Wednesday 25 June 2014

Teknik Penyusunan Skripsi (Kualitatip)



BAB I
PENDAHULUAN

 A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, baik pendidikan formal maupun non-formal, seperti yang terdapat  dalam UUD 1945 No. 20 tahun 2003 dikatakan bahwa,  Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana  untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan Formal merupakan pendidikan yang dirancang oleh pemerintah sebagai salah satu pendidikan yang dilaksanakan di sekolah-sekolah umum seperti SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi Swasta maupun Negeri, sedangkan Pendidikan Informal merupakan suatu bentuk pendidikan  yang dilaksanakan di luar sekolah, tetapi dirancang sedemikian rupa, sehingga memberikan manfaat yang tidak kalah dengan pendidikan formal, misalnya kursus-kursus keterampilan, Agama dan lain sebagainya.     Salah satu mata pelajaran dalam pendidikan formal adalah pendidikan agama Buddha, di sekolah dengan tujuan agar siswa dapat mempelajari, mengerti serta melaksanakan ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pengajarannya masih sebatas sebagaimana mata pelajaran lainnya yang diajarkan, yang tidak memerlukan penghayatan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari dalam membentuk kepribadian anak. Pada dasarnya, untuk mengetahui tingkat pengalaman ajaran agama pada anak didik perlu penelitian yang mendalam, namun dari perilaku yang diperlihatkan siswa di sekolah sehari-hari, menujukkan bahwa pemahaman dan pengalaman ajaran agama masih kurang.
Berdasarkan apa yang terlihat dari hasil belajar di sekolah timbulah suatu tantangan bagi guru maupun orangtua untuk lebih memperhatikan apa yang dibutuhkan oleh anak didik, Sehingga muncullah berbagai upaya untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman dan pengamalan ajaran Agama. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan diadakannya pendidikan non formal, seperti sekolah minggu yang diadakan di vihara luar jam sekolah, seperti pada hari minggu ataupun hari lain. Vihara Buddha Ramsi yang terletak jl. Kebun sayur No. 13, didirikan pada Tahun   oleh    banyak kegitan yang diadakan oleh Vihara Antara lain: Puja bakti, pembacaan avamanggala, Sekolah Minggu Buddha, Arisan Guru, Mitra Buddha, Baksos, Klinik Pengobatan gratis bagi orang kurang mampu, Muda-Mudi Vihara Buddha Ramsi, Panitia Sebulan Pembabaran Dhamma (SPD),  pelatihan samanera oleh Bhikkhu.
Dengan adanya Sekolah Minggu Buddha (SMB) tentunya sangat bermanfaat bagi siswa, maupun orang tua serta masyarakat di lingkungan sekitarnya. Dengan mengikuti kegiatan yang diselengarakan oleh Sekolah Minggu Buddha, siswa dapat memperoleh berbagai macam pengetahuan, selain pengetahuan tentang Agama yang nantinya akan membantu diri kita dalam menjalankan berbagai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Siswa-siswa yang belajar di Sekolah Minggu terdiri dari siswa tingkat Tk, SD, SMP, SMA, semua siswa diajarkan oleh guru-guru yang profesional dalam bidangnya. Kegitaan Sekolah Minggu Buddha diadakan pada hari minggu dari jam   sampai  , pelajaran yang diberikan adalah....., anak-anak belajar sesuai dengan usia dan tingkatan belajar, walau demikian pada  umunya siswa yang belajar selain mendapat pelajaran Agama tentu saja juga mempelajari tentang ketrampilan, kesenian. Pembacaan paritta dan Dhammapada.
             B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah dalam penelitian di atas, semua pihak telah berusaha untuk meningkatkan  minat dan hasil belajar siswa dengan berbagai perubahan dan penyempurnaan kurikulum seperti yang dilakukan oleh pemerintah, namun nampaknya permasalahan tetap ada. Dalam hal ini variabel yang berpengaruh terhadap hal tersebut adalah variabel guru dan psikologi siswa. Dari semua masalah yang muncul maka dapat diidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut : (1) Apakah  sikap dan tingkah laku siswa yang buruk, disebabkan oleh tidak sinergisnya antara kebijakan dengan implementasi dalam proses pembelajaran? (2) Apakah metode Pembelajaran Agama Buddha yang digunakan tidak sesuai dengan karakteristik siswa? (3) Faktor apa saja yang mempengaruhi sikap dan tingka-laku siswa? (4) Seberapa besar pengaruh penddikan Agama Buddha terhadap perkembangan psikologi siswa (SMB)
             C. Batasan Masalah
           Berdasarkan identifikasi masalah adanya ke terbatasan dalam hal kemampuan waktu, literatur masalah yang dikemukakan di atas, serta untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih terarah dalam penelitian ini, maka penulis membatasi pada butir ke 4 yaitu : Pengaruh Penddikan Agama Buddha Terhadap Perkembangan Psikologi Siswa Sekolah Minggu Buddha. Dengan adanya Penddikan Agama Buddha diharapkan Psikologi Siswa Sekolah Minggu dapat berkembang kearah yang lebih baik.
            D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah yang dikemukakan di atas, masalah  maka dapat dirumuskan sebagai berikut : Bagaimana Pengaruh Penddikan Sekolah Minggu Buddha Terhadap Perkembangan Psikologi Siswa Sekolah Minggu Buddha Vihara Buddha Ramsi.
             E. Tujuan Penelitian
Untuk memberikan arah dalam penelitian ini, sehingga sesuai dengan maksud dan kehendak penulis, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : Pengaruh Pendidikan Agama Buddha Terhadap Perkembangan Psikologi Siswa Sekolah Minggu Buddha Vihara Buddha Ramsi?


             F. Manfaat Penelitian
Hasil penilitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, antara lain:
1.               Kegunaan Teoritis :
a.                Sebagai bahan acuan untuk pengembangan mata kuliah yang berkenaan dengan meningkatakan : Pengaruh Penddikan Sekolah Minggu Buddha Terhadap Perkembangan Psikologi Siswa Sekolah Minggu Buddha Vihara Buddha Ramsi.
b.               Sebagai bahan masukan untuk situasi dan kajian tentang meningkatkan : Pengaruh Penddikan Sekolah Minggu Buddha Terhadap Perkembangan Psikologi Siswa Sekolah Minggu Buddha Vihara Buddha Ramsi.
c.                Menambah Pengaruh Pendidian Agama Buddha Terhadap Perkembangan Psikologi Siswa Sekolah Minggu Buddha Vihara Buddha Ramsi.

2.               kegunaan  Praktis :
a.                Memberi informasi kepada yang berkempentingan dan bertanggung jawab terhadap pendidikan seperti guru Agama Buddha dan penyelenggara pendidikan.
d.               Memberi sumbangsi dan masukan bagi dunia pendidikan terkait masalah : Pengaruh Penddikan Sekolah Minggu Buddha Terhadap Perkembangan Psikologi Siswa Sekolah Minggu Buddha Vihara Buddha Ramsi.


BAB II
LANDASAN TEORI
A.Kerangka Teoritis
       1. Pengertian pendidikan
Pengetahuan Sebagai Perubahan Prilaku Sebuah diskusi tentang sifat dasar pengetahuan sebagai sumber perubahan prilaku dan bagimana perbedaan pengetahuan tersebut dengan sumber-sumber perubahan prilaku yang lain,insting,proses pendewasaan, pembiasaan diri, atau kelelahan fisik (yang disebabkan kejenuhan terhadap sebuah kebiasaan). Mengambarkan aneka bentuk teori-teori pengetahuan secara umum, nilai sebuah pengetahuan dapat dibedakan dari penekanannya terhadap terciptanya perubahan dalam prilaku-prilaku khusus yang dapat diteliti (prilaku terukur), dan sulit yang dianggap mampu mengarahkan seseorang pada prilaku-prilaku baru. Dalam beberapa bagian dari ini, menganalisa tiga buah teori pengetahuan yang berorentasi pada prilaku teori pengkondisian kelas, teori pengkondisian operan, dan teori pengetahuan social. Sementara itu, menciptakan kemudahan, teori-teori pengetahuan yang berorentasi pada pemikiran tentang proses itu. Kelvin Seifert (2012)
              2.Apakah pengetahuan dan bukan pengetahuan itu
Sekolah ditunjukan menjadi tempat diperolehnya ”pengetahuan,” maka para guru agaknya harus mengetahui pada yang dimaksud dengan istilah tersebut. Sebagai besar istilah-istlah dasar lain dalam psikologi, gagasan tersebut sepertinya jauh lebih mudah dijalankan daripada dijelaskan. Seorang anak belajar berprilaku, sepasang orang tua belajar memahami proses pendidikan anaknya, atau seorang pekerja belajar mengoperasikan sebuag mesin baru. Logika umum memang mengatkan pengetahuan memang datang dalam berbagai bentuk, dan bentuk-bentuk tersebut biasa berbeda, bahkan dalam bentuk yang amat sangat berbeda, mereka layak mendapatkan nama-nama dan penjelasan-penjelasan yang terpisa. Menjawab pertanyakan tersebut akan menggiring pada pertanyakan-pertanyakan filosofi dan psikologi yang berada jauh dari ruang lingkup ini. Sebagian besar definisi dari pengetahuan terhujud dalam sebuah penjelasan, pengetahuan terdiri dari hampir semua bentuk perubahan permanen dalam prilaku yang disebabkan oleh beberapa pengalaman khusus atau dari proses pengulangan sebuah pengalaman.
Definisi ini mengeculikan perubahan yang disebabkan oleh insting, pendewasaan, pembiasaan, atau kelelahan fisik. Insting prilaku alami atau bawaan lahir yang tidak terpengaruh pengetahuan atau pengalaman. Insting hal umum yang dimiliki semua spesies makhluk hidup, prilaku burung, misalnya, dalam membangun sarang atau menyuapi anak-anaknya. Karena insting tidak dihasilkan dari pengamanam khusus apapun, maka mereka tidak termasuk dalam kualifikasi pengetahuan. Bagi sebagian besar spesies, terutama sekali bagi manusia, ada sedikit ekspresi yang murni insting itu pun kalau ada.Yang lebih sering terjadi, ekspresi-skspresi tersebut secara umum dimodifikasi prilaku-prilaku yang dipelajari. Sebagai contohnya, para siswa biasa saja bercumbu dengan kekasihnya (insting seksual), mereka mengetahui melakukan hal tersebut secara sah. Perubahan prilaku yang coba bahas di sisni bukanlah yang berasal dari unsure yang instingtif, melainkan dari elemen pengetahuan yang dipelajari. Para siswa juga bisa saja merubah prilaku mereka dengan sebab kelelahan fisik, perubahan tersebut juga tidak termasuk dalam kualifikasi pengetahuan. Sebagai contoh, ketika pertama kali para siswa mendengar penjelasan guru, mereka bias saja jadi menunjukkan perhatian dan rasa ingin tahu yang besar terhadap prilaku dan gaya mengajar guru yang bersangkutan. Jika nasib sial, para siswa pada akhirnya biasa saja berhenti mendengar. Para siswa tidak merubah prilaku tersebut karena pengetahuan. Apapun penyebabnya, bagi para guru, Pendewasaan sebuah sumber perubahan prilaku yang seringkali disalah artikan dengan pengetahuan. Pendewasaan di sini dirujukan sebagai salah satu proses perkembangan manusia. Biasanya hal tersebut merujukan pada perubahan prilaku jangka panjang yang disebabkan, baik oleh pertumbuhan fisik sang anak, atau oleh sebuah kumpulan aneka pengalaman khusus tentang lingkungan yang terjadi pada anak-anak tersebut. Apapun penyebab, perubahan sedemikian berada di luar kendali siapapun juga, termasuk guru sang anak. Selama ini, para ahli psikologi perkembangan hanya berkonsentrasi pada perubahan umum yang terjadi pada anak-anak, mengabikan alasan-alasan perbedaan individu. (Kelvin Seifert, 2012)
3.Bentuk-bentuk teori Pengetahuan
Teori-Teori pengetahuan dapat dibagi ke dalam dua kelompok umum,” behaviorist ” dan ”cognitive” (selanjutnya, behaviorist akan disebut dengan teori prilaku dan cognitive dengan teori kognitif). Teori-teori prilaku berkitan dengan stimulus yang secara langsung mendahului prilaku yang dipelajari dan juga seringkali berhubungan dengan konsekuensi dari prilaku, biasa disebut dengan penguatan motivasi. Teori-teori kognitif  berkaitan cenderung tak tampak daya ingat, perhatian, pemahaman mendalam, organisasi gagasan-gagasan, dan proses informasi.
Pavlov, skinner, Bandura (dalam Kelvin Seifert, 2012) . Teori Prilaku (Behavioral) stimulus, respon, operant, penguatan motivasi, pengkondisian Bruner, Piaget, Ausubel. Teori Kognitif
(Cognitive) Daya ingat, perhatian, pemahaman mendalam, Organisasi gagasan, proses informasi. (dalam Sarwono, 2010) Ekperiment, Ivan Pavlov (1849-1936), berhasil membuktikan anjing dapat dilatih untuk mengelurkan liur hanya dengan bunyik bel (disebut refleksi berkondisi). Manusia pun dapat dilatih untuk bereaksi secara tertentu terhadap stimulus tertentu saja.menurut Pavlov, Psikologi adalah ilmu tentang refleksi saja.
Perkembangan terori selanjutnya, Freud mengemukakan pula teori tentang id, ego, dan superego yang masing-masing berarti dorongan-dorongan naluri (id) ,aku (ego), dan hati nurani (superego). Psikologi humanistic. Psikologi Humanistik paham yang mengutamakan manusia sebagai makhluk keseluruhan. Mereka tidak setuju dengan pendekatan-pendekatan lain yang memandang manusia hanya dari satu aspek saja, apakah itu hanya dari persepsinya (gestalt), refleksnya (Behaviorisme), kesadaran (kognitif), maupun alam ketidaksadaran saja (psikoanalisis). Manusia harus dilihat sebagai totalitas yang unik, yang mengandung semua aspek dalam dirinya dan selulu berproses untuk menjadi dirinya sendiri (aktulitas diri).
 4. Manusia Sebagai Makhluk Yang Bereksistensi.
Sarwono, (2010) Sudah merupakan pendapat para filsuf sejak sebelum sokrates, sampai zaman sarjana-sarjana modern saat ini, manusia, selain merupakan makhluk biologis yang sama dengan mahkluk hidup lainya, juga mahkluk yang mempunyai sifat-siat tersendiri yang khas. Mempelajari manusia  harus mempunyai sudut pandang yang khusus pula. Pandangan psikologi modern tidak dapat menjadikan manusia hanya sebagai objeck seperti pandangan kaum meterialis, juga tidak dapat mempelajari manusia hanya dari kesadaran saja seperti pandangan kaum idealis. Manusia objeck yang sekaligus juga subjek. Banyak sudah sarjana yang mencoba untuk member definisi yang tepat tentang menusia. E.Cassire menyatakan  “manusia objeck simbolis”, dan plato merumuskan “ manuisa harus dipelajari bukan dalam kehidupan pribadinya, kehudupan social dan kehidupan politiknya”, sedangkan menurut paham filsafat eksistensialisme” Manusia adalah eksistensi. Manusia tidak hanya ada atau berada di dunia ini, secara katif ”Mengada”. Manusia tidak semata-mata tunduk pada kordratnya dan secara pasif menerima keadaanya, selalu secara sadar dan aktif menjadi dirinya sesuatu.
B.Aspek-aspek Pendidikan
1.Pengkondisian kelas
Sarwono (2010) Pengkondisian kelasa merujuk pada pengetahuan sebuah prilaku yang semula mengikuti sebuah pristiwa diminta untuk mengikuti pristiwa lain yang berbeda. Para ahli psikologi seringkali merujuk masing-masing ”peristiwa” dalam defenisi ini dengan stimulus, dan merujuk prilaku yang menyertainya dengan istilah respon, mengunakan istilah ini, pengkondisian kelasa merujuk pada pengetahuan  untuk mengikuti stimulus lain yang berbeda. Bentuk pengetahuan seperti itu pertama kali dikembangkan oleh ilmuwan rusia, Ivan Pavlov. Eksperiment yang ia lakukan dengan hubungan reflex stimulus dan respon yang muncul bersaman semata-mata oleh sifat bagiman (hewan atau manusia) dibentuk secara fisik. Mata yang berkedip merupakan respon reflex terhadap stimulus hembusan udara, dan gerakan kaki bagikan bawah merupakan respon reflex dari ketukan di lutut. Melalui pengkondisian kelas, Pavlov diminta menunjukkan bagimana stimulus no-refleks lainya.

              5.Proses Pengkondisian kelas
Sarwono (2010) Pertimbangan contohnya berikut, ketika melihat makanan, seekor anjing yang lapar biasa dipastikan akan mengelurkan air liur. Jika makanan tersebut secara berulang-ulang dihadirkan bersama dengan sebuah pristiwa netral, pristiwa yang tidak memiliki hubungan apapun dengan pengeluaran air liur, maka pada akhirnya pristiwa netral tersebut akan menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur. Dalam salah satu eksperiment awal ini, Pavlov menggunakan sebuah lonceng sebagai pristiwa netral. Setelah berulang-ulang menandakan bunyi lonceng dengan makanan, berhasil membuat anjing lapar mengeluarkan air liur tersebut melihat makanan.
              6.Implikasi Pengkondisian kelasa dalam Pendidikan
Sarwono (2010) Pengkondisian kelas akan membantu menjelaskan banyak pengetahuan sebuah stimulus diubakan sebagai pengganti bagi stimulus lainnya. Sebuah contoh pentingnya tentang proses in adalah pengetahuan tentang daya tarik dan ketakutan emosinal. Bayangkan seorang guru yang menimbulkan ketakuatan dengan cara terlalu sering berteriak pada siswanya, atau seorang polisi yang melakukan hal yang sama dengan suara sirine mereka, atau seorang perawat yang melakukan hal yang sama juga sama dengan cara terus-menerus memberikan suntikan yang tidak dinginkan pasiennya. Semua prilaku ini menciptakan ketakutan dan ketegangan terhadap orang-orang yang berada dalam perhatian mereka. Situasinya kemudian siap untuk mengkondisikan ketakutan-ketakutan tersebut pada stimulus netral yang berlawanan.
C.Faktor-faktor Pendidikan
1.Pandangan Nativisme
Syaiful Sagala, (2012) Nativisme (Nativisme) ”Nativus” atau pembawaan adalah sebuah doktrin filosofis yang berpengaruh besar terhadap aliran pemikiran psikologis. Pandangan nativisme ini berpendapat  perkembangan Individu itu semata-mata ditentukan oleh factor-faktor yang dibawa semejak lahir. Salah satu tokoh yang menganut teori nativisme ini adalah Arthur Schopenhouer (1788-1880), seorang filsuf bangsa Jerman. Beliau berpendapat bayi itu lahir telah memiliki sifat-sifat dasar tertentu yang disebut sifat  pembawaan yang baik dan pembawaan buruk. Setiap anak memiliki sifat bawaanya sendiri, sifat-sifat itu tidak bisa diubah dengan pengalaman lingkungan atau pendidikan, hasil kahir pendidikan ditentukan pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir.
 2.Pandangan Naturalisme
Nature alam atau kodrat, pandangan naturelisme ini dipelopori seorang filsuf Prancis J.J Rouseau (1712-1778). Pandangannya lebih ditekankan pada sifat hakekat anak, mempengaruhi konsepnya mengenai pembinaan terhadap perkembangannya atau perkembangannya Rouseau berpendapat senua anak yang baru dilahirkan mempunyai pembawaan baik dan tidak ada seorang pun yang lahir dengan pembawaan buruk. Pembawakan baik itu, akan menjadi rusak dipengaruhi lingkungan atau pengaruh kebudayaan manusia itu sendiri. Rouseau berpendapat pendidikan yang diberikan orang dewasa malahan dapat merusak pembawaan anak yang baik itu
 3.Pandangan Empirisme
Empiria atau pengalaman, tokoh perintis pandangan empirisme seorang filsuf Inggris John Locke (1632-1704). Faham empirisme ini bertentangan dengan faham nativisme dan berpendapat, anak itu sejak lahir belum memiliki sifat-sifat pembawaan apapun. Joh Locke mengembangakan suatu teori yang terkenal dengan teori ”Tabu Rasa”, beliau berpendapat anak lahir di dunia bagikan kertas putih yang bersih. Maka diatas kertas putih itu orang dapat membuat coretan menurut kehendaknya. Lingkungan (environment), anak memperoleh pengalaman-pengalaman emperik, dan pengalaman emperik yang dipeoleh dari lingkungan inilah yang berpengaruh besar dalam menetukan perkembangan anak.
              1. Sifat Dasar Teori-Teori Pengetahuan Kognitif
kelvin Seifert, (2012) teori pengetahuan sosial telah mengalihkan penekanan dan perhatian terbesarnya dari prilaku kepada poses berpikir. Ketika penekanan ini dibahas lebih jauh maka akan muncul sebuah teori pengetahuan kognitif. Teori-teori tersebut saling berbagi beberapa hal penting, perbandingan memiliki perbedaan menonjol. Teori-teori mempelajari bagimana cara manusia mendapatkan informasi dan pengetahuan, bagimana mereka mengingatnya, serta bagimana mereka menghubungkan antara satu gagasan atau konsep dengan gagasan atau konsep yang lain. Prestasi yang diraih oleh wawasan (pemahaman yang didapat dengan teori-teori ini. Demikian pula dengan aktivitas-aktivitas yang menjadi penyebab prestasi-prsetasi tersebut. Dalam pemahaman sedemikian, teori perkembangan milik Piaget tersebut juah lebih samar dibandingkan yang diperkirakan sebagai besar para guru. Dalam semua teori pengetahuan kognitif, hasil akhir atau prestasi pengetahuan secara realtif tidak begitu penting dibandingkan dengan yang terjadi dalam teori-teori prilaku
2.Pembelajaran Berdasarkan Jadwal
Carole wade, (2007) ketika sebuah respon baru pertama kali muncul, Pembelajaran biasanya akan berlangsung dengan paling cepat bila setiap respon yang diharapkan diperkuat setiap kali muncul, prosedur ini disebut sebagai continuous reinforcemet. Demikian, ketika sebuah respon telah muncul secara reliable, respon ini akan lebih tahan terhadap extinction bila reinforcement diberikan dengan mengunakan partial reinforcement, reinforcement diberikan pada beberapa respon saja, dan tidak pada keseluruhan respon yang dihasilkan. Skinner (1956) menemukan fakta ini ketika dia mulai kehabisan butir makanan untuk tikus-tikusnya dan terpaksa untuk menurunkan frekuensi pemberian reinforcement.
1.               faktor kongnitif dan Metakognitif
Ada empat prinsip, yakni sifat proses pembelajaran, tujuan prosese pembelajaran , kontstruksi pengetahuan, pemikiran strategis, metakognitif, dan konteks pembejaran.
a.                Sifat efektif jika dilakukan dengan melalui proses pengkonstruksian makna dari informasi dan pengalaman. Peljaran yang sukses adalah pelajar yang aktif, punya tujuan, dan mampu megatur diri sendiri. Mereka mau bertanggung jawab terhadap  pembelajaran mereka sendiri.
b.               Tujuan proses pembelajaran. Pelajar yang sukses, dengan bantuan dan pedoman instruksional, dapat menciptakan representasi pengetahuan yang bermakna dan koheren. Murud perlu menciptakan dan mnegajar tujuan yang relevan secara personal yang bisa menyekseskan si pelajar. Pada mulanya, murud mungkin membuat tujuan pembelajaran jangka pendek, dan mungkin cukup mempelajari dasar-dasar saja. Tetapi sering dengan berjalan waktu pemahaman mereka dapat ditingkatkan dengan menambah pengetahuan, memecahkan problem, memperdalam pemahaman terhadap  suatu peljaran sehingga mereka dapat mencapai tujuan jangka panjang. Adalah penting bagi guru untuk membantu murid belajar cara menentukan tujuan jangka panjang dan pendek yang bermakna.
c.                Konstruksi pengetahuan. Pelajaran yang sukses bisa menghubungakan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya dengan cara yang mrngandung makna tertentu yang sudah dimilikinya dengan cara yang mengandung nakna tertentu. Pengetahuan akan bertambah luas dan makin mendalam jika murid terus membangun hubungan antara informasi baru dengan pengalaman dalam pengetahuan mereka yang sudah ada. Penddikan bisa membantu pelajar memperoleh dan mengintegrasikan pengetahuan dengan membimbing murid untuk mengembangkan sejumlah strategi, seperti pemetaan konsep. Organisasi termatik, dan kategorisasi, yang kami jelaskan di Bab 9.
d.               Pemikiran strategis. Pelajar yang sukses dapat menciptakan dan menggunakan berbagai strategi pemikiran dan penalaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Mereka terus-menerus mengembangkan keterampilan strategis mereka dengan mendalami ulang strategi yang sukses, dengan menerima petunjuk dan tanggapan (feedback), dan dengan mengobeservasi atau berinteraksi dengan model yang tepat. Hasil pembelajaran murid akan bertambah baik apabila guru membantu murid menigkatkan dan mengembangkan strategi mereka. Kita telah mengeksplorasi strategi-strategi di Bab 8, dan tentang observasi model yang kompeten di Bab 7.

A.Pengertian Perkembangan Psikologi
Corole Wade, (2007), Psikologi perkembangan mempelajari perkembangan fisiologi dan kognitif yang terjadi sepanjang rentang hidup manusia dan mempelajari pengaruh predisposisi genetic, kebudayaan, keadaan dan pengalaman hidup terhadap perkembangan manusia. Beberapa psikologi perkembagan mempelajari perkembangan metal dan social pada anak, termasuk sosialisasi (socialization), yakni suatu proses ketika anak mempelajari peraturan dan prilaku yang diharapkan oleh lingkungan. Beberapa psikolog perkembagan lain secara khusus mempelajari remaja, dewasa, dan orang tua lanjut usia. Dalam psikologi perkembangan, mulai dari periode awal kehidupan manusia (masa prakelahiran) hingga usia lajut.
Prawira, (2013) Ilmu psikologi kepribadian dikenal sebagai salah satu cabang ilmu psikologi umum yang amat pesat perkembangannya. Mengapa bisa demikian?. Psikologi kepribadian dewasa ini telah banyak memberikan sumbangsihnya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Untuk mengetahui sejauhmana perkembangan psikologi kepribadian semenjak dilahirkannya hingga dewasa ini dan perannyata ilmu tersebut dalam menyejahterakan kehidupan manusia. Empedocles (450 SM) dikenal sebagai filsuf  Yunani kuno. Ia berpendapat bahwa segalah sesuatu yang ada di dunia ini terdiri atas empat unsure , yaitu tanah, air, api, dan udara. Setiap manusia tentu mengandung empat unsure tersebut, tetapi dengan kadar yang berbeda-beda antara manusia yang satu dengan manusia yang lainya. Empedocles berpendapat adanya perbedaan kandungan dari empat macam unsure tersebut menyebabkan manusia mempunyai ciri-ciri khusus yang membendakannya dengan manusia yang lain. Misalnya dalam tubuh seseorang terlalu banyak mengandung unsure tanah, orang tersebut akan mempunyai ciri-ciri atau sifat dingin, acuh tak acuh, tidak mudah terpengaruh oleh orang lain atau lingkungannya. Jika seseorang mempunyai kandungan unsure api yang sangat banyak, ia akam mempunyai sifat-sifat sangat lincah, mudah bergerak, rebut, dan seakan-akan tidak punya pendirian.
Prawira, (2013) Sejarah mencatat perkembangan ilmu psikologi kepribadian tentang kegiatan yang telah dilakukan oleh para ahli di bidang ini. Para ahli dalam menekuni ilmu psikologi kepribadian dan paradigma yang berbeda satu dengan yang lainya. Paradigma tersebut berpengaruh pada sistematika keseluruhan pola pemikiran tentang kepribadian manusia. Untuk pradigma yang disebutkan terkhir baru kelihatan jelas setelah dikritisi atau dicermati dengan baik model analisisnya. Pradigma yang berbeda-beda tersebut apabila diubakan untuk satu teori dengan teori yang lainya.
Teori psikologi pertama kalinya ditemukan atau dikembangkan oleh Sigmund Freud. Pada waktu –waktu selanjutnya teori Psikoanalisis dari Freud ini banyak diikuti dan dikembangkan lebih lanjut oleh para ahli Psikologi Kepribadian, seperti C.G. SJung, A. Adle, Anna Freud, Karen Horney, Eric Fromm, dan H,S. Sullivan. Masing-masing ahli psikologi kepribadian tersebut mencoba mendeskripsikan wujud dan kepribadian seseorang, baik mengenai struktur, dinamika, maupun perkembangan elemen-elemen pendukunya. Dari deskripsi-deskripsi yang dibuatnya itu, selanjutnya para ahli psikologi kepribadian akan dapat mengetahui atau mendeteksi kemungkinan-kemungkinan adanya penyimpangan tingkah laku pada individu sehingga akan ditentukan cara-cara mengatasinya.
Prawira, (2013) Psikologi murni yang lama, misalnya psikologi asosiasi, psikologi kemampuan, dan lain-lain. Sementara psikologi kepribadian merupakan bagian dari psikologi terpakai yang merupakan psikologi yang baru selain psikologi analisi dan psikologi totalitas. Selain psikologi kepribadian, masih terdapat cabang ilmu-ilmu psikologi lain yang termasuk ke dalam golongan psikologi pendidikan, psikologi konseling, psikologi klinik, psikologi lingkungan, psikologi industry, psikologi komunikasi (psikologi social), psikologi kesehatan, psikologi konsumen, psikologi organisasi, dan psikologi permesinan.
Corole Wade, (2007), Pada tahun 1920-an, psikologi Swiss Jean Piaget (1896-1980) mengajukan teori tentang perkembangan kognitif untuk menjelaskan kesalahan-kesalahan menarik yang dibuat oleh anak- anak. Hubungan antara Piaget dan perkembangan anak adalah seperti hubungan antara Freud dan psikoloanlisis serta hubungan antara Skinner dan Bihaviorisme. Piaget menciptakan aliran perkembangan kognitif yang “berkembang mekar”, dan walupun banyak kesimpulan Piaget telah ditolak ataupun dimodifikasi revolusi dalam pemahaman tentang cara pemikiran terbentuk dan memberikan inspirasi terhadap puluhan ribu penelitian yang dilakukan oleh para ahli dari selulu penjuru dunia.
B. Aspek-aspek Perkembangan Psikologi
Corole Wade, (2007), Teori Tahapan kognitif dari Piaget menurut Piaget (1929/1960, 1952a, 1984), sejalan dengan perkembangan anak, pemikiran anak secara konstan beradaptasi dalam situasi-situasi dan pengalaman baru. Terkadang anak melakukan asimilasi informasi baru ke dalam kategori mental yang sudah ada: misalnya seekor anjing gembara Jerman dan anjing terrier sama-sama masuk ke dalam kategori anjing. Pada waktu yang lain, anak harus mengubah kategori mental mereka untuk mengkomodasi pengalaman-pengalaman baru mereka: misalnya, seekor kucing tidak dapat masuk ke dalam kategori anjing dan satu kategori baru dibutuhkan, yakni kategori untuk kucing. Menurut Piaget, kedua proses tersebut secara konstan berinterkasi sejalan dengan proses anak melalui empat tahapan perkembangan kognitif.
Corole Wade, (2007), Tahap Operasional konkret (uisa 7-12). Pada tahap ini, anak telah mengalami perkembangan signifikan dari mampu mangatasi beberapa keterbatasan yang dialami pada tahap sebelumnya. Mereka dapat memahami sudut pandang orang lain dan semakin sedikit membuat kesalahan logika. Meskipun demikian menurut pengamatan Piaget, kemampuan baru ini umunya dihubungkan dengan informasi yang kongkrit. Pengalaman actual yang telah terjadi atau konsep-konsep yang memiliki arti yang dapat dipahami oleh anak. Pada tahap ini anak masih membuat kesalahan dalam berpikir saat dimita berpikir tentang ide-ide abstrak (patriotism atau pendidikan masa depan) atau hal-hal secara fisik tidak tampak.
C.             Faktor-faktor Perkembanga Psikologi
Dalam buku Diane E. Papalia (2008) Penentuan tipe gender (gender typing), sebuah proses yang denganya anak belajar dan mendapatkan peran gender. Stereotipe gender (gender stereotype) adalah generalisasi yang telah terbentuk sebelumnya tentang perilaku pria atau wanita seperti, “Semua wanita pasif dan tergantung; “semua pria agresif dan independen”. Stereotipe gender mencakup banyak kultur. Stereotipe ini dapat dilihat pada anak usia 21/2 – 3 tahun, meningkat pada masa prasekolah, dan mencapai puncaknya pada usia 5 tahun (Haugh, Hoffman, & Cowan, 1980; Ruble & Martin, 1998; J.E. Williams & Best, 1982). Anak-anak prasekolah dan bahkan anak yang lebih tua usianya sering kali mengatributkan kaulitas positip kepada jenis kelaminnya dan yang negatif kepada jenis kelamin lawannya (Egan & Perry, 2001; Ruble & Martin, 1998; Underwood, Schockner, & Hurley, 2001). Di antara anak-anak prasekolah, baik anak laki-laki maupun perempuan mengingat anak laki-laki sebagai yang kuat, cepat, kasar, dan anak perempuan sebagai yang panakutan tidak berdaya (Ruble & Martin, 1998).
1.Diane E. Papalia (2008) Pendekatan Biologis. Eksistensi peran gender yang mirip dalam banyak kultur menunjukan bahwa sebagian perbedaan gender mungkin berbasis biologis. Pertanyaannya adalah bagaimana perbedaan  biologis dapat memengaruhi prilaku?. Pada usia 5 tahun, besar otak anak mencapai ukuran orang dewasa, otak anak laki-laki lebih besar sekitar 10 persen dibandingkan anak perempuan, sebagian besar dikarenakan anak laki-laki memiliki lebih banyak sel abu-abu pada serebral corteks, sedangkan anak perempuan memiliki densitas neural yang lebih besar. Apa yang hendak disampaikan oleh temuannya tentang organisasi dan fungsi otak masuk belum diketahui (Reiss, Abrams, Singer, Ross & Denckla, 1996).
Riset lain terfokus kepada anak dengan sejarah hormon yang tidak biasa. Anak perempuan dengan kelainan yang disebut congenital adrenal hyperplasia (CPA) memiliki level androgen (hormon kelamin pria) dalam level yang tidak biasa. Walaupun dibesarkan sebagai anak perempuan, mereka cenderung untuk memilih “mainan anak laki-laki, permainan kasar, dan teman bermain pria, dan menunjukkan ketrampilan spasial yang kuat. Di sisi lain, estrogen, tidak memiliki pengaruh yang begitu besar terhadap prilaku tipe gender anak laki-laki. Karena studi ini merupakan percobaan alami, mereka tidak dapat menetapkan sebab dan akibat; faktor selain perbedaan hormonal, seperti interaksi dini dengan orang tua, mungkin juga memainkan peran. Perbedaan hormonal juga bisa saja dipengaruhi oleh lingkungan  atau faktor lain. Dalam beberapa studi pola prilaku tidak biasa tersebut tidak dapat ditemukan dalam anak dengan variasi hormonal yang normal (Ruble & Martin, 1998).
2.Diane E. Papalia (2008) Pendekatan Psikoanalitik. “ Ayah, di mana ayah akan tinggal ketika saya sudah besar dan menikahi ibu?” tanyak Timmy, 4 tahun. Dari perspektif psikoanlitik, pertanyaan Timmy tersebut  adalah bagian dari akuisisi identitas  jendernya. Merujuk kepada freud, proses tersebut adalah salah satu dari identifikasi (Identification), yaitu adopsi karakteristik, keyakinan, sikap, nilai, dan prilaku dari orang tua yang berjenis kelamin sama, Freud dan psikoanalitis klasik lainya menganggap identifikasi sebagai perkembangan kepribadian penting masa kanak-kanak awal. Sebagian teoretikus   pembelajaran social juga nenggunakan istilah ini.
Mengacu kepada teori Freudian klasik, identifikasi akan menjadi pada diri Timmy ketika tertekan atau menyerah berkeinginan memiliki orang tua dengan jenis kelamin yang berbeda dengan dirinya (ibunya) dan mengidentifikasikan  diri dengan orang tua yang berjenis kelamin sama (sang ayah). Walaupun penjelasan ini berpengaruh dalam perkembangan gender, akan tetapi penjelaskan tersebut sulit diuji. Kecuali bukti bahwa anak-anak prasekolah cenderung lebih agersif terhadap orang tua yang berjenis kelamin sama dengan dirinya (Westen, 1998), teori tersebut hanya memiliki sedikit dukungan riset. (Tentu saja hal ini tidak berlaku pada diri Isabel Allender, yang merasa melindungi sang ibu dan membenci para pria dalam kelurganya). Sebagian besar psikologi pertumbuhan saat ini lebih memilih penjelasan lain.
Diane E. Papalia (2008) Pendekatan kognitif. Sarah menemukan bahwa dirinya adalah seorang anak perempuan karena orang-orang memanggilnya anak perempuan. Dia menemukan bahwa dirinya akan selalu menjadi seorang anak perempuan.  Dia perlahan

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.Pendekatan Kualitatif

Istilah penelitian kualitatif menurut Krik dan Miller (dalam Moleong, 2006) pada mulanya bersumber pada pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkat suatu ciri tertentu. Untuk menemukan sesuatu dalam pengamatan, pengamat harus mengetahui apa yang menjadi ciri sesuatu itu. Berdasarkan pertimbangan tersebut, peneliti menyatakan bahwa penelitian kuantitatif mencakup setiap jenis penelitian yang didasarkan atas perhitungan statistik atau angka kuantitas. Atas dasar pertimbangan itulah maka kemudian penelitian kualitatif tampaknya diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan.

Menurut Banister (dalam Alsa, 2003) penelitian kulatitatif dapat didefinisikan sebagai satu cara sederhana, sangat longgar, yaitu suatu penelitian interpretatif terhadap suatu masalah dimana peneliti merupakan sentral dari pengertian atau pemaknaan yang dibuat mengenai masalah itu.

Meriam (dalam Alsa, 2003) merumuskan penelitian kualitatif sebagai satu konsep payung yang mencakup beberapa bentuk penelitian untuk membantu peneliti memahami dan menerangkan makna fenomena sosial yang terjadi dengan sekecil mungkin gangguan terhadap setting alamiahnya.

Menurut Alsa (2003) penelitian kualitatif bertitik tolak dari paradigma fenomenologis yang obyektivitasnya dibangun atas rumusan tentang situasi tertentu sebagaimana yang dihayati oleh individu atau kelompok sosial tertentu, dan relevan dengan tujuan penelitian.

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006) mengadakan pengkajian selanjutnya terhadap istilah penelitian kualitatif, yang mendefinisikan “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitan yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar belakang dan individu tersebut secara holistik.
Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006) mengatakan salah satu kekuatan dari pendekatan kualitatif adalah dapat memahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan.
Pendekatan kualitatif dipandang lebih sesuai untuk mengetahui bagaimana kecemasan pada saat ini dan apa yang mendasari individu menjadi terlalu cemas atau takut. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Poerwandari (2007) bahwa pendekatan yang sesuai untuk penelitian yang tertarik dalam memahami manusia dengan segala kompleksitasnya sebagai mahluk subjektif adalah penelitian kualitatif.
1. Karakteristik Penelitian Kualitatif
Menurut Alsa (2003) ada sembilan ciri penelitian kulitatif yaitu :
                       a. Penelitian kualitatif memiliki setting alamiah sebagai sumber data
                       b. Peneliti sebagai instrumen penelitian
           c. Penelitian kualitatif adalah deskriptif
           d. Peneliti kualitaif lebih memperhatikan proses daripada hasil penelitian
           e. Peneliti kulitatif cenderuing menganalisa datanya secara induktif
           f. Pemaknaan merupakan perhatian utama dari penelitian kualitatif
           g. Pentingnya kontak personal langsung dengan subyek
           h. Berorientasi pada kasus unik
           i. Penelitian kualitatif biasanya merupakan penelitian lapangan.
2. Langkah Penelitian Kualitatif
Menurut Alsa (2003) langkah – langkah penelitian kualitatif adalah sebagai berikut :
           a. Mengidentifikasi problem penelitian
           b. Mereviu kepustakaan
           c. Menetapkan tujuan penelitian
           d. Mengumpulkan data
           e. Menganalisa dan menginterpretasi data
           f. Melaporkan dan mengevaluasi penelitian
Metode Pengambilan Data
Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang terbuka dan luas, metode pengambilan data kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian serta sifat objek yang diteliti. Metode pengambilan data dalam penelitian kualitatif antara lain: wawancara, observasi, diskusi kelompok terfokus, analisa terhadap karya (tulis, film, dan karya seni lain), analisa dokumen, analisa catatan pribadi, studi kasus, studi riwayat hidup dan sebagainya. Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2006) menyatakan bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata atau tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Dalam penelitian ini, metode pengambilan data dilakukan dengan wawancara.
Menurut Poerwandari (2007) ada beberapa ragam metode pengumpulan data, diantaranya yaitu : Observasi, wawancara, diskusi kelompok terfokus, penelitian partisipatoris, metode – metode yang terkait dengan gambar atau penggunaan foto, metode pemetaan, metode – metode dengan drama,dan oral history.
Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang akan digunakan adalah observasi, dan wawancara. Karena sifat penelitian kualitatif yang fleksibel dimungkinkan adanya tambahan data – data lain seperti foto ataupun  catatan  harian.

1. Wawancara

Menurut Banister (dalam Poerwandari, 2007) wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu, berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain.
Metode pengumpulan informasi yang terdiri dari pernyataan-pernyataan memerlukan kemampuan untuk menggali atau probing dari jawaban-jawaban responden, sehingga informasi yang diperoleh akan lebih spesifik yaitu berupa informasi mengenai perasaan, perilaku dan informasi lainnya yang dimiliki oleh individu. Keberhasilan dari wawancara sangat dipengaruhi oleh perencanaan terlebih dahulu (Stewart dan Cash dalam Moleong, 2006).
Adapun struktur wawancara menurut Stewart dan Cash (dalam Moleong, 2006), antara lain adalah:
a.                Interview Guide (Pedoman wawancara)
Pedoman yang disusun oleh pewawancara yaitu merupakan sebuah outline yang berisikan aspek-aspek utama dari topik wawancara.
b.               The Opening (Pembukaan)
Menciptakan atmosfir yang saling memiliki kepercayaan dan saling menghargai sehingga dapat membentuk hubungan positif antara pewawancara dan responden.
c.                The Body (Isi)
Pewawancara menggali jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan dari pedoman wawancara.
d.               The Closing (Penutup)
Pewawancara mengakhiri wawancara ketika informasi yang diperoleh telah didapat dari responden.
Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2007) wawancara secara umum dapat dibedakan menjadi tiga pendekatan, yaitu:
a.                Wawancara informal
Proses wawancara didasarkan sepenuhnya pada berkembangannya pertanyaan-pertanyaan secara spontan dalam interaksi alamiah. Tipe wawancara demikian umumnya dilakukan oleh peneliti yang melakukan observasi partisipatif. Dalam situasi demikian, orang yang diajak bicara mungkin tidak menyadari dirinya sedang diwawancarai secara sistematis untuk menggali data.
b.               Wawancara dengan pedoman umum
Dalam proses wawancara ini peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek – aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek – aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks actual saat wawancara berlangsung. Wawancara dengan pedoman sangat umum ini dapat bnerbantuk wawancara terfokus, yakni wawancara yang mengarahkan pembicara pada hal – hal atau aspek – aspek tertentu dari kehidupan atau pengalaman subjek. Tetapi wawancara juga dapat berbentuk wawancara mendalam, dimana peneliti mengajukian pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek, secara utuh dan mendalam.
c.                Wawancara dengan pedoman terstandar yang terbuka
Dalam bentuk wawancara ini, pedoman wawancara ditulis dengan rinci, lengkap dengan set pertanyaan dan penjabarannya dalam kalimat. Peneliti diharapkan dapat melaksanakan wawancara sesuai sekuensi yang tercantum, serta menanyakannya dengan cara yang sama pada responden – responden yang berbeda. Keluwesan dalam mendalami jawaban terbatas, tergantung pada sifat wawancara dan ketrampilan peneliti.
Dalam penelitian ini akan digunakan wawancara dengan pedoman umum dimana peneliti mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Pedoman wawancara ini digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek – aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek – aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung. Wawancara dengan pedoman sangat umum ini dapat berbentuk wawancara terfokus, yakni wawancara yang mengarahkan pembicara pada hal – hal atau aspek – aspek tertentu dari kehidupan atau pengalaman subjek. Tetapi wawancara juga dapat berbentuk wawancara mendalam, dimana peneliti mengajukian pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek, secara utuh dan mendalam
2. Observasi
Istilah observasi ditunkan dalam bahasa latin yang berarti “melihat” dan “memperlihatkan”. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara actual, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Observasi selalu menjadi bagian dalam penelitian psikologis, dapat berlangsung dalam konteks laboratorium (eksperimental) maupun dalam konteks alamiah (Banister, dalam Poerwandari 2007).
Patton (dalam Poerwandari, 2007) menegaskan observasi merupakan metode pengumpulan data esensial dalam penelitian, apalagi penelitian dengan pendekatan kualitatif, agar memberikan data yang akurat dan bermanfaat.
Menurut Poerwandari (2007) tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas – aktivitas yang berlangsung, orang – orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari persepktif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut.
Kemudian menurut Wilkinson (dalam Minauli, 2006) observasi adalah aspek penting bagi banyak ilmu pengetahuan dan telah memainkan peranan penting dalam perkembangan psikologi sebagai suatu disiplin ilmu. Kekuatan utama dari observasi adalah karena ia dapat diamati secara langsung dan tepat. Observasi adalah metode yang paling penting dalam pengumpulan data.
a.Unsur – Unsur Observasi
Secara umum menurut Nietzel (dalam Minauli, 2006) metode observasi memiliki unsur – unsur sebagai berikut :
1.   Pemilihan (selection)
Observer pertama kali memilih orang (selects) orang, mengklasifikasikan perilaku, kejadian, situasi, atau periode waktu yang akan menjadi fokus perhatian.
2.   Pembangkitan (provocation)
Keputusan harus dibuat mengenai apakah perlu membangkitkan (provoke) perilaku dan situasi atau menunggu hingga hal itu terjadi dengan sendirinya.
3.   Pencatatan (recording)
Perencanaan dibuat untuk merekam (record) observasi, apakah dengan menggunakan ingatan observer, lembaran catatan, audio atau videotape, system monitoring fisiologis, penunjuk waktu, alat penghitung, atau yang lainnya.
     Menurut Banister (dalam Poerwandari, 2007) dalam membuat catatan dalam observasi hal – hal yang harus diperhatikan adalah
a.    deskripsi konteks
b.   deskripsi mengenai karakter orang – orang yang diamati
c.    deskripsi tentang siapa yang melakukan observasi
d.   deskripsi mengenai perilaku yang ditampilkan orang – orang yang diamati
e.    interpretasi sementara peneliti terhadap kejadian yang diamati
f.    pertimbangan mengenai alternative interpretasi – interpretasi lain
g.   eksplorasi perasaan dan penghayatan peneliti terhadap kejadian yang diamati.
4.   Pemberian kode (encoding)
Akhirnya mengembangkan suatu system untuk pengkodean (encoding) dari observasi mentah kedalam bentuk yang dapat digunakan.
Menurut Poerwandari (2007) koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistematiskan data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topic yang dipelajari.
C.     Responden Penelitian

1. Karakteristik Responden

a.                Para remaja laki-laki,
b.               Usia 12-21 tahun,

2. Jumlah Responden

Menurut Banister (dalam Poerwandari, 2007) mengatakan dengan fokusnya pada kedalaman dan proses, penelitian kualitaif cenderung dilakukan dengan jumlah kasus sedikit. Suatu kasus tunggal pun dapat dipakai, bila secara potensial memang sangat sulit bagi peneliti memperoleh kasus yang lebih banyak, dan bila dari kasus tunggal tersebut memang diperlukan sekaligus dapat diungkap informasi yang sangat mendalam.
Sarantakos (dalam Poerwandari, 2007) mengemukakan karakteristik prosedur penentuan responden dalam penelitian kualitatif pada umumnya adalah sebagai berikut:
a.                Diarahkan tidak pada jumlah sampel yang besar
b.               Tidak ditentukan secara kaku sejak awal,  tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian
c.                Tidak diarahkan pada keterwakilan dalam arti jumlah atau peristiwa acak,  melainkan pada kecocokan konteks.
Dengan karakteristik seperti disebutkan diatas, jumlah sampel dalam penelitian kualitatif tidak dapat ditentukan secara tegas di awal penelitian.  Dalam penelitian ini, jumlah responden yang direncanakan adalah sebanyak 6 (enam) orang.

3. Lokasi  dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan April tahun 2013. Proses wawancara  bisa dilakukan langsung di lokasi sekolah, di taman ataupun di rumah responden sendiri, sesuai dengan kemauan responden.
D.     Alat Bantu Pengumpulan Data
Pencatatan data selama penelitian penting sekali karena data dasar yang akan dianalisis didasarkan atas “kutipan” hasil wawancara. Oleh karena itu, pencatatan data harus dilakukan dengan cara yang sebaik dan setepat mungkin. Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitataif cukup rumit, untuk itu diperlukan instrumen atau alat penelitian agar dapat membantu peneliti dalam mengumpulkan data (Moleong, 2006).
Alat bantu yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara, dan sebuah alat perekam yaitu tape recorder.

1. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari, 2007). Pedoman wawancara bertujuan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data nantinya.
2. Alat Perekam (tape recorder)
Alat perekam digunakan untuk memudahkan peneliti dalam mengulang kembali hasil wawancara yang telah dilakukan. Dengan adanya hasil rekaman wawancara  tersebut akan memudahkan peneliti apabila ada kemungkinan data yang kurang jelas sehingga responden yang diwawancarai dapat dihubungi kembali. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan memperoleh persetujuan responden terlebih dahulu.
E.     Prosedur Penelitian
Tahap-tahap penelitian kualitatif dengan salah satu ciri pokoknya peneliti sebagai alat penelitian, menjadi berbeda dengan tahap-tahap penelitian nonkualitatif. Tahap-tahap penelitian kualitatif (Moleong, 2006), terdiri dari:

1. Tahap Persiapan Penelitian

Tahap persiapan penelitian dilakukan untuk mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan dalam penelitian:
a.                Mengumpulkan informasi tentang isu-isu yang berhubungan dengan Hubungan kenakalan Remaja dengan Prestasi Belajar Peneliti mengumpulkan semua informasi yang berkaitan dengan Hubungan kenakalan Remaja dengan Prestasi Belajar. Selanjutnya peneliti menentukan karakteristik responden yang akan disertakan dalam penelitian ini.
b.               Menyiapkan pedoman wawancara
Agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian, sebelum wawancara dilakukan, peneliti terlebih dahulu menyiapkan pedoman wawancara yang disusun berdasarkan teori yang ada.
c.        Menghubungi calon responden yang sesuai dengan karakteristik responden
Setelah peneliti memperoleh beberapa orang calon responden, peneliti menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian. Apabila calon responden bersedia, peneliti kemudian menyepakati waktu wawancara bersama calon responden.
d.               Melaksanakan rapport
Menurut Moleong (2006) rapport adalah hubungan antara peneliti dengan subjek penelitian yang sudah melebur seolah-olah sudah tidak ada lagi dinding pemisah diantara keduanya. Dengan demikian, subjek dengan sukarela dapat menjawab pertanyaan atau memberi informasi yang diberikan oleh peneliti.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
                       Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki tahap pelaksanaan penelitian.
a.                Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara.
Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden. Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan responden dalam keadaan sehat dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara yang telah dilakukan.
b.               Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara
Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta responden untuk menandatangani lembar persetujuan wawancara yang menyatakan bahwa responden mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.
c.                Memindahkan rekaman hasil wawancara kedalam bentuk transkrip verbatim
Setelah hasil wawancara diperoleh, peneliti memindahkan hasil wawancara dan observasi ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding yaitu membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran topik yang dipelajari (Poerwandari, 2007).
d.               Melakukan analisa data
Bentuk transkrip verbatim telah selesai, kemudian dibuatkan salinannya dan diserahkan kepada pembimbing. Pembimbing membaca verbatim berulang-ulang untuk mendapatkan gambaran yang jelas. Setelah itu, verbatim wawancara disortir untuk memperoleh hasil yang relevan dengan tujuan penelitian dan diberi kode.
e.                Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran
Setelah analisa data selesai peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan diskusi terhadap kesimpulan dan seluruh hasil penelitian. Dengan memperhatikan hasil penelitian, kesimpulan data, dan diskusi yang telah dilakukan, peneliti mengajukan saran bagi penelitian selanjutnya.
3.        Tahap Pencatatan Data
           Semua data yang diperoleh pada saat wawancara direkam dengan alat perekam dengan persetujuan subjek penelitian sebelumnya. Dari hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisis. Transkrip adalah salinan hasil wawancara dalam pita suara kedalam ketikan di atas kertas.
F.     Prosedur Analisis Data
           Data penelitian kualitatif tidak berbentuk angka, tetapi lebih banyak berupa narasi, cerita, dokumen tertulis dan tidak tertulis (gambar atau foto) ataupun bentuk-bentuk nonangka lainnya. Penelitian kualitatif tidak memiliki rumusan atau aturan absolut untuk mengolah dan menganalisis data (Poerwandari, 2007). Moleong dan Poerwandari menjelaskan prosedur analisis data dalam penelitian kualitatif adalah sebagai berikut:
1.               Mengelompokkan data menjadi bentuk teks
2.               Mengelompokkan data dalam kategori-kategori tertentu sesuai dengan pokok-pokok permasalahan yang ingin dijawab. Dalam hal ini pertama-tama dilakukan sorting data untuk memilih data yang relevan dengan pokok permasalahan dan tahap kedua dilakukan coding atau pengelompokan data dalam berbagai kategori.
3.               Dilakukan interpretasi awal terhadap setiap kategori data. Dari hasil interpretasi awal ini peneliti dapat kembali melakukan pengumpulan data dan melakukan kembali proses 1 sampai 3. Hal ini merupakan keunikan lain dari penelitian kualitatif, dimana selalu terjadi proses “bolak-balik“ dari pengumpulan data dan proses interpretasi atau analisis.
4.               Mengidentifikasi tema utama atau kategori utama dari data yang terkumpul. Hal ini dilakukan untuk melihat gambaran apa yang paling utama tampil dan dirasakan oleh subjek penelitian. Jika ditemukan tema utama, maka hasil interpretasi lainnya merupakan penunjang untuk menjelaskan dinamika tema tersebut.
5.              Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi Penelitian di lakukan di daerah deli sedang dengan lokasi yang terhindar dari keributan kenderaan bermotor,sepeda motor,mobil,becak dan sebagainya,namun lokasi yang lakukan langsung ketempat: Sekolah Minggu Buddha yang beralamatkan JL.LK.VI.Gg. kebun sayur 13 Deli Tua Barat kec. Deli Tua Ksh. Deli Serdang Sumatera Utara.
A.Waktu Penelitian
 Waktu Penelitian lebih kurang pada pagi hari menjelang siang hari, dimana waktu yang baik bagi penelitian dan waktu baik pada siswa kira-kira waktu di hari minggu dan senin di jam 90.30 -  11.00 Wib, begitu juga bisa ambil wawancara lanjutan hari senin berikutnya waktu pada jam 12.00 -  13.00 Wib siang hari.
6.              Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di. Sekolah Minggu Buddha berada di
Alamat : JL.LK.VI.Gg. kebun sayur 13 Deli Tua Barat kec.Deli Tua Ksh.Deli Serdang Sumatera Utara.
7.              Waktu Penelitian
    Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2014      
A.Teknik Obsevasi Wawancara
1.               Rekama rekoder
Dengan wawancara mengunakan handpon sebagai alat rekoder,disaat rekaman bersama subjeck berjalan dengan lancar dengan berbagai pertanyakan dan di rekam dalam handpon
2.               Tanyak jawab langsung kepada subjeck
Tanyak jawab langsung kepada subjeck di tempat itu, banyak informasi juga di dapat dengan hasil rekaman dari rekoder, kemudian hasil pertanyakan juga langsung di ketik kembali ke computer dengan mendengar kembali isi cerita pertanyakan dalam hasil remakan rekoder handpon (VERBATIN)




Daftar pustaka
Kelvin Seifert (2012) Pedoman Pedoman Pembelajaran&Instruksi Pendidikan Diterjemakan dari buku Education Psycbology Houghton Mifflin Company Boston,1983,Penerbit IRCiSoD,Sampang Gg.Perkutut No.325-B.jlWonosari,Jogjakarta.
SyaifulSagala, (2012) konsep dan Makna Pembelajaran, penerbit Alfabeta, Bandung. jl Gegerkalong Hilir No. 84 Bandung.
Alsa, A. (2003). Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif serta Kombinasinya dalam Penelitian Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Carole wade, (2007) Psikologi, jilit 1, penerbit Erlangga jl, H, Baping Raya No. 100 Ciracas, Jakarta 13740.
Parawira, (2013) Psikologi Kepribadian,AR-RUZZ MEDIAJL, Anggerk 126 Sambilegi, Maguwoharjo, Depok, Seman, Jogjakarta 55282
Corole wade, (2007) Psikologi, jilit 2, penerbit Erlangga jl, H, Baping Raya No. 100 Ciracas, Jakarta 13740.
Diane F. Papalia (2008) Human Development (Psikologi Perkembangan) Jakarta, Kencana, 2008
John W. Santrock (2011) Psikologi Pendidikan Jakarta Kencana, 2011

Yudisium mahasiwa UNPRI pada tgl 18 september 2016

Acara pelepasan wisudawan dan wisudawati psikologi S1 angkatan ke 5 Yudisium mahasiwa Unpri jurusan psikologi, kegiatan ini juga akan ...