Wednesday, 25 June 2014

Psikologi Anak Luar Biasa I



PENGERTIAN KESULITAN BELAJAR
 (LEARNING DISABILITIES)

Kesulitan belajar merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris “learning disability” yang memiliki arti ketidakmampuan belajar. Kata disability diterjemahkan ”kesulitan” untuk memberikan kesan optimis bahwa anak sebenarnya masih mampu untuk belajar. Kesulitan belajar merupakan beragam gangguan dalam menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan berhitung karena faktor internal individu itu sendiri, yaitu disfungsi minimal otak atau DMO.

The Nasional Joint Committee Learning Disabilities (NJCLD), mendefinisikan kesulitan belajar sebagai sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan nyata; dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan, untuk mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, berhitung, berbahasa, sampai kepada kemampuan persepsi motorik.
Learning Disabilities (LD) adalah gangguan neurologisyang menyebabkan anak mengalami kesulitan didalam memperoleh keterampilan akademik dan keterampilan sosial. LD bukan sekedar kesulitan didalam belajar namun merupakan gangguan neurologis yang mempengaruhi kemampuan otak untuk menerima, memproses, menyimpan dan merespon informasi. Mereka melihat, mendengar dan mengerti dengan cara yang berbeda.
Anak berkesulitan belajar adalah anak yang memiliki ganguan satu atau lebih dari proses dasar yang mencakup pemahaman penggunaan bahasa lisan atau tulisan, gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kemampuan yang tidak sempurna dalam mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis,mengeja atau menghitung. Batasan tersebut meliputi kondisi-kondisi seperti gangguan perceptual, luka pada otak, diseleksia dan afasia perkembangan. Batasan tersebut tidak mencakup anak-anak yang memiliki problema belajar yang penyebab utamanya berasal dari adanya hambatan dalam penglihatan, pendengaran, atau motorik, hambatan karena tuna grahita (MR), gangguan emosional, kemiskinan lingkungan, budaya atau ekonomi
Dari berbagai pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kesulitan belajar (Learning Disabilities) adalah suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai dengan hambatan-hambatan tertentu, dalam mencapai tujuan belajar. Kondisi ini ditandai kesulitan dalam tugas-tugas akademik, baik disebabkan oleh problem-problem neurologis, maupun sebab-sebab psikologis lain, sehingga prestasi belajarnya tidak sesuai dengan potensi dan usaha yang dilakukan.

Kondisi kesulitan belajar memiliki beberapa karakteristik utama, yaitu :
  1. Gangguan internal
Penyebab kesulitan belajar berasal dari faktor internal, yaitu yang berasal dari dalam anak itu sendiri.
  1. Kesenjangan antara potensi dan prestasi
Anak berkesulitan belajar memiliki potensi kecerdasan/inteligensi normal, bahkan beberapa di antaranya di atas rata-rata. Namun demikian, pada kenyataannya mereka memiliki prestasi akademik yang rendah. Dengan demikian, mereka memiliki kesenjangan yang nyata antara potensi dan prestasi yang ditampilkannya.
  1. Tidak adanya gangguan fisik dan/atau mental
Anak berkesulitan belajar merupakan anak yang tidak memiliki gangguan fisik dan/atau mental.

Klasifikasi Kesulitan Belajar

Secara garis besar yang berhubungan dengan perkembangan (Developmental Learning Disabilities) mencakup gangguan motorik dan persepsi kesulitan belajar bahasa dan komunikasi, kesulitan dalam penyesuaian perilaku sosial.
a.    Kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan (Developmental Learning Disabilities) mencakup gangguan motorik dan persepsi kesulitan belajar bahasa dan komunikasi, kesulitan dalam penyesuaian perilaku sosial. Kesulitan tersebut sulit diketahui karena tidak ada pengukuran yang sistematis dan sering tampak sebagai kesulitan yang disebabkan oleh tidak dikuasainya ketrampilan prasyarat.
b.    Kesulitan belajar akademik (academic learning disabilities)., menunjuk pada adanya kegagalan-kegagalan pencapaian prestasi akademik yang sesuai dengan kapasitas yang diharapkan. Kesulitan ini dapat diketahui ketika anak gagal menampilkan salah satu/beberapa kemampuan akademik.
1.   Kesulitan Belajar Perkembangan
Kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan mencakup gangguan motorik dan persepsi, kesulitan belajar bahasa dan komunikasi, dan kesulitan belajar dalam penyesuaian perilaku sosial.
a.       Kesulitan Berbahasa (Disphasia)
Kesulitan dalam berbicara atau berbahasa ini, sering menjadi indikasi awal bagi kesulitan belajar yang dialami anak.Tanda kesulitan ini, lebih banyak dipengaruhi oleh ketidakseimbangan kognitif. Membedakan bunyi wicara, pembentukan konsep, memahami dan transformasi semantik, mengklarifikasi kata, kemampuan menilai, produksi bahasa, sampai pada proses pragmatik dan memori.Berdasarkan definisi gangguan ini, maka kita dapat meringkas ciri-ciri spesifiknya, sebagai berikut:
         Keterlambatan dalam hal pengucapan bunyi bahasa
Anak atau siswa yang mengalami gangguan ini biasanya mengalami masalah dalam hal pengucapan sesuatu dengan tepat. Sebagai contoh, pada umur 6 tahun Atik masih mengucapkan kata “lakus” yang seharusnya berbunyi “rakus” dan “lesah” untuk “resah”. Keterlambatan perkembangan pengucapan, sebenarnya sesuatu yang umum terjadi. 10% anak di bawah usia 8 tahun mengalami kesulitan ini. Untungnya, kesulitan pengucapan dapat diatasi sepenuhnya dengan mengikuti terapi bicara (wicara).
         Keterlambatan dalam hal mengekspresikan pikiran atau gagasannya melalui bahasa yang baik dan benar
Sebagian anak yang menderita kesulitan berbahasa (disphasia), biasanya juga mengalami kesulitan dalam mengekspresikan dirinya saat bicara.Kesulitan semacam ini disebut juga keterlambatan kemampuan untuk berbahasa dengan baik dan benar. Tetapi tentu saja gangguan perkembangan berbahasa ini dapat timbul dalam wujud yang lain. Sebagai contoh, seorang anak berumur 4 tahun yang hanya dapat mengucapkan dua frase saja, dan seorang anak lain yang telah berusia 6 tahun tetapi tidak dapat menjawab pertanyaan yang sederhana sekalipun, dapat pula digolongkan sebagai anak yang mengalami kesulitan dalam hal berbahasa.
         Keterlambatan dalam hal pemahaman bahasa
Sebagian anak atau siswa, menemui kendala dalam mencerna apa yang diucapkan orang lain (baik gurunya sendiri, teman atau orang tuanya). Kendala ini terjadi ketika otak mereka berada pada frekuensi yang berbeda, dan sistem penerimaannya sedang tidak berfungsi atau lemah.Sebagai contoh, seorang anak yang tidak mampu merespon ketika namanya dipanggil, atau seorang siswa ketika di kelas yang memberikan penggaris ketika Anda meminta pensil padanya.Hakekatnya, pendengaran mereka normal tetapi tidak dapat memberikan respon yang baik danbenar terhadap suara, kata-kata, atau kalimat yang didengar. Mereka tampaknya tidak memperhatikan apa yang orang lain katakan pada mereka. Hal ini terjadi, karena mengucapkan atau mengekspresikan sesuatu dan memahami apa yang dikatakan orang lain memiliki keterkaitan yang sangat erat. Karenanya, orang yang mengalami masalah dalam memahami bahasa juga mengalami masalah dalam mengekspresikannya.
Terlepas dari apapun, bahasa adalah produk mekanisme saraf dalam otak, terutama kulit otak manusia.Bahasa memungkinkan manusia keluar dari tahap insting ke tahap refleksi dan makna.Ia tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, bahasa juga menjadi alat berpikir.
Selanjutnya, pada tahun 1860 Paul Broca menemukan bahwa adanya kerusakan pada daerah tertentu diotak (dikemudian dari lokasi ini disebut area broca) menimbulkan kesulitan berbicara, yang disebutnya afasia ekspresif atau afasia motorik. Betul si pembicara dapat berbicara, tetapi kata-katanya hampir tanpa makna. Kurang dari lima belas tahun kemudian, pada 1874, Carl Wernicke seorang peneliti bangsa Jerman, menemukan adanya kerusakan pada daerah tertentu di otak (di kemudian hari lokasi itu di kenal sebagai daerah wernicke) yang dapat membuat seseorang kesulitan untuk berbahasa. Jika daerah ini rusak, ucapan orang lain masih dapat di dengar, demikian juga huruf-huruf masih dapat dibaca, tetapi semua informasi itu tidak dapat dimengerti. Manusia ini juga dapat berkata-kata, bahkan dengan artikulasi yang baik. Namun, kata-kata yang diucapkan tidak bermakna sama sekali, kata-kata yang dipakainya pun sering salah. Kerusakan pada daerah ini disebut afasia reseptif atau afasia sensoris.
b.      Gangguan Motorik (dispraksia)
Gangguan motorik adalah gangguan pada integrasi auditori-motor (clumsy) yang ditandai dengan gangguan motorik kasar; aktivitas berjalan, balok keseimbangan, motorik kasar, loncat, lari cepat, stand up dan lain sebagainya. Gangguan motorik halus; melempar, menangkap, melipat, menempel.Serta gangguan penghayatan dan kesadaran tubuh, laiknya ekspresi wajah, permainan pantomim, menunjuk bagian tubuh dan lain-lain.
Cara kerja motorik manusia, menurut Richard Haier, guru besar saraf dari Universitas California di Irvine, lebih banyak difungsikan oleh daerah lymbic temporal (pada pria) dan cyngulata gyrus (pada wanita).Sehingga, anak atau individu bisa mengalami gangguan dispraksia, bila terjadi ketidakseimbangan diantara keduanya.Disamping pola kreativitas, penyembuhan, pemecahan masalah, sampai kepada menikmati hubungan yang sempurna, yang sepenuhnya ada pada kerja otak kanan.

c.       Gangguan Persepsi (dispersepsi)
Persepsi adalah pekerjaan otak. Bila sensasi (masuknya impuls atau informasi melalui panca indra), terjadi pada ujung-ujung saraf, maka persepsi terjadi pada pusatnya, di otak. Mungkin ini pekerjaan paling berat dari otak, karena persepsi membentuk pikiran dan cara berpikir. Komponen paling penting dari berpikir adalah mempersepsi. Otak tidak saja mempersepsi informasi yang masuk via panca indra (artinya, objek itu betul-betul ada), tetapi juga untuk objek yang tidak ada, di sini dan pada saat ini. Otak, melalui sel kerja saraf, sirkuit saraf dan neurontransmiter “menangkapnya” untuk dipahami (dipersepsi).
Ketika individu mendengar suara maka yang terlibat adalah mulai dari saraf pendengaran (saraf VIII, saraf auditoris), area pendengaran di kulit otak dua sisi kepala, daerah-daerah pemahaman bahasa, daerah asosiasi, daerah motoris dan persarafan di permukaan tubuh. Inilah cara kerja otak manusia sampai kepada persepsi yang dibakukan.
Dapat diasumsikan, jika mekanisme otak diatas ada salah satu yang terlewati dari kerja otak individu, maka hampir dipastikan dia sedang mengalami gangguan dalam mempersepsi, baik persepsi visual dan auditori.

e.       Gangguan Memori (dismemory)
Penderita kesulitan belajar juga mengalami kesulitan dalam mengingat.Mereka memiliki kesulitan dalam mengolah informasi sehingga dapat disimpam dalam memori jangka panjang. Sebagai contoh, siswa penderita keterlambatan balajar akan “belajar” dengan menatap buku catatan atau membaca daftar kata-kata sukar terus-menerus, di mana hal ini merupakan strategi belajar yang kurang efektif. Akibatnya, kesulitan dalam mengingat juga akan berpengaruh pada memori jangka panjang seseorang ketika ia harus menemukan serta mengingat hal dalam waktu singkat.
f.       Gangguan Metakognis (dismetakognition)
Penderita kesulitan belajar, juga memiliki peluang untuk menderita kelemahan dalam bidang metakognisi, yakni kesadaran tentang bagaimana individu berpikir serta memantau apa yang dipikirkannya. Hasil riset menyatakan bahwa penderita kesulitan belajar yang tidak mengetahui strategi kognitif efektif agar sanggup menerima, mengolah, menyimpan, serta memperlihatkan bahwa ia mengalami suatu informasi. Kelemahan dalam bidang ini pada akhirnya, akan memengaruhi kemampuan mereka untuk menerapkan suatu strategi dalam tempat serta waktu yang tepat. Demikian halnya dengan keahlian mereka dalam memilih serta memantau penerapan strategi itu.
2.           Kesulitan Belajar Akademik
Kesulitan belajar akademik menunjuk pada adanya kegagalan-kegagalan pencapaian prestasi akademik yang sesuai dengan kapasitas yang diharapkan.
a.       Kesulitan Membaca (Disleksia)
Bryan & Bryan (dalam Abdurrahman, 1999: 204), menyebut disleksia sebagai suatu sindroma kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, mengintegrasikan komponen-komponen kata dan kalimat dan dalam belajar segala sesuatau yang berkenaan dengan waktu, arah dan masa.Sedangkan, menurut Lerner seperti di kutip oleh Mercer (1979: 200), mendefinisikan kesulitan belajar membaca sangat bervariasi, tetapi semuanya menunjuk pada adanya gangguan fungsi otak.
Myklebust & Johnson, menyebutkan ciri anak disleksia:
Ø  Mengalami kekurangan dalam memori visual dan auditoris, baik memori jangka pendek (short time memory) dan jangka panjang (long time memory);
Ø  Memiliki masalah dalam mengingat data, seperti mengingat hari-hari dalam seminggu;
Ø  Memiliki masalah dalam mengenal arah kiri dan kanan;
Ø  Memiliki kekurangan dalam memahami waktu;
Ø  Jika diminta menggambar sering tidak lengkap;
Ø  Miskin dalam mengeja;
Ø  Sulit dalam menginterpretasikan globe, peta atau grafik;
Ø  Kekurangan dalam koordinasi dan keseimbangan;
Ø  Kesulitan dalam belajar berhitung; dan
Ø  Kesulitan dalam belajar bahasa asing.

Pada kenyataannya, kesulitan membaca dialami oleh 2 - 8% anak sekolah dasar. Sebuah kondisi, dimana ketika anak atau siswa tidak lancar atau ragu-ragu dalam membaca; membaca tanpa irama (monoton), sulit mengeja, kekeliruan mengenal kata; penghilangan, penyisipan, pembalikan, salah ucap, pengubahan tempat, dan membaca tersentak-sentak, kesulitan memahami; tema paragraf atau cerita, banyak keliru menjawab pertanyaan-yang terkait dengan bacaan; serta pola membaca yang tidak wajar pada anak.
Secara lebih khusus, anak disleksia biasanya mengalami masalah masalah berikut:
1. Masalah fonologi
Yang dimaksud masalah fonologi adalah hubungan sistematik antara huruf dan bunyi. Misalnya mereka mengalami kesulitan membedakan ”paku” dengan ”palu”; atau mereka keliru memahami kata kata yang mempunyai bunyi hampir sama, misalnya ”lima puluh” dengan ”lima belas”. Kesulitan ini tidak disebabkan masalah pendengaran namun berkaitan dengan proses pengolahan input di dalam otak.
2. Masalah mengingat perkataan
Kebanyakan anak disleksia mempunyai level intelegensi normal atau di atas normal namun mereka mempunyai kesulitan mengingat perkataan. Mereka mungkin sulit menyebutkan nama teman-temannya dan memilih untuk memanggilnya dengan istilah “temanku di sekolah” atau “temanku yang laki-laki itu”. Mereka mungkin dapat menjelaskan suatu cerita namun tidak dapat mengingat jawaban untuk pertanyaan yang sederhana.
3. Masalah penyusunan yang sistematis / sekuensial
Anak disleksia mengalami kesulitan menyusun sesuatu secara berurutan misalnya susunan bulan dalam setahun, hari dalam seminggu atau susunan huruf dan angka. Mereka sering ”lupa” susunan aktivitas yang sudah direncanakan sebelumnya, misalnya lupa apakah setelah pulang sekolah langsung pulang ke rumah atau langsung pergi ke tempat latihan sepak bola. Padahal orang tua sudah mengingatkannya bahkan mungkin sudah pula ditulis dalam agenda kegiatannya. Mereka juga mengalami kesulitan yang berhubungan dengan perkiraan terhadap waktu. Misalnya mereka mengalami kesulitan memahami instruksi seperti ini: ”Waktu yang disediakan untuk ulangan adalah 45 menit. Sekarang jam 8 pagi. Maka 15 menit sebelum waktu berakhir, Ibu Guru akan mengetuk meja satu kali”. Kadang kala mereka pun ”bingung” dengan perhitungan uang yang sederhana, misalnya mereka tidak yakin apakah uangnya cukup untuk membeli sepotong kue atau tidak.
4. Masalah ingatan jangka pendek
Anak disleksia mengalami kesulitan memahami instruksi yang panjang dalam satu waktu yang pendek. Misalnya ibu menyuruh anak untuk “Simpan tas di kamarmu di lantai atas, ganti pakaian, cuci kaki dan tangan, lalu turun ke bawah lagi untuk makan siang bersama ibu, tapi jangan lupa bawa serta buku PR matematikanya ya”, maka kemungkinan besar anak disleksia tidak melakukan seluruh instruksi tersebut dengan sempurna karena tidak mampu mengingat seluruh perkataan ibunya.
5. Masalah pemahaman sintaks
Anak disleksia sering mengalami kebingungan dalam memahami tata bahasa, terutama jika dalam waktu yang bersamaan mereka menggunakan dua atau lebih bahasa yang mempunyai tata bahasa yang berbeda. Anak disleksia mengalami masalah dengan bahasa keduanya apabila pengaturan tata bahasanya berbeda daripada bahasa pertama. Misalnya dalam bahasa Indonesia dikenal susunan Diterangkan–Menerangkan (contoh: tas merah), namun dalam bahasa Inggris dikenal susunan Menerangkan-Diterangkan
YANG DAPAT DILAKUKAN UNTUK ANAK DISLEKSIA :
1.    Adanya komunikasi dan pemahaman yang sama mengenai anak disleksia antara orang tua dan guru
2.    Anak duduk di barisan paling depan di kelas
3.    Guru senantiasa mengawasi/ mendampingi saat anak diberikan tugas, misalnya guru meminta dibuka halaman 15, pastikan anak tidak tertukar dengan membuka halaman lain, misalnya halaman 51
4.    Guru dapat memberikan toleransi pada anak disleksia saat menyalin soal di papan tulis sehingga mereka mempunyai waktu lebih banyak untuk menyiapkan latihan (guru dapat memberikan soal dalam bentuk tertulis di kertas)
5.    Anak disleksia yang sudah menunjukkan usaha keras untuk berlatih dan belajar harus diberikan penghargaan yang sesuai dan proses belajarnya perlu diseling dengan waktu istirahat yang cukup
6.    Melatih anak menulis sambung sambil memperhatikan cara anak duduk dan memegang pensilnya. Tulisan sambung memudahkan murid membedakan antara huruf yang hampir sama misalnya ’b’ dengan ’d’. Murid harus diperlihatkan terlebih dahulu cara menulis huruf sambung karena kemahiran tersebut tidak dapat diperoleh begitu saja. Pembentukan huruf yang betul sangatlah penting dan murid harus dilatih menulis huruf huruf yang hampir sama berulang kali. Misalnya huruf-huruf dengan bentuk bulat: ”g, c, o, d, a, s, q”, bentuk zig zag:”k, v, x, z”, bentuk linear:”J, t, l, u, y, j”, bentuk hampir serupa:”r, n, m, h”
7.    Guru dan orang tua perlu melakukan pendekatan yang berbeda ketika belajar matematika dengan anak disleksia, kebanyakan mereka lebih senang menggunakan sistem belajar yang praktikal. Selain itu kita perlu menyadari bahwa anak disleksia mempunyai cara yang berbeda dalam menyelesaikan suatu soal matematika, oleh karena itu tidak bijaksana untuk ”memaksakan” cara penyelesaian yang klasik jika cara tersebut sukar diterima oleh sang anak.
8.    Aspek emosi. Anak disleksia dapat menjadi sangat sensitif, terutama jika mereka merasa bahwa mereka berbeda dibanding teman-temannya dan mendapat perlakukan yang berbeda dari gurunya. Lebih buruk lagi jika prestasi akademis mereka menjadi demikian buruk akibat ”perbedaan” yang dimilikinya tersebut. Kondisi ini akan membawa anak menjadi individu dengan ”self-esteem” yang rendah dan tidak percaya diri. Dan jika hal ini tidak segera diatasi akan terus bertambah parah dan menyulitkan proses terapi selanjutnya. Orang tua dan guru seyogyanya adalah orang-orang terdekat yang dapat membangkitkan semangatnya, memberikan motivasi dan mendukung setiap langkah usaha yang diperlihatkan anak disleksia. Jangan sekali sekali membandingkan anak disleksia dengan temannya, atau dengan saudaranya yang tidak disleksia.


b.    Kesulitan Menulis (Disgrafia)
Disgrafia berasal dari bahasa Yunani berarti kesulitan khusus yang membuat anak sulit untuk menulis atau mengekspresikan pikirannya ke dalam bentuk suatu tulisan dan menyusun huruf-huruf. Penyebab disgrafia disebabkan karena faktor neurologis,yaitu faktor gangguan pada otak kiri depan yang berhubungan dengan kemampuan menulisnya.
Kelainan neurologis ini menghambat kemampuan menulis yang meliputi hambatan secara fisik, seperti tidak dapat memegang pensil dengan mantap ataupun tulisan tangannya buruk. Anak dengan gangguan disgrafia sebetulnya mengalami kesulitan dalam mengharmonisasikan ingatan dengan penguasaan gerak ototnya secara otomatis saat menulis huruf dan angka.
Kesulitan dalam menulis biasanya menjadi problem utama dalam rangkaian gangguan belajar, terutama pada anak yang berada di tingkat SD. Kesulitan dalam menulis seringkali juga disalahpersepsikan sebagai kebodohan oleh orang tua dan guru. Akibatnya, anak yang bersangkutan frustrasi karena pada dasarnya ia ingin sekali mengekspresikan dan mentransfer pikiran dan pengetahuan yang sudah didapat ke dalam bentuk tulisan. Hanya saja ia memiliki hambatan.
Sebagai langkah awal dalam menghadapinya, orang tua harus paham bahwa disgrafia bukan disebabkan tingkat intelegensi yang rendah, kemalasan, asal-asalan menulis, dan tidak mau belajar. Gangguan ini juga bukan akibat kurangnya perhatian orang tua dan guru terhadap si anak, ataupun keterlambatan proses visual motoriknya
Sebuah penelitian di Amerika melaporkan, kasus kesulitan belajar yang terkait ketidakmampuan menulis (disgrafia) lebih banyak ditemui pada anak laki-laki. Berkebalikan dengan kesulitan membaca seperti disleksia yang telah banyak diteliti, penelitian tentang kesulitan menulis masih sangat minim, sehingga angka kasusnya juga tidak jelas. Pada penelitian terbaru yang melibatkan lebih dari 5700 anak, diketahui bahwa sekitar 7-15 persen dari jumlah tersebut mengalami gangguan baca-tulis semasa duduk di bangku sekolah. Persentase ini bervariasi, tergantung kriteria yang dipakai untuk mendiagnosis masalah ini. Anak laki-laki kecenderungannya 2-3 kali lebih berisiko terdiagnosis ketidakmampuan membaca dibanding anak wanita, apa pun jenis kriteria diagnosis yang dipakai.
Tanda dan gejala Disgrafia
Gejala disgrafia biasanya anak mengalami kesulitan dalam menulis bahkan tidak dapat menulis dengan baik padahal untuk anak seusia nya sudah mampu untuk menulis menulis dengan baik.Tanda ini juga dapat terlihat dengan cara anak untuk menulis,biasanya anak juga sangat sulit untuk memahami suatu pertanyaan karena lemahnya dalam pemahamannya. Tanda lain adalah biasanya si anak dalam menulis mereka mencampur antara huruf besar dengan huruf kecil dan posisi menulis mereka juga tidak konsisten.
Tanda dan gejala Disgrafia:
  • Terdapat ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam tulisannya;
  • Saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih tercampur;
  • Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional;
  • Anak tampak harus berusaha keras saat mengomunikasikan suatu ide, pengetahuan, atau pemahamannya lewat tulisan;
  • Sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap — caranya memegang alat tulis sering kali terlalu dekat, bahkan hampir menempel dengan kertas;
  • Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis, atau malah terlalu memerhatikan tangan yang dipakai untuk menulis;
  • Cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis yang tepat dan proporsional; dan
  • Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada.

c.       Kesulitan Berhitung (Diskalkulia)
Dalam hal ini, anak sulit dalam memahami simbol matematika dan dialog operasional hitung. Misalnya, tanda tambah (+), dilihat sebagai tanda kali (×). Atau ketika ditanya berapa hasil lima dengan lima, meskipun mereka menjawab dengan benar, yakni 25 tetapi dalam menuliskannya salah. Bukan angka 25 yang ditulis, tetapi 52; begitu seterusnya.
Berhitung melibatkan pengenalan angka-angka, pemahaman berbagai simbol matematis, mengingat berbagai fakta seperti tabel perkalian, dan pemahaman konsep-konsep abstrak seperti nilai tempat dan pecahan. Hal seperti ini mungkin terasa sulit bagi anak-anak penderita diskalkulia. Masalah dengan angka-angka atau konsep dasar sepertinya datang sejak awal.Sedangkan, masalah yang berhubungan dengan matematika yang baru terjadi pada kelas-kelas terakhir lebih sering berkaitan dengan logika.






Penyebab Kesulitan Belajar

Para ahli mempunyai pandangan yang berbeda mengenai faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kesulitan belajar (learning disabilities). Namun secara tegas dikemukakan oleh Roos (1976), Siegel dan Gold (1982), serta Painting (1983), bahwa kesulitan belajar kusus disebabkan oleh disfungsi sistem syaraf yang disebabkan oleh:
            (1) cedera otak pada masa perkembangan otak,
(2) ketidakseimbangan zat-zat kimiawi di dalam otak,
(3) gangguan perkembangan syaraf, dan
 (4) kelambatan proses perkembangan individu.

Ahli lain yaitu Hallahan dan Kauffman,  mengemukan 3 (tiga) factor penyebab kesulitan belajar yaitu : (1) organis / biologis, (2) genetik, dan (3) lingkungan.
1.  Faktor organis / biologis
Banyak ahli yang meyakini bahwa timbulnya kesulitan belajar khusus pada anak
disebabkan oleh adanya disfungsi dari sistem syaraf pusat. Bukti adanya gangguan dari sistem syaraf pusat terlihat dari studi yang dilakukan oleh E. Roy John, dan kawan-kawan (1989) dengan menganalisis hasil electroencephalogram (EEG) dan ditemukan adanya kelainan pada gelombang otak. Demikian pula penelitian dari Hynd dan Semrud-Clikeman (1989) yang menggunakan computerized tomographic scans (CT scans) ditemukan adanya gangguan syaraf pada anak yang mengalami kesulitan belajar khusus.
2. Faktor Genetis
Munculnya anak-anak berkesulitan belajar khusus, dapat disebabkan oleh factor genetis atau keturunan sebagaimana dikemukakan oleh Finucci dan Child, (1983) serta Owen, Adams, Forrest, Stoltz dan Fisher (1971). Sementara itu, dari hasil penelitian Olson, Wise, Conners, Rack dan Fulker (1989), ditemukan bahwa pada anak-anak yang kembar identik (kembar siam) banyak yang mengalami kesulitan membaca.
3. Faktor Lingkungan
Anak berkesulitan belajar yang disebabkan oleh faktor lingkungan sangat sulit untuk didokumentasikan. Meskipun demikian sering dijumpai adanya masalah dalam belajar yang disebabkan oleh faktor lingkungan seperti guru-guru yang tidak mempersiapkan program pengajarannya dengan baik atau kondisi keluarga yang tidak menunjang. Dengan demikian, lingkungan yang menyebabkan timbulnya kesulitan belajar pada anak, bukanlah bersifat primer (utama), tetapi lebih banyak bersifat sekunder.

Dari hasil penelitian para ahli diagnostik, ditemukan empat faktor yang dapat memperberat gangguan dalam belajar. Keempat faktor ini sering ditemukan pada anak yang mengalami kesulitan dalam belajar (Kirk/Gallagher,1989:197). Adapun keempat factor tersebut adalah sebagai berikut.
1.    Kondisi fisik, yang meliputi gangguan visual, gangguan pendengaran, gangguan keseimbangan dan orientasi ruang, body image yang rendah, hiperaktif, serta kurang gizi.
2.    Faktor lingkungan,Lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah yang kurang menguntungkan bagi anak, akan menghambat perkembangan sosial, psikologis dan pencapaian prestasi akademis. Pengalaman yang mengoncangkan jiwa, perasaan tertekan dalam keluarga, dan kesalahan dalam mengajar juga dapat menghambat kemajuan belajar, akan tetapi anak yang mengalami hambatan tersebut tidak disebut anak yang berkesulitan belajar, kecuali factor lingkungan yang tidak menguntungkan ini mengakibatkan adanya gangguan konsentrasi, memori dan proses berfikir.
3.    Faktor Motivasi dan Afeksi, Kedua faktor ini dapat memperberat anak yang mengalami berkesulitan belajar. Anak yang selalu gagal pada satu mata pelajaran atau beberapa mata pelajaran cenderung menjadi tidak percaya diri, mengabaikan tugas, dan rendah diri. Sikap ini akan mengurangi motivasi belajar dan muncul perasaan-perasaan negatif terhadap  hal-hal yang berhubungan dengan sekolah. Kegagalan ini dapat membentuk pribadi anak menjadi seorang pelajar yang pasif (tak berdaya).
4.    Kondisi Psikologis, Kondisi psikologis (yang berhubungan dengan perkembangan anak berkesulitan belajar) ini meliputi gangguan perhatian, persepsi visual, persepsi pendengaran, persepsi motorik, ketidakmampuan berfikir, dan lambat dalam kemampuan berbahasa.

Perbedaan antara faktor penyebab ( faktor primer) dan faktor yang memperberat (factor sekunder) merupakan hal yang mendasar dalam melakukan remidi. Dalam pelaksanaannya harus dianalisis secara cermat mana yang merupakan faktor primer dan mana yang merupakan faktor sekunder.

Yudisium mahasiwa UNPRI pada tgl 18 september 2016

Acara pelepasan wisudawan dan wisudawati psikologi S1 angkatan ke 5 Yudisium mahasiwa Unpri jurusan psikologi, kegiatan ini juga akan ...