PENGERTIAN
KESULITAN BELAJAR
(LEARNING DISABILITIES)
Kesulitan belajar merupakan
terjemahan dari Bahasa Inggris “learning disability” yang memiliki arti
ketidakmampuan belajar. Kata disability diterjemahkan ”kesulitan” untuk memberikan kesan
optimis bahwa anak sebenarnya masih mampu untuk belajar. Kesulitan belajar
merupakan beragam gangguan dalam menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan
berhitung karena faktor internal individu itu sendiri, yaitu disfungsi minimal
otak atau DMO.
The Nasional Joint Committee Learning
Disabilities (NJCLD), mendefinisikan kesulitan belajar sebagai sekelompok
kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan nyata; dalam kemahiran
dan penggunaan kemampuan, untuk mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis,
berhitung, berbahasa, sampai kepada kemampuan persepsi motorik.
Learning
Disabilities (LD) adalah gangguan neurologisyang menyebabkan
anak mengalami kesulitan didalam memperoleh keterampilan akademik dan
keterampilan sosial. LD bukan sekedar kesulitan didalam belajar namun merupakan
gangguan neurologis yang mempengaruhi kemampuan otak untuk menerima, memproses,
menyimpan dan merespon informasi. Mereka melihat, mendengar dan mengerti dengan
cara yang berbeda.
Anak berkesulitan belajar adalah anak
yang memiliki ganguan satu atau lebih dari proses dasar yang mencakup pemahaman
penggunaan bahasa lisan atau tulisan, gangguan tersebut mungkin menampakkan
diri dalam bentuk kemampuan yang tidak sempurna dalam mendengarkan, berpikir,
berbicara, membaca, menulis,mengeja atau menghitung. Batasan tersebut meliputi
kondisi-kondisi seperti gangguan perceptual, luka pada otak, diseleksia dan
afasia perkembangan. Batasan tersebut tidak mencakup anak-anak yang memiliki
problema belajar yang penyebab utamanya berasal dari adanya hambatan dalam
penglihatan, pendengaran, atau motorik, hambatan karena tuna grahita (MR),
gangguan emosional, kemiskinan lingkungan, budaya atau ekonomi
Dari berbagai pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa kesulitan belajar (Learning Disabilities)
adalah suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai
dengan hambatan-hambatan tertentu, dalam mencapai tujuan belajar. Kondisi ini
ditandai kesulitan dalam tugas-tugas akademik, baik disebabkan oleh
problem-problem neurologis, maupun sebab-sebab psikologis lain, sehingga
prestasi belajarnya tidak sesuai dengan potensi dan usaha yang dilakukan.
Kondisi kesulitan belajar
memiliki beberapa karakteristik utama, yaitu :
- Gangguan internal
Penyebab kesulitan
belajar berasal dari faktor internal, yaitu yang berasal dari dalam anak itu
sendiri.
- Kesenjangan antara potensi dan prestasi
Anak berkesulitan
belajar memiliki potensi kecerdasan/inteligensi normal, bahkan beberapa di
antaranya di atas rata-rata. Namun demikian, pada kenyataannya mereka memiliki
prestasi akademik yang rendah. Dengan demikian, mereka memiliki kesenjangan
yang nyata antara potensi dan prestasi yang ditampilkannya.
- Tidak adanya gangguan fisik dan/atau mental
Anak berkesulitan
belajar merupakan anak yang tidak memiliki gangguan fisik dan/atau mental.
Klasifikasi
Kesulitan Belajar
Secara
garis besar yang berhubungan dengan perkembangan (Developmental Learning
Disabilities) mencakup gangguan motorik dan persepsi kesulitan belajar bahasa
dan komunikasi, kesulitan dalam penyesuaian perilaku sosial.
a.
Kesulitan belajar yang
berhubungan dengan perkembangan (Developmental Learning
Disabilities) mencakup gangguan motorik dan persepsi kesulitan belajar
bahasa dan komunikasi, kesulitan dalam penyesuaian perilaku sosial. Kesulitan
tersebut sulit diketahui karena tidak ada pengukuran yang sistematis dan sering
tampak sebagai kesulitan yang disebabkan oleh tidak dikuasainya ketrampilan
prasyarat.
b.
Kesulitan belajar akademik (academic
learning disabilities).,
menunjuk pada adanya kegagalan-kegagalan pencapaian prestasi akademik yang
sesuai dengan kapasitas yang diharapkan. Kesulitan ini dapat diketahui ketika
anak gagal menampilkan salah satu/beberapa kemampuan akademik.
1. Kesulitan Belajar
Perkembangan
Kesulitan belajar
yang berhubungan dengan perkembangan mencakup gangguan motorik dan persepsi,
kesulitan belajar bahasa dan komunikasi, dan kesulitan belajar dalam
penyesuaian perilaku sosial.
a. Kesulitan Berbahasa (Disphasia)
Kesulitan dalam berbicara atau berbahasa ini, sering
menjadi indikasi awal bagi kesulitan belajar yang dialami anak.Tanda kesulitan
ini, lebih banyak dipengaruhi oleh ketidakseimbangan kognitif. Membedakan bunyi
wicara, pembentukan konsep, memahami dan transformasi semantik, mengklarifikasi
kata, kemampuan menilai, produksi bahasa, sampai pada proses pragmatik dan
memori.Berdasarkan definisi gangguan ini, maka kita dapat meringkas ciri-ciri
spesifiknya, sebagai berikut:
Keterlambatan
dalam hal pengucapan bunyi bahasa
Anak atau siswa yang mengalami gangguan ini biasanya
mengalami masalah dalam hal pengucapan sesuatu dengan tepat. Sebagai contoh,
pada umur 6 tahun Atik masih mengucapkan kata “lakus” yang seharusnya berbunyi
“rakus” dan “lesah” untuk “resah”. Keterlambatan perkembangan pengucapan,
sebenarnya sesuatu yang umum terjadi. 10% anak di bawah usia 8 tahun mengalami
kesulitan ini. Untungnya, kesulitan pengucapan dapat diatasi sepenuhnya dengan
mengikuti terapi bicara (wicara).
Keterlambatan
dalam hal mengekspresikan pikiran atau gagasannya melalui bahasa yang baik dan
benar
Sebagian anak yang menderita kesulitan berbahasa
(disphasia), biasanya juga mengalami kesulitan dalam mengekspresikan dirinya
saat bicara.Kesulitan semacam ini disebut juga keterlambatan kemampuan untuk
berbahasa dengan baik dan benar. Tetapi tentu saja gangguan perkembangan
berbahasa ini dapat timbul dalam wujud yang lain. Sebagai contoh, seorang anak
berumur 4 tahun yang hanya dapat mengucapkan dua frase saja, dan seorang anak
lain yang telah berusia 6 tahun tetapi tidak dapat menjawab pertanyaan yang
sederhana sekalipun, dapat pula digolongkan sebagai anak yang mengalami
kesulitan dalam hal berbahasa.
Keterlambatan
dalam hal pemahaman bahasa
Sebagian anak atau siswa, menemui kendala dalam mencerna
apa yang diucapkan orang lain (baik gurunya sendiri, teman atau orang tuanya).
Kendala ini terjadi ketika otak mereka berada pada frekuensi yang berbeda, dan
sistem penerimaannya sedang tidak berfungsi atau lemah.Sebagai contoh, seorang
anak yang tidak mampu merespon ketika namanya dipanggil, atau seorang siswa
ketika di kelas yang memberikan penggaris ketika Anda meminta pensil
padanya.Hakekatnya, pendengaran mereka normal tetapi tidak dapat memberikan
respon yang baik danbenar terhadap suara, kata-kata, atau kalimat yang didengar.
Mereka tampaknya tidak memperhatikan apa yang orang lain katakan pada mereka.
Hal ini terjadi, karena mengucapkan atau mengekspresikan sesuatu dan memahami
apa yang dikatakan orang lain memiliki keterkaitan yang sangat erat. Karenanya,
orang yang mengalami masalah dalam memahami bahasa juga mengalami masalah dalam
mengekspresikannya.
Terlepas
dari apapun, bahasa adalah produk mekanisme saraf dalam otak, terutama kulit
otak manusia.Bahasa memungkinkan manusia keluar dari tahap insting ke tahap
refleksi dan makna.Ia tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, bahasa
juga menjadi alat berpikir.
Selanjutnya,
pada tahun 1860 Paul Broca menemukan bahwa adanya kerusakan pada daerah
tertentu diotak (dikemudian dari lokasi ini disebut area broca) menimbulkan
kesulitan berbicara, yang disebutnya afasia ekspresif atau afasia motorik. Betul
si pembicara dapat berbicara, tetapi kata-katanya hampir tanpa makna. Kurang
dari lima belas tahun kemudian, pada 1874, Carl Wernicke seorang peneliti
bangsa Jerman, menemukan adanya kerusakan pada daerah tertentu di otak (di
kemudian hari lokasi itu di kenal sebagai daerah wernicke) yang dapat membuat
seseorang kesulitan untuk berbahasa. Jika daerah ini rusak, ucapan orang lain
masih dapat di dengar, demikian juga huruf-huruf masih dapat dibaca, tetapi
semua informasi itu tidak dapat dimengerti. Manusia ini juga dapat
berkata-kata, bahkan dengan artikulasi yang baik. Namun, kata-kata yang
diucapkan tidak bermakna sama sekali, kata-kata yang dipakainya pun sering
salah. Kerusakan pada daerah ini disebut afasia reseptif atau
afasia sensoris.
b. Gangguan Motorik
(dispraksia)
Gangguan motorik adalah
gangguan pada integrasi auditori-motor (clumsy) yang ditandai dengan gangguan
motorik kasar; aktivitas berjalan, balok keseimbangan, motorik kasar, loncat,
lari cepat, stand up dan lain sebagainya. Gangguan motorik halus; melempar,
menangkap, melipat, menempel.Serta gangguan penghayatan dan kesadaran tubuh,
laiknya ekspresi wajah, permainan pantomim, menunjuk bagian tubuh dan
lain-lain.
Cara kerja motorik manusia, menurut Richard Haier, guru
besar saraf dari Universitas California di Irvine, lebih banyak difungsikan
oleh daerah lymbic temporal (pada pria) dan cyngulata gyrus (pada
wanita).Sehingga, anak atau individu bisa mengalami gangguan dispraksia, bila
terjadi ketidakseimbangan diantara keduanya.Disamping pola kreativitas,
penyembuhan, pemecahan masalah, sampai kepada menikmati hubungan yang sempurna,
yang sepenuhnya ada pada kerja otak kanan.
c. Gangguan
Persepsi (dispersepsi)
Persepsi adalah pekerjaan otak. Bila sensasi (masuknya
impuls atau informasi melalui panca indra), terjadi pada ujung-ujung saraf,
maka persepsi terjadi pada pusatnya, di otak. Mungkin ini pekerjaan paling
berat dari otak, karena
persepsi membentuk pikiran dan cara berpikir. Komponen paling penting dari
berpikir adalah mempersepsi. Otak tidak saja mempersepsi informasi yang masuk
via panca indra (artinya, objek itu betul-betul ada), tetapi juga untuk objek
yang tidak ada, di sini dan pada saat ini. Otak, melalui sel kerja saraf,
sirkuit saraf dan neurontransmiter “menangkapnya” untuk dipahami (dipersepsi).
Ketika individu mendengar suara maka yang terlibat adalah
mulai dari saraf pendengaran (saraf VIII, saraf auditoris), area pendengaran di
kulit otak dua sisi kepala, daerah-daerah pemahaman bahasa, daerah asosiasi,
daerah motoris dan persarafan di permukaan tubuh. Inilah cara kerja otak
manusia sampai kepada persepsi yang dibakukan.
Dapat diasumsikan, jika mekanisme otak diatas ada salah
satu yang terlewati dari kerja otak individu, maka hampir dipastikan dia sedang
mengalami gangguan dalam mempersepsi, baik persepsi visual dan auditori.
e. Gangguan
Memori (dismemory)
Penderita kesulitan belajar juga mengalami kesulitan
dalam mengingat.Mereka memiliki kesulitan dalam mengolah informasi sehingga
dapat disimpam dalam memori jangka panjang. Sebagai contoh, siswa penderita
keterlambatan balajar akan “belajar” dengan menatap buku catatan atau membaca
daftar kata-kata sukar terus-menerus, di mana hal ini merupakan strategi
belajar yang kurang efektif. Akibatnya, kesulitan dalam mengingat juga akan
berpengaruh pada memori jangka panjang seseorang ketika ia harus menemukan
serta mengingat hal dalam waktu singkat.
f. Gangguan
Metakognis (dismetakognition)
Penderita kesulitan belajar, juga memiliki peluang untuk
menderita kelemahan dalam bidang metakognisi, yakni kesadaran tentang bagaimana
individu berpikir serta memantau apa yang dipikirkannya. Hasil riset menyatakan
bahwa penderita kesulitan belajar yang tidak mengetahui strategi kognitif
efektif agar sanggup menerima, mengolah, menyimpan, serta memperlihatkan bahwa
ia mengalami suatu informasi. Kelemahan dalam bidang ini pada akhirnya, akan
memengaruhi kemampuan mereka untuk menerapkan suatu strategi dalam tempat serta
waktu yang tepat. Demikian halnya dengan keahlian mereka dalam memilih serta
memantau penerapan strategi itu.
2.
Kesulitan Belajar Akademik
Kesulitan belajar
akademik menunjuk pada adanya kegagalan-kegagalan pencapaian prestasi akademik
yang sesuai dengan kapasitas yang diharapkan.
a.
Kesulitan Membaca (Disleksia)
Bryan
& Bryan (dalam Abdurrahman, 1999: 204), menyebut disleksia sebagai suatu
sindroma kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat,
mengintegrasikan komponen-komponen kata dan kalimat dan dalam belajar segala
sesuatau yang berkenaan dengan waktu, arah dan masa.Sedangkan, menurut Lerner
seperti di kutip oleh Mercer (1979: 200), mendefinisikan kesulitan belajar
membaca sangat bervariasi, tetapi semuanya menunjuk pada adanya gangguan fungsi
otak.
Myklebust & Johnson,
menyebutkan ciri anak disleksia:
Ø Mengalami kekurangan dalam
memori visual dan auditoris, baik memori jangka pendek (short time memory) dan
jangka panjang (long time memory);
Ø Memiliki masalah dalam
mengingat data, seperti mengingat hari-hari dalam seminggu;
Ø Memiliki masalah dalam
mengenal arah kiri dan kanan;
Ø Memiliki kekurangan dalam
memahami waktu;
Ø Jika diminta menggambar
sering tidak lengkap;
Ø Miskin dalam mengeja;
Ø Sulit dalam menginterpretasikan
globe, peta atau grafik;
Ø Kekurangan dalam
koordinasi dan keseimbangan;
Ø Kesulitan dalam belajar
berhitung; dan
Ø Kesulitan dalam belajar
bahasa asing.
Pada
kenyataannya, kesulitan membaca dialami oleh 2 - 8% anak sekolah dasar. Sebuah
kondisi, dimana ketika anak atau siswa tidak lancar atau ragu-ragu dalam
membaca; membaca tanpa irama (monoton), sulit mengeja, kekeliruan mengenal
kata; penghilangan, penyisipan, pembalikan, salah ucap, pengubahan tempat, dan
membaca tersentak-sentak, kesulitan memahami; tema paragraf atau cerita, banyak
keliru menjawab pertanyaan-yang terkait dengan bacaan; serta pola membaca yang
tidak wajar pada anak.
Secara
lebih khusus, anak disleksia biasanya mengalami masalah masalah berikut:
1.
Masalah fonologi
Yang
dimaksud masalah fonologi adalah hubungan sistematik antara huruf dan bunyi.
Misalnya mereka mengalami kesulitan membedakan ”paku” dengan ”palu”; atau
mereka keliru memahami kata kata yang mempunyai bunyi hampir sama, misalnya
”lima puluh” dengan ”lima belas”. Kesulitan ini tidak disebabkan masalah
pendengaran namun berkaitan dengan proses pengolahan input di dalam otak.
2.
Masalah mengingat perkataan
Kebanyakan
anak disleksia mempunyai level intelegensi normal atau di atas normal namun
mereka mempunyai kesulitan mengingat perkataan. Mereka mungkin sulit
menyebutkan nama teman-temannya dan memilih untuk memanggilnya dengan istilah
“temanku di sekolah” atau “temanku yang laki-laki itu”. Mereka mungkin dapat
menjelaskan suatu cerita namun tidak dapat mengingat jawaban untuk pertanyaan
yang sederhana.
3.
Masalah penyusunan yang sistematis / sekuensial
Anak
disleksia mengalami kesulitan menyusun sesuatu secara berurutan misalnya
susunan bulan dalam setahun, hari dalam seminggu atau susunan huruf dan angka.
Mereka sering ”lupa” susunan aktivitas yang sudah direncanakan sebelumnya,
misalnya lupa apakah setelah pulang sekolah langsung pulang ke rumah atau
langsung pergi ke tempat latihan sepak bola. Padahal orang tua sudah
mengingatkannya bahkan mungkin sudah pula ditulis dalam agenda kegiatannya.
Mereka juga mengalami kesulitan yang berhubungan dengan perkiraan terhadap
waktu. Misalnya mereka mengalami kesulitan memahami instruksi seperti ini:
”Waktu yang disediakan untuk ulangan adalah 45 menit. Sekarang jam 8 pagi. Maka
15 menit sebelum waktu berakhir, Ibu Guru akan mengetuk meja satu kali”. Kadang
kala mereka pun ”bingung” dengan perhitungan uang yang sederhana, misalnya
mereka tidak yakin apakah uangnya cukup untuk membeli sepotong kue atau tidak.
4.
Masalah ingatan jangka pendek
Anak
disleksia mengalami kesulitan memahami instruksi yang panjang dalam satu waktu
yang pendek. Misalnya ibu menyuruh anak untuk “Simpan tas di kamarmu di lantai
atas, ganti pakaian, cuci kaki dan tangan, lalu turun ke bawah lagi untuk makan
siang bersama ibu, tapi jangan lupa bawa serta buku PR matematikanya ya”, maka
kemungkinan besar anak disleksia tidak melakukan seluruh instruksi tersebut
dengan sempurna karena tidak mampu mengingat seluruh perkataan ibunya.
5.
Masalah pemahaman sintaks
Anak
disleksia sering mengalami kebingungan dalam memahami tata bahasa, terutama
jika dalam waktu yang bersamaan mereka menggunakan dua atau lebih bahasa yang
mempunyai tata bahasa yang berbeda. Anak disleksia mengalami masalah dengan
bahasa keduanya apabila pengaturan tata bahasanya berbeda daripada bahasa
pertama. Misalnya dalam bahasa Indonesia dikenal susunan
Diterangkan–Menerangkan (contoh: tas merah), namun dalam bahasa Inggris dikenal
susunan Menerangkan-Diterangkan
YANG DAPAT DILAKUKAN
UNTUK ANAK DISLEKSIA :
1. Adanya komunikasi dan pemahaman yang
sama mengenai anak disleksia antara orang tua dan guru
2. Anak duduk di barisan paling depan
di kelas
3. Guru senantiasa mengawasi/
mendampingi saat anak diberikan tugas, misalnya guru meminta dibuka halaman 15,
pastikan anak tidak tertukar dengan membuka halaman lain, misalnya halaman 51
4. Guru dapat memberikan toleransi pada
anak disleksia saat menyalin soal di papan tulis sehingga mereka mempunyai
waktu lebih banyak untuk menyiapkan latihan (guru dapat memberikan soal dalam
bentuk tertulis di kertas)
5. Anak disleksia yang sudah
menunjukkan usaha keras untuk berlatih dan belajar harus diberikan penghargaan
yang sesuai dan proses belajarnya perlu diseling dengan waktu istirahat yang
cukup
6. Melatih anak menulis sambung sambil
memperhatikan cara anak duduk dan memegang pensilnya. Tulisan sambung
memudahkan murid membedakan antara huruf yang hampir sama misalnya ’b’ dengan
’d’. Murid harus diperlihatkan terlebih dahulu cara menulis huruf sambung
karena kemahiran tersebut tidak dapat diperoleh begitu saja. Pembentukan huruf
yang betul sangatlah penting dan murid harus dilatih menulis huruf huruf yang
hampir sama berulang kali. Misalnya huruf-huruf dengan bentuk bulat: ”g,
c, o, d, a, s, q”, bentuk zig zag:”k, v, x, z”, bentuk
linear:”J, t, l, u, y, j”, bentuk hampir serupa:”r, n, m, h”
7. Guru dan orang tua perlu melakukan
pendekatan yang berbeda ketika belajar matematika dengan anak disleksia,
kebanyakan mereka lebih senang menggunakan sistem belajar yang praktikal.
Selain itu kita perlu menyadari bahwa anak disleksia mempunyai cara yang
berbeda dalam menyelesaikan suatu soal matematika, oleh karena itu tidak
bijaksana untuk ”memaksakan” cara penyelesaian yang klasik jika cara tersebut
sukar diterima oleh sang anak.
8. Aspek emosi. Anak disleksia dapat
menjadi sangat sensitif, terutama jika mereka merasa bahwa mereka berbeda
dibanding teman-temannya dan mendapat perlakukan yang berbeda dari gurunya.
Lebih buruk lagi jika prestasi akademis mereka menjadi demikian buruk akibat
”perbedaan” yang dimilikinya tersebut. Kondisi ini akan membawa anak menjadi
individu dengan ”self-esteem” yang rendah dan tidak percaya diri. Dan jika hal
ini tidak segera diatasi akan terus bertambah parah dan menyulitkan proses
terapi selanjutnya. Orang tua dan guru seyogyanya adalah orang-orang terdekat
yang dapat membangkitkan semangatnya, memberikan motivasi dan mendukung setiap
langkah usaha yang diperlihatkan anak disleksia. Jangan sekali sekali
membandingkan anak disleksia dengan temannya, atau dengan saudaranya yang tidak
disleksia.
b. Kesulitan Menulis (Disgrafia)
Disgrafia berasal dari bahasa Yunani berarti kesulitan
khusus yang membuat anak sulit untuk menulis atau mengekspresikan pikirannya ke
dalam bentuk suatu tulisan dan menyusun huruf-huruf. Penyebab disgrafia disebabkan
karena faktor neurologis,yaitu faktor gangguan pada otak kiri depan yang
berhubungan dengan kemampuan menulisnya.
Kelainan
neurologis ini menghambat kemampuan menulis yang meliputi hambatan secara
fisik, seperti tidak dapat memegang pensil dengan mantap ataupun tulisan
tangannya buruk. Anak dengan gangguan disgrafia sebetulnya mengalami kesulitan
dalam mengharmonisasikan ingatan dengan penguasaan gerak ototnya secara
otomatis saat menulis huruf dan angka.
Kesulitan
dalam menulis biasanya menjadi problem utama dalam rangkaian gangguan belajar,
terutama pada anak yang berada di tingkat SD. Kesulitan dalam menulis
seringkali juga disalahpersepsikan sebagai kebodohan oleh orang tua dan guru.
Akibatnya, anak yang bersangkutan frustrasi karena pada dasarnya ia ingin
sekali mengekspresikan dan mentransfer pikiran dan pengetahuan yang sudah
didapat ke dalam bentuk tulisan. Hanya saja ia memiliki hambatan.
Sebagai
langkah awal dalam menghadapinya, orang tua harus paham bahwa disgrafia bukan
disebabkan tingkat intelegensi yang rendah, kemalasan, asal-asalan menulis, dan
tidak mau belajar. Gangguan ini juga bukan akibat kurangnya perhatian orang tua
dan guru terhadap si anak, ataupun keterlambatan proses visual motoriknya
Sebuah
penelitian di Amerika melaporkan, kasus kesulitan belajar yang terkait
ketidakmampuan menulis (disgrafia) lebih banyak ditemui pada anak laki-laki.
Berkebalikan dengan kesulitan membaca seperti disleksia yang telah banyak
diteliti, penelitian tentang kesulitan menulis masih sangat minim, sehingga
angka kasusnya juga tidak jelas. Pada penelitian terbaru yang melibatkan lebih
dari 5700 anak, diketahui bahwa sekitar 7-15 persen dari jumlah tersebut
mengalami gangguan baca-tulis semasa duduk di bangku sekolah. Persentase ini
bervariasi, tergantung kriteria yang dipakai untuk mendiagnosis masalah ini.
Anak laki-laki kecenderungannya 2-3 kali lebih berisiko terdiagnosis
ketidakmampuan membaca dibanding anak wanita, apa pun jenis kriteria diagnosis
yang dipakai.
Tanda
dan gejala Disgrafia
Gejala
disgrafia biasanya anak mengalami kesulitan dalam menulis bahkan tidak dapat
menulis dengan baik padahal untuk anak seusia nya sudah mampu untuk menulis
menulis dengan baik.Tanda ini juga dapat terlihat dengan cara anak
untuk menulis,biasanya anak juga sangat sulit untuk memahami suatu pertanyaan
karena lemahnya dalam pemahamannya. Tanda lain adalah biasanya si anak dalam
menulis mereka mencampur antara huruf besar dengan huruf kecil dan posisi
menulis mereka juga tidak konsisten.
Tanda
dan gejala Disgrafia:
- Terdapat ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam tulisannya;
- Saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih tercampur;
- Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional;
- Anak tampak harus berusaha keras saat mengomunikasikan suatu ide, pengetahuan, atau pemahamannya lewat tulisan;
- Sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap — caranya memegang alat tulis sering kali terlalu dekat, bahkan hampir menempel dengan kertas;
- Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis, atau malah terlalu memerhatikan tangan yang dipakai untuk menulis;
- Cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis yang tepat dan proporsional; dan
- Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada.
c.
Kesulitan Berhitung (Diskalkulia)
Dalam
hal ini, anak sulit dalam memahami simbol matematika dan dialog operasional
hitung. Misalnya, tanda tambah (+), dilihat sebagai tanda kali (×). Atau ketika
ditanya berapa hasil lima dengan lima, meskipun
mereka menjawab dengan benar, yakni 25 tetapi dalam menuliskannya salah. Bukan
angka 25 yang ditulis, tetapi 52; begitu seterusnya.
Berhitung
melibatkan pengenalan angka-angka, pemahaman berbagai simbol matematis,
mengingat berbagai fakta seperti tabel perkalian, dan pemahaman konsep-konsep
abstrak seperti nilai tempat dan pecahan. Hal seperti ini mungkin terasa sulit
bagi anak-anak penderita diskalkulia. Masalah dengan angka-angka atau konsep
dasar sepertinya datang sejak awal.Sedangkan, masalah yang berhubungan dengan
matematika yang baru terjadi pada kelas-kelas terakhir lebih sering berkaitan
dengan logika.
Penyebab
Kesulitan Belajar
Para
ahli mempunyai pandangan yang berbeda mengenai faktor-faktor yang menyebabkan
timbulnya kesulitan belajar (learning disabilities). Namun secara tegas dikemukakan
oleh Roos (1976), Siegel dan Gold (1982), serta Painting (1983), bahwa kesulitan
belajar kusus disebabkan oleh disfungsi sistem syaraf yang disebabkan oleh:
(1) cedera otak pada masa perkembangan
otak,
(2)
ketidakseimbangan zat-zat kimiawi di dalam otak,
(3)
gangguan perkembangan syaraf, dan
(4) kelambatan proses perkembangan individu.
Ahli
lain yaitu Hallahan dan Kauffman, mengemukan 3 (tiga) factor penyebab kesulitan
belajar yaitu : (1) organis / biologis, (2) genetik, dan (3) lingkungan.
1. Faktor organis / biologis
Banyak
ahli yang meyakini bahwa timbulnya kesulitan belajar khusus pada anak
disebabkan oleh adanya disfungsi dari sistem
syaraf pusat. Bukti adanya gangguan dari sistem syaraf pusat terlihat dari
studi yang dilakukan oleh E. Roy John, dan kawan-kawan (1989) dengan
menganalisis hasil electroencephalogram (EEG) dan ditemukan adanya kelainan
pada gelombang otak. Demikian pula penelitian dari Hynd dan Semrud-Clikeman (1989)
yang menggunakan computerized tomographic scans (CT scans) ditemukan adanya gangguan
syaraf pada anak yang mengalami kesulitan belajar khusus.
2.
Faktor Genetis
Munculnya anak-anak berkesulitan belajar
khusus, dapat disebabkan oleh factor genetis atau keturunan sebagaimana
dikemukakan oleh Finucci dan Child, (1983) serta Owen, Adams, Forrest, Stoltz
dan Fisher (1971). Sementara itu, dari hasil penelitian Olson, Wise, Conners,
Rack dan Fulker (1989), ditemukan bahwa pada anak-anak yang kembar identik
(kembar siam) banyak yang mengalami kesulitan membaca.
3.
Faktor Lingkungan
Anak berkesulitan belajar yang disebabkan
oleh faktor lingkungan sangat sulit untuk didokumentasikan. Meskipun demikian
sering dijumpai adanya masalah dalam belajar yang disebabkan oleh faktor
lingkungan seperti guru-guru yang tidak mempersiapkan program pengajarannya
dengan baik atau kondisi keluarga yang tidak menunjang. Dengan demikian, lingkungan
yang menyebabkan timbulnya kesulitan belajar pada anak, bukanlah bersifat primer
(utama), tetapi lebih banyak bersifat sekunder.
Dari
hasil penelitian para ahli diagnostik, ditemukan empat faktor yang dapat memperberat
gangguan dalam belajar. Keempat faktor ini sering ditemukan pada anak yang mengalami
kesulitan dalam belajar (Kirk/Gallagher,1989:197). Adapun keempat factor tersebut
adalah sebagai berikut.
1. Kondisi fisik,
yang meliputi gangguan visual, gangguan pendengaran, gangguan keseimbangan dan
orientasi ruang, body image yang rendah, hiperaktif, serta kurang gizi.
2. Faktor lingkungan,Lingkungan
keluarga, masyarakat dan sekolah yang kurang menguntungkan bagi anak, akan
menghambat perkembangan sosial, psikologis dan pencapaian prestasi akademis. Pengalaman
yang mengoncangkan jiwa, perasaan tertekan dalam keluarga, dan kesalahan dalam
mengajar juga dapat menghambat kemajuan belajar, akan tetapi anak yang mengalami
hambatan tersebut tidak disebut anak yang berkesulitan belajar, kecuali factor lingkungan
yang tidak menguntungkan ini mengakibatkan adanya gangguan konsentrasi, memori
dan proses berfikir.
3. Faktor Motivasi dan Afeksi,
Kedua faktor ini dapat memperberat anak yang mengalami berkesulitan belajar.
Anak yang selalu gagal pada satu mata pelajaran atau beberapa mata pelajaran
cenderung menjadi tidak percaya diri, mengabaikan tugas, dan rendah diri. Sikap
ini akan mengurangi motivasi belajar dan muncul perasaan-perasaan negatif
terhadap hal-hal yang berhubungan dengan
sekolah. Kegagalan ini dapat membentuk pribadi anak menjadi seorang pelajar
yang pasif (tak berdaya).
4. Kondisi Psikologis,
Kondisi psikologis (yang berhubungan dengan perkembangan anak berkesulitan belajar)
ini meliputi gangguan perhatian, persepsi visual, persepsi pendengaran,
persepsi motorik, ketidakmampuan berfikir, dan lambat dalam kemampuan
berbahasa.
Perbedaan
antara faktor penyebab ( faktor primer) dan faktor yang memperberat (factor sekunder)
merupakan hal yang mendasar dalam melakukan remidi. Dalam pelaksanaannya harus
dianalisis secara cermat mana yang merupakan faktor primer dan mana yang merupakan
faktor sekunder.