orang –
orang yang diamati
e.
interpretasi sementara peneliti terhadap kejadian yang
diamati
f.
pertimbangan mengenai alternative interpretasi –
interpretasi lain
g.
eksplorasi perasaan dan penghayatan peneliti terhadap
kejadian yang diamati.
4.
Pemberian kode (encoding)
Akhirnya mengembangkan suatu system untuk pengkodean (encoding) dari
observasi mentah kedalam bentuk yang dapat digunakan.
Menurut Poerwandari (2007) koding dimaksudkan untuk dapat
mengorganisasikan dan mensistematiskan data secara lengkap dan mendetail
sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topic yang dipelajari.
C. Responden Penelitian
1. Karakteristik Responden
a.
Para remaja laki-laki,
b.
Usia 12-21 tahun,
2. Jumlah Responden
Menurut
Banister (dalam Poerwandari, 2007) mengatakan dengan fokusnya pada kedalaman
dan proses, penelitian kualitaif cenderung dilakukan dengan jumlah kasus
sedikit. Suatu kasus tunggal pun dapat dipakai, bila secara potensial memang
sangat sulit bagi peneliti memperoleh kasus yang lebih banyak, dan bila dari
kasus tunggal tersebut memang diperlukan sekaligus dapat diungkap informasi
yang sangat mendalam.
Sarantakos
(dalam Poerwandari, 2007) mengemukakan karakteristik prosedur penentuan
responden dalam penelitian kualitatif pada umumnya adalah sebagai berikut:
a.
Diarahkan
tidak pada jumlah sampel yang besar
b.
Tidak
ditentukan secara kaku sejak awal,
tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik
sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian
c.
Tidak
diarahkan pada keterwakilan dalam arti jumlah atau peristiwa acak, melainkan pada kecocokan konteks.
Dengan
karakteristik seperti disebutkan diatas, jumlah sampel dalam penelitian
kualitatif tidak dapat ditentukan secara tegas di awal penelitian. Dalam penelitian ini, jumlah responden yang
direncanakan adalah sebanyak 6 (enam) orang.
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan April tahun 2013. Proses wawancara
bisa dilakukan langsung di lokasi sekolah, di taman ataupun di rumah
responden sendiri, sesuai dengan kemauan responden.
D. Alat Bantu
Pengumpulan Data
Pencatatan data selama penelitian penting sekali
karena data dasar yang akan dianalisis didasarkan atas “kutipan” hasil
wawancara. Oleh karena itu, pencatatan data harus dilakukan dengan cara yang
sebaik dan setepat mungkin. Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitataif
cukup rumit, untuk itu diperlukan instrumen atau alat penelitian agar dapat
membantu peneliti dalam mengumpulkan data (Moleong, 2006).
Alat bantu yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah pedoman wawancara, dan sebuah alat perekam yaitu tape recorder.
1. Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti
mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist)
apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari,
2007). Pedoman wawancara bertujuan agar wawancara yang dilakukan tidak
menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat
bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis
data nantinya.
2. Alat Perekam (tape recorder)
Alat perekam digunakan untuk memudahkan peneliti
dalam mengulang kembali hasil wawancara yang telah dilakukan. Dengan adanya
hasil rekaman wawancara tersebut akan memudahkan peneliti apabila ada
kemungkinan data yang kurang jelas sehingga responden yang diwawancarai dapat
dihubungi kembali. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan memperoleh
persetujuan responden terlebih dahulu.
E. Prosedur
Penelitian
Tahap-tahap penelitian kualitatif dengan salah
satu ciri pokoknya peneliti sebagai alat penelitian, menjadi berbeda dengan
tahap-tahap penelitian nonkualitatif. Tahap-tahap penelitian kualitatif
(Moleong, 2006), terdiri dari:
1. Tahap Persiapan Penelitian
Tahap persiapan penelitian dilakukan
untuk mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan dalam penelitian:
a.
Mengumpulkan
informasi tentang isu-isu yang berhubungan dengan Hubungan kenakalan Remaja
dengan Prestasi Belajar Peneliti mengumpulkan semua informasi yang berkaitan
dengan Hubungan kenakalan Remaja dengan Prestasi Belajar. Selanjutnya peneliti
menentukan karakteristik responden yang akan disertakan dalam penelitian ini.
b. Menyiapkan
pedoman wawancara
Agar
wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian, sebelum
wawancara dilakukan, peneliti terlebih dahulu menyiapkan pedoman wawancara yang
disusun berdasarkan teori yang ada.
c. Menghubungi calon responden yang sesuai
dengan karakteristik responden
Setelah peneliti memperoleh
beberapa orang calon responden, peneliti menghubungi calon responden untuk
menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk
berpartisipasi dalam penelitian. Apabila calon responden bersedia, peneliti kemudian menyepakati waktu
wawancara bersama calon responden.
- Melaksanakan rapport
Menurut
Moleong (2006) rapport adalah hubungan antara peneliti dengan subjek
penelitian yang sudah melebur seolah-olah sudah tidak ada lagi dinding pemisah
diantara keduanya. Dengan
demikian, subjek dengan sukarela dapat menjawab pertanyaan atau memberi
informasi yang diberikan oleh peneliti.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Setelah tahap persiapan penelitian
dilakukan, maka peneliti memasuki tahap pelaksanaan penelitian.
a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan
tempat wawancara.
Sebelum wawancara dilakukan,
peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati
bersama dengan responden. Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum
wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan responden dalam keadaan sehat
dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara yang telah dilakukan.
b.
Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara
Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta responden
untuk menandatangani lembar persetujuan wawancara yang menyatakan bahwa
responden mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang
diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu
serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk
kepentingan penelitian.
c. Memindahkan rekaman hasil wawancara
kedalam bentuk transkrip verbatim
Setelah hasil
wawancara diperoleh, peneliti memindahkan hasil wawancara dan observasi ke
dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding yaitu
membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk
dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail
sehingga data dapat memunculkan gambaran topik yang dipelajari (Poerwandari,
2007).
d.
Melakukan analisa data
Bentuk transkrip verbatim telah selesai, kemudian
dibuatkan salinannya dan diserahkan kepada pembimbing. Pembimbing membaca verbatim berulang-ulang untuk
mendapatkan gambaran yang jelas. Setelah itu, verbatim wawancara disortir untuk
memperoleh hasil yang relevan dengan tujuan penelitian dan diberi kode.
e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan
saran
Setelah analisa
data selesai peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan. Kemudian
peneliti menuliskan diskusi terhadap kesimpulan dan seluruh hasil penelitian.
Dengan memperhatikan hasil penelitian, kesimpulan data, dan diskusi yang telah
dilakukan, peneliti mengajukan saran bagi penelitian selanjutnya.
3. Tahap
Pencatatan Data
Semua data yang diperoleh pada saat
wawancara direkam dengan alat perekam dengan persetujuan subjek penelitian
sebelumnya. Dari hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan secara
verbatim untuk dianalisis. Transkrip adalah salinan hasil wawancara dalam pita
suara kedalam ketikan di atas kertas.
F. Prosedur
Analisis Data
Data penelitian kualitatif tidak berbentuk
angka, tetapi lebih banyak berupa narasi, cerita, dokumen tertulis dan tidak
tertulis (gambar atau foto) ataupun bentuk-bentuk nonangka lainnya. Penelitian
kualitatif tidak memiliki rumusan atau aturan absolut untuk mengolah dan
menganalisis data (Poerwandari, 2007). Moleong dan Poerwandari menjelaskan
prosedur analisis data dalam penelitian kualitatif adalah sebagai berikut:
1.
Mengelompokkan data menjadi bentuk teks
2.
Mengelompokkan data dalam kategori-kategori tertentu
sesuai dengan pokok-pokok permasalahan yang ingin dijawab. Dalam hal ini
pertama-tama dilakukan sorting data untuk memilih data yang relevan
dengan pokok permasalahan dan tahap kedua dilakukan coding atau
pengelompokan data dalam berbagai kategori.
3. Dilakukan interpretasi awal terhadap
setiap kategori data. Dari hasil interpretasi awal ini peneliti dapat kembali
melakukan pengumpulan data dan melakukan kembali proses 1 sampai 3. Hal ini
merupakan keunikan lain dari penelitian kualitatif, dimana selalu terjadi
proses “bolak-balik“ dari pengumpulan data dan proses interpretasi atau
analisis.
4. Mengidentifikasi tema utama atau kategori
utama dari data yang terkumpul. Hal ini dilakukan untuk melihat gambaran apa
yang paling utama tampil dan dirasakan oleh subjek penelitian. Jika ditemukan
tema utama, maka hasil interpretasi lainnya merupakan penunjang untuk menjelaskan
dinamika tema tersebut.
5. Lokasi dan
Waktu Penelitian
Lokasi Penelitian di lakukan di
daerah deli sedang dengan lokasi yang terhindar dari keributan kenderaan
bermotor,sepeda motor,mobil,becak dan sebagainya,namun lokasi yang lakukan
langsung ketempat: Sekolah Dhamma Sekha Dhamma Mitta yang beralamatkan
JL.LK.VI.Gg. kebun sayur 13 Deli Tua Barat kec.Deli Tua Ksh.Deli Serdang
Sumatera Utara.
A.Waktu Penelitian
Waktu Penelitian lebih kurang pada pagi hari
menjelang siang hari, dimana waktu yang baik bagi penelitian dan waktu baik
pada siswa kira-kira waktu di hari minggu dan senin di jam 90.30 - 11.00 Wib, begitu juga bisa ambil wawancara
lanjutan hari senin berikutnya waktu pada jam 12.00 - 13.00 Wib siang hari.
6. Lokasi
Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di.
Sekolah Dhamma Sekha Dhamma Mitta berada di
Alamat : JL.LK.VI.Gg. kebun sayur 13
Deli Tua Barat kec.Deli Tua Ksh.Deli Serdang Sumatera Utara.
7. Waktu
Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2013
G.Teknik
Obsevasi Wawancara
1. Rekama rekoder
Dengan
wawancara mengunakan handpon sebagai alat rekoder,disaat rekaman bersama
subjeck berjalan dengan lancar dengan berbagai pertanyakan dan di rekam dalam
handpon
2. Tanyak jawab langsung kepada subjeck
Tanyak
jawab langsung kepada subjeck di tempat itu, banyak informasi juga di dapat
dengan hasil rekaman dari rekoder, kemudian hasil pertanyakan juga langsung di
ketik kembali ke computer dengan mendengar kembali isi cerita pertanyakan dalam
hasil remakan rekoder handpon (VERBATIN)
Verbatim Responden 1
KODING
|
ISI WAWANCARA
|
TEMA
|
I-10001
I-10002
I-10003
I-10004
I-10005
I-10006
I-10007
I-10008
I-10009
I-10010
I-10011
I-10012
I-10013
I-10014
I-10015
I-10016
I-10017
I-10018
I-10019
I-10020
I-10021
I-10022
I-10023
I-10024
I-10025
I-10026
I-10027
I-10028
I-10029
I-10030
I-10031
I-10032
I-10033
I-10034
I-10035
I-10036
I-10037
I-10038
I-10039
I-10040
I-10041
I-10042
I-10043
I-10044
I-10045
I-10046
I-10047
I-10048
I-10049
I-10050
I-10051
I-10052
I-10053
I-10054
I-10055
I-10056
I-10057
I-10058
I-10059
I-10060
I-10061
I-10062
I-10063
I-10064
I-10065
I-10066
I-10067
I-10068
I-10069
I-10070
I-10071
I-10072
I-10073
I-10074
I-10075
I-10076
I-10077
I-10078
I-10079
I-10080
I-10081
I-10082
I-10083
I-10084
I-10085
I-10086
I-10087
I-10088
I-10089
I-10090
I-10091
I-10092
I-10093
I-10094
I-10095
I-10096
I-10097
I-10099
I-10100
I-10101
I-10102
I-10103
I-10104
I-10105
I-10106
I-10107
I-10108
I-10109
I-10110
I-10111
I-10112
I-10113
I-10114
I-10115
I-10116
I-10117
I-10118
I-10119
I-10120
I-10121
I-10122
I-10123
I-10124
I-10125
I-10126
I-10127
I-10128
I-10129
I-10130
I-10131
I-10132
I-10133
I-10134
I-10135
I-10136
I-10137
I-10138
I-10139
I-10140
I-10141
I-10142
I-10143
I-10144
I-10145
I-10146
I-10147
I-10148
I-10149
I-10150
I-10151
I-10152
I-10153
I-10154
I-10155
I-10156
I-10157
I-10158
I-10159
I-10160
I-10161
I-10162
I-10163
I-10164
I-10165
I-10166
I-10167
I-10168
I-10169
I-10170
I-10171
I-10172
I-10173
I-10174
I-10175
I-10176
I-10177
I-10178
I-10179
I-10180
I-10181
I-10182
I-10183
I-10184
I-10185
I-10186
I-10187
I-10188
I-10189
I-10190
I-10191
I-10192
I-10193
I-10194
I-10195
I-10196
I-10197
I-10198
I-10199
I-10200
I-10201
I-10202
I-10203
I-10204
I-10205
I-10206
I-10207
I-10208
I-10209
I-10210
I-10211
I-10212
I-10213
I-10214
I-10215
I-10216
I-10217
I-10218
I-10219
I-10220
I-10221
I-10222
I-10223
I-10224
I-10225
I-10226
I-10227
I-10228
I-10229
I-10230
I-10231
I-10232
I-10233
I-10234
I-10235
I-10236
I-10237
I-10238
I-10239
I-10240
I-10241
I-10242
I-10243
I-10244
I-10245
I-10246
I-10247
I-10248
I-10249
I-10250
I-10261
I-10262
I-10263
I-10264
I-10265
I-10266
I-10267
I-10268
I-10269
I-10270
I-10281
I-10282
I-10283
I-10284
I-10285
I-10286
I-10287
I-10288
I-10289
I-10290
I-10291
I-10292
I-10293
I-10294
|
Iter : ehh
Selamat siang Adi?
Itee: ooo, iya....
Selamat siang bhante....(menyambut
dan menyalami peneliti.
Iter : hari
ini bhante mau wawancara,observasi
kenakalan remaja,jadi apa yang di ketahui Adi pengertian belajar?...
Itee : belajar
yang tekun,terus serius belajar tidak boleh main-main.....
Iter : ini
maksudnya nakal....?yang
membuat nakal pengertiannya apa?
Itee: mencontek,suka
main-main,suka gangu orang,jahil.....
Iter: kemudian
masuk pertanyakan kedua prinsip-prinsip belajar yang selama di kelas membuat
Adi nakal itu apa?.....
Itee: Sering gurunya tidak memperhatikan
muridnya,makanya muridnya suka hati begitu,karena muridnya bandel gurunya
tidak open,maka disitulah muridnya main-main dan suka bandel.
Iter: jadi
pengalaman Adi di sekolah ?itu ehh pun begitulah….?
Itee: ya ?
Iter: selain itu ada lagi?
Itee : tidak ada ?
Iter:kemudian kita masuk pertanyakan
berikutnya…ehhhh factor-faktor yang mempengaruhi belajar disaat Adi nakal ?
Itee : kadang main Hp tidak mendengarkan apa yang di
bicarakan guru,tidak open,cuwek begitu,bermain sama teman-teman
Iter: kemudian
kita masuk pertanyakan hasil belajar,nah hasil belajar yang di peroleh waktu
nakal Adi?waktu guru mengajar dapat di mengerti atau tidak?
Itee : tidak mengerti waktu guru menerangkan tidak
mau mendengar,mau main-main kalau guru menerangkan tidak mau tahu,buka buku
tidak mau ?
Iter: terakhir gurunya menerangkan tidak
mengertilah…?
Itee : ya tidak mengerti…!
Iter: kemudian masuk pertanyakan media pengajaran
berbasis computer ada ngak di sekolah...
Itee : computer ada.?
Itee : disaat
media berbasis computer itu nakal itu perna terjadi ngak itu?...
Itee : tidak perna ?
Iter : tapi kalau yang perna itu misalnya apa?...
Itee : di dalam lap computer begitu,tidak perna
bhante !
Iter : seperti main game?....
Itee : tidak perna,tidak pandai buka internet ?
Iter : Di ajari mengetik?.
Itee : Di ajari mengetik...?
Iter : Kegiatan jahatnya,seperti merusak computer
begitu?...
Itee : perna kibotnya mesin di pijit-pijit gitu..?
Iter : kemudian masuk pertanyakan berikutnya metode
mengajar dengan mengunakan media computer, itu biasanya dari guru mengajar
terus kita tidalk mengerti,kita mukul-mukul computer perna terjadi....?
Itee : Ada yang tidak mengerti cuman pukul
teman,kadang pukul belakangnya,supaya kasih tahu. ?
Iter : kemudian kita masuk pertanyakan fungsi dan
manfaat media pendidikan,jadi fungsi media pendidikan itu selama Adi ketahui
di sekolah itu?apa-apa saja?seperti media perpustakaan.
Itee : kalau di perpustakaan tidak perna baca
buku,setiap bermain berondok di perpustakaan,supaya guru mengira jadwal
perpustakaan ?
Iter : jadi fungsi-fungsinya itu
tidak di manfaatkan lah?.
Itee : ya ?
Iter : kemudian baik kita masuk pertanyakan
berikutnya kenakalan remaja apa yang perna di lakukan kenakalan remaja itu
oleh Adi di sekolah?
Iter :
seperti ngejek-ngejek, ?
Iter : cubit-cubit kawan,kemudian sengol-sengol
kawan?cewak-cewak kelas sering di gangu?
Itee : ya ?
Iter : kemudian masuk pertanyakan berikutnya
definisi kenakalan remaja itu di pengaruhi apa saja?...
Itee : seperti gurunya tidak.mengarahkan,jadi muridnya menjadi,perna
marah,cuman kita tidak perna ngapain,guru bilang apa kita cuwekan,jangan
main,juga main-main,cuman kita tak perna dengar kalau guru tugur.?
Iter :kemudian teman-teman Adi yang wanita juga ada
yang nakal?
Itee : Ada ?
Iter : ciri-ciri nakalnya gimana ?
Itee : jahil,suka bilangi orang.brisik,suka tertekan
di sekolah ?
Iter : jadi kita masuk pertanyakan bentuk dan aspek
aspek kenakalan remaja itu Adi selama sekolah itu apa ?....
Itee : sama kawan seperti taruk pulpen di atas
bangku,biar dia duduk kesakitan!
Iter : kemudian ada yang lain,atau menyepak
kawan,loncat dari meja...!
Itee : ya loncat dari meja..?
Iter : salain itu merokok di kamar mandi?....
Itee: perna!
Iter : ...kemudian masuk pertanyakan karakteristik
remaja nakal bentuk apa?
Itee :
merokok di kamar mandi!
Iter : kemudian?.
Itee :
jahil,bandel,melangar aturan sekolah!
Iter :
perna menggangu cewek sampai nagis?
Itee :
perna mengejek sampai menagis!
Iter :
kemudian di luar sekolah apa lagi?.
Itee
:berkelahi perna sekali diluar sekolah.
Iter : Pertanyakan berikutnya faktor-faktor yang
mempengaruhi kecenderungan kenakalan remaja itu apa-apa saja?
Itee : merokok
untuk menghilangkan strees!
Iter :selain itu?
Itee : perna pikiran yang negatip,suka buka film
yang tidak senono.
Iter : kemudian..!
Itee : tidak ada lagi!
Iter : kemudian masuk pertanyakan presepsi
keharmonisan keluarga itu di keluarga Adi itu presepsi keharmonisan keluarga
itu gimana?.
Itee : bapak marah-marah gitu,kadang pun perna
melawan orang tua,apa yang di katakana tidak mau dengar,salalu melawan.
Iter : kenapa melawan?
Itee
:waktu dulu perna beli Hp sama mama,perna lawan pada orang tua,mama orang
sudah pakai Hp saya ko belum,bapak marah sama bapak.
Iter : kemudian masuk pertanyakan definisi persepsi
keharmonisan keluarga?harmonis ngak?
Itee :tidak harmonis!
Iter : gimana itu ? kok tidak bisa harmonis?
Itee :
karena setiap ada masalah apa,bapak tidak perna bisa ngomong
pelan-pelan,selalu memakai emosi gitu!kek tidak bisa pakai kata-kata lembut
gitu!
Iter : jadi Adi strees lah ya?
Itee : ya strees!!!
Iter : habis strees itu?apa yang menyebabkan
menjadi nakal?
Itee :tidak mau sayangi orang tua lagi,tentunya
Bapak,marah-marah mama begitu,karena bapak tidak kerja gitu,tapi ia main
pukul,dia selalu maki mama,semua dia salah,dari saya sejak kecil mama cari
makan sampai saya dewasa,itu pun mau main pukul!
Iter : jadi kamu jadi strees….lah ya ?
Itee : ya ….!
Iter : kemudian aspek-aspek keharmonisan keluarga
sebab-sebab timbulnya keharmonisan keluarga?mengakibatkan nakal gitu?
Itee :marah-marah gitu,kayak mama jualan
pagi-pagi,kami kalau dia kasih makan,kami masih ngantuk,kalau kadang kita
tidak mau bangun,emosi,marah-marah,kalian mau mati !marahnya kayak gitu,jadi
kami kira tidak harmonis lagi !
Iter : kemudian pertanyakan berikutnya factor-faktor
yang mempengaruhi keharmonisan keluarga itu tidak harmonis itu salain itu apa
lagi?
Itee :kadang kakak pun di banguni tidak mau
bangun,marah-marah sama bapak,sehingga dia tidak perduli,kalau malam di seruh
cepat tidur tidak mau,peginya di suruh bangun tidak mau,disitulah tidak
terjadi harmonis.
Iter : pertanyakan berikutnya definisi konsep diri
Adi !definisi konsep diri setelah strees dan kenakalan apa?
Itee : Saya bingung mau ngomong sama
siap!bandel,sering menjahili kawan,melihat orang tua tidak perna akur
gitu,selalu recok gitu!
Iter :sehingga konsep dirinya menjadi tidak ada
gitu?
Itee : ya…….!bimbang…!
Iter : .berikutnya kita masuki!pertanyakan
pembentukan konsep diri?jadi pembentukan konsep diri dari diri sendiri di
pengaruhi ehhhhhh kenakalan factor orang tua?
Itee : ya?.....!
Iter : Adi
konsep diri nakal dari mana ?
Itee : karena
dari orang tua sering berantakan,tidak sering pakai kata-kata yang
baik,kata-kata kasar,cakap kotor begitu,maka gitu anaknya tidak perna
menghargai orang tuanya lagi!...
Iter : faktornya
Adi semakin nakal apa ?
Itee : nakalnya
tidak bandel kali,keluar cari kawan gitu,hilangkan strees ngomong-ngomong
sama dia.
Iter : ada
minuman keras ?
Itee : tidak…..!
Iter : ..kita masuki pertanyakan aspek-aspek konsep
diri ?konsep aspeknya diri Adi itu
?konsep memilih saat nakal itu?
Itee : mau
berubah menjadi hal yang lebih baik lagi!
Iter : kemudian ada lagi konsep diri ehhhh supaya
yang nakal itu berusaha tidak mengulanginya lagi gitu?..
Itee : ya ?
Iter : tapi apabilah orang tua tidak perna berubah
apa makin strees?
Itee : tidak
perna berubah melihat orang tua tidak perna akur,semakin stress….!
Iter : kita
masuk pertanyakan remaja di sisi adi itu yang nakal itu membuat jadi bahagia
atau duka?
Itee : jadi
duka!..
Iter : jadi
maksudnya jadi remaja itu apa?
Itee : sudah
bisa cari duit,kalau dulu dididik oleh orang tua,sekarang tidak lagi,keknya
kerja sendiri,bisa cari uang sendiri!
Iter : perna minta uang untuk beli rokok,nakoba
Itee : Ya ?
Iter : ...kiat masuk pertanyakan definisi remaja apa
yang adi ketahui?definisi remaja itu?yang adi lihat nakal itu…?.
Itee : melihat kawan seperti merokok,minum
keras,obat,gitu?cuman aku tidak ikut pada waktu itu!
Iter : kemudian disaat itu ehhhh definisi remaja Adi
terbentuk gimana?rasanya ikut atau tidak
Itee :tidak saya bandel tidak boleh ikut
orang yang merokok,minum keras gitu???!!!!!!!!!!!!!
Iter :atau geng motor?!!!
Itee :tidak perna….!
Iter :tapi perna sekali untuk naik seperti
itu…?
Itee :ya ada…!
Iter :disaat nakal itu di coba sepeda motor
yang suara besar-basar…..?
Itee :ya perna ….!....
Iter :kita masuk pertanyakan ciri-ciri
remaja?apa yang adi ketahui ciri-ciri remaja itu?ciri-cirinya gimana…?
Itee :merokok,minuman keras,berjudi…..!
Iter :Adi sekarang rengking di sekolah berapa
ya…?
Itee :rengking 23 dari 29 orang siswa…!
Iter : jadi rengking dari belakang corot ya ?
Itee : karena itu dari 29 siswa…!
Iter : jadi sudah selesai cukup sekian
ehhhhh….!wawancaranya sudah selesai! Terima kasih ya…..!
Itee : ya….!
Iter : Namo…buddhaya….!
Itee : Namo..buddhaya bhante…!
|
Adi sangat nakal,malas belajar dan terpengaru
oleh lingkungan dari rumah dan kurang mengerti apa itu belajar di kemudian
hari bagi dirinya
Adi tidak merasa prinsip untuk belajar kurang
dan minat untuk belajar juga tidak baik,sehingga banyak perhatian dari guru
terabaikan oleh karena ketidak perdulian bagi dirinya dan orang lain.
Adi begitu juga dengan konsentrasi belajar
dengan media Hp dan asik bermain tidak memperhatikan sekitarnya,baik lingkungan
sekolah dan teman,bahkan untuk dirinya sendiri juga kurang di
perhatikan,sehingga sesukanya apa yang dia mau.
Adi juga tidak mau memperhatikan disaat
perhatian ganjar-mengajar dari guru,sehingga perhatian belajar kurang di
peroleh dan malas untuk memperoleh ilmu pengetahuan dari guru dan juga malas
untuk membaca buku pelajaran sekolah.
Media yang tersedia juga kurang di perhatikan
dengan memperoleh pendidikan yang baik di teknologi informasi ini,sehingga
sampai juga tidak bisa mempergunakan internet,juga nakal disaat
ganjar-mengajar computer,sehingga sampai dengan menggangu temannya belajar.
Media yang ada berupa computer juga kurang di
perhatikan dan cuman lebih memperhatikan teman untuk bertanyak dengan usil
Media yang berfungsi sebagai alat bantu juga
tidak dapat di manfaatkan oleh siswa yang nakal,sehingga justru tempat untuk
berlindung dan alas an untuk bermain,tidak memperdulikan media itu juga akan
menggangu orang lain.
Kenakalan yang bersifat individu dengan sikap
mental yang suka berbuat kesenangan diri sendiri dan suka menggangu orang
lain,sifatnya nakal itu juga akan membuat prilaku akan senang di waktu jangka
waktu yang pendek saja.
Tidak memperhatikan disaat guru mengajar
banyak perhatian terabaikan,ilmu pengetahuan yang di berikan tidak bermanfaat
bagi murid,sehingga kenakalan lebih memetingkan diri sendiri,untuk berbuat
nakal di doromg oleh sikap acuh tak acuh dan tidak mau tahu di saat
ngajar-mengajar
Perbuatan jahat dengan tujuan nakal dengan
niat untuk bermain-main dapat memicu suatu perbuatan nakal dengan pribadi
untuk mehilangkan strees diri,sehingga tidak memperdulikan strees orang lain.
Prilaku nakal juga dapat membohongi diri dan
orang lain,dengan sikap nakal juga dengan cara mencuri waktu untuk berbuat
nakal,sehingga sikap nakal juga di dorong oleh nakal,karena usil,jahil dan
suka bermain-main.
Perbuatan nakal dengan niat untuk kesenangan
diri juga dapat buruk bagi dirinya sendiri dan orang lain,suka mencari
pikiran yang nakal untuk memuaskan nafsu keinginan.
Adi merasa hidup ini tertekan oleh orang tua
yang mempunyai sifat yang tidak memperhatikan anak-anaknya,sehingga suka bertengkar
dengan sikap yang buruk
Adi dengan sifat orang tua yang kasar,suka
dengan kata-kata yang kasar dengan mendidik anak,sehingga adi merasa stress
dan tertekan oleh keluarga yang tidak akur,sering bertengkar dan memukul
ibunya,kalau berbicara tidak bisa pelan dan kasar,bagitu juga saudaranya yang
suka malas di waktu bagun tidur,sehingga Adi menjadi tidak harmonis
Adi yang strees dengan sikap orang tua yang
selalu bertengkar dan sering memukul ibunya,kalau disaat pulang
kerja,memperhatikan anak-anaknya dengan sikap yang kasar dengan
marah-marah.walaupun seorang ibu selalu menyangi anaknya akan tetapi caranya
berbada dengan kasar.
Sikap saudara atau kakaknya dalam keluarga
yang tidak mempunyai disiplin hidup semberautan,dengan suka-suka menentukan
waktu dan jam,sifat keluarga yang mempengaruhi sikap nakal adiknya juga
membuat merasa tidak harmonis dalam keluarga
Strees tidak mempunyai konsep diri,ragu-ragu
menetukan sikap hidup,tidak bisa member pendapat dan melepaskan tekanan dari
keluarga,bimbang dengan sikap pribadi yang memicu nakal.
Sikap Adi dari orang tua yang buruk,sering
cakap jorok dan tidak memperhatikan anak,maka anak tidak perna akan
menghargai orang tua yang suka marah,benci,kata-kata kasar,tidak perduli oleh
anak dan istri.
Perubahan hal baik apabila tekanan dari
keluarga juga berubah sekap seseorang,akan tetapi dari keluarga tidak
berubah,maka perubahan juga sedikit,namun srees dengan keperdulian yang tidak
lebih,maka masalah dalam sapek konsep diri juga ada perubahan.
Remaja yang di dorong dengan tekanan yang
bersifat buruk,maka pengalaman hidup juga akan membuat suatu pengalaman
pahit,sehingga ingin berubah dengan jenjang remaja yang akan memasuki usia
dewasa,dorongan pikiran dan perbuatan akan menuju pada sikap berdiri sendiri.
Remaja yang terpengaruh hal yang buruk justru
membuat remaja ingin mencoba hal yang baru,sehingga baik dan buruk juga ingin
di ketahui,sehingga banyak menimbulkan efek yang kurang baik dirinya dan lingkungan orang lain,kanakalan
juga di picu oleh rasa ingin tahu dan ingin mencobanya.
Remaja nakal yang terpengaruh hal yang buruk
juga cepat berkembang dari lingkungan dan pergaulan bersama teman-teman,jadi
kecenderungan remaja nakal leratip dari gensi dan kepercayaan diri
kurang,sehingga terjadi perbuatan yang di contoh oleh teman-teman yang nakal.
|
DAFTAR
PUSTAKA
Keharmonisan Keluarga.
A.1. Pengertian Keluarga. Keluarga menurut Ahmadi (1991:20
Aryanti. 2008. Pengertian Persepsi. pengertian-persepsi. Azizi A, Nasution Z.
2008.
Sudarsono. (2004). Kenakalan Remaja. Jakarta: Rieka
Cipta.
Santrock.
(2003). Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.
Sarlito,
W.S. (2003). Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ali, M. ... Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset. -----------.
Daftar
Pustaka
Makalah dan Skripsi. Arikunto, S. (2005). Manajemen ... Bandung: Remaja Rosdakarya. Related
posts
Menurut Kartono (2003) .... Menurut
teori
perkembangan yang dikemukakan oleh Erikson (dalam. Santrock, 1996)
Santrock. J. W. (2003).
Adolescence: Perkembangan Remaja.(edisi keenam) Jakarta: Erlangga
Bresnick,
S., (2003), Intisari Biologi,
Hpokrates, Jakarta.
. Alkatri, S., (1996), Kajian Ringkas Biologi Beserta Soal – Soal,
Airlangga University Press, Surabaya
Syamsuri, I.., (2000), Biologi SMA, Erlangga, Jakarta.
UNICEF (2003 (diakses tanggal 13
April 2008)
Alsa, A. 2003. Pendekatan Kuantitatif
dan Kualitatif serta Kombinasinya dalam Penelitian Psikologi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
American Psychiatric Association.
2000. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (4th ed.)
(text revision). Washington, DC: APA Press.
Anastasi & Urbina.1997. Tes
Psikologi. Edisi Bahasa Indonesia. Alih Bahasa Robertus H. Imam. Jakarta:
Prenhallindo
Goleman, Daniel. (2000). Working With
Emotional Intelligence (terjemahan). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar1. Kenakalan Remaja pada Laki
– Laki
i
Gambar2. Kenakalan Remaja pada
Wanita ii
Gambar3.
Wawancara Subjek
iii
Gambar4.
Lokasi
kenakalan
iv
Gambar5. Siklus Kenakalan Remaja
v