BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan
merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, baik pendidikan
formal maupun non-formal, seperti yang terdapat
dalam UUD 1945 No. 20 tahun 2003 dikatakan bahwa, Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya, memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan
Formal merupakan pendidikan yang dirancang oleh pemerintah sebagai salah satu
pendidikan yang dilaksanakan di sekolah-sekolah umum seperti SD, SMP, SMA, dan
Perguruan Tinggi Swasta maupun Negeri, sedangkan Pendidikan Informal merupakan
suatu bentuk pendidikan yang
dilaksanakan di luar sekolah, tetapi dirancang sedemikian rupa, sehingga memberikan manfaat yang tidak
kalah dengan pendidikan formal, misalnya kursus-kursus keterampilan, Agama dan
lain sebagainya. Salah satu mata
pelajaran dalam pendidikan formal adalah pendidikan agama Buddha, di sekolah
dengan tujuan agar siswa dapat mempelajari, mengerti serta melaksanakan ajaran
tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pengajarannya masih sebatas sebagaimana
mata pelajaran lainnya yang diajarkan, yang tidak memerlukan penghayatan dan
pengamalan dalam kehidupan sehari-hari dalam membentuk kepribadian anak. Pada
dasarnya, untuk mengetahui tingkat pengalaman ajaran agama pada anak didik
perlu penelitian yang mendalam, namun dari perilaku yang diperlihatkan siswa di
sekolah sehari-hari, menujukkan bahwa pemahaman dan pengalaman ajaran agama
masih kurang.
Berdasarkan
apa yang terlihat dari hasil belajar di sekolah timbulah suatu tantangan bagi
guru maupun orangtua untuk lebih memperhatikan apa yang dibutuhkan oleh anak
didik, Sehingga muncullah berbagai upaya untuk meningkatkan keyakinan,
pemahaman dan pengamalan ajaran Agama. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan
diadakannya pendidikan non formal, seperti sekolah minggu yang diadakan di
vihara luar jam sekolah, seperti pada hari minggu ataupun hari lain. Vihara
Buddha Ramsi yang terletak jl. Kebun sayur No. 13, didirikan pada Tahun oleh
banyak kegitan yang diadakan oleh Vihara Antara lain: Puja bakti,
pembacaan avamanggala, Sekolah Minggu Buddha, Arisan Guru, Mitra Buddha,
Baksos, Klinik Pengobatan gratis bagi orang kurang mampu, Muda-Mudi Vihara
Buddha Ramsi, Panitia Sebulan Pembabaran Dhamma (SPD), pelatihan samanera oleh Bhikkhu.
Dengan adanya Sekolah
Minggu Buddha (SMB) tentunya sangat bermanfaat bagi siswa, maupun orang tua
serta masyarakat di lingkungan sekitarnya. Dengan mengikuti kegiatan yang
diselengarakan oleh Sekolah Minggu Buddha, siswa dapat memperoleh berbagai
macam pengetahuan, selain pengetahuan tentang Agama yang nantinya akan membantu
diri kita dalam menjalankan berbagai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari.
Siswa-siswa yang belajar di Sekolah Minggu terdiri dari siswa tingkat Tk, SD,
SMP, SMA, semua siswa diajarkan oleh guru-guru yang profesional dalam
bidangnya. Kegitaan Sekolah Minggu Buddha diadakan pada hari minggu dari jam sampai
, pelajaran yang diberikan adalah....., anak-anak belajar sesuai dengan
usia dan tingkatan belajar, walau demikian pada umunya siswa yang belajar selain mendapat
pelajaran Agama tentu saja juga mempelajari tentang ketrampilan, kesenian.
Pembacaan paritta dan Dhammapada.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian
pada latar belakang masalah dalam penelitian di atas, semua pihak telah
berusaha untuk meningkatkan minat dan
hasil belajar siswa dengan berbagai perubahan dan penyempurnaan kurikulum
seperti yang dilakukan oleh pemerintah, namun nampaknya permasalahan tetap ada.
Dalam hal ini variabel yang berpengaruh terhadap hal tersebut adalah variabel
guru dan psikologi siswa. Dari semua masalah yang muncul maka dapat
diidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut : (1) Apakah sikap dan tingkah laku siswa yang buruk,
disebabkan oleh tidak sinergisnya antara kebijakan dengan implementasi dalam
proses pembelajaran? (2) Apakah metode Pembelajaran Agama Buddha yang digunakan
tidak sesuai dengan karakteristik siswa? (3) Faktor apa saja yang mempengaruhi
sikap dan tingka-laku siswa? (4) Seberapa besar pengaruh penddikan Agama Buddha
terhadap perkembangan psikologi siswa (SMB)
C. Batasan Masalah
Berdasarkan
identifikasi masalah adanya ke terbatasan dalam hal kemampuan waktu, literatur masalah
yang dikemukakan di atas, serta untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih terarah
dalam penelitian ini, maka penulis membatasi pada butir ke 4 yaitu : Pengaruh
Penddikan Agama Buddha Terhadap Perkembangan Psikologi Siswa Sekolah Minggu
Buddha. Dengan adanya Penddikan Agama Buddha diharapkan Psikologi Siswa Sekolah
Minggu dapat berkembang kearah yang lebih baik.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan
pembatasan masalah yang dikemukakan di atas, masalah maka
dapat dirumuskan sebagai berikut : Bagaimana Pengaruh Penddikan Sekolah Minggu
Buddha Terhadap Perkembangan Psikologi Siswa Sekolah Minggu Buddha Vihara
Buddha Ramsi.
E. Tujuan Penelitian
Untuk memberikan
arah dalam penelitian ini, sehingga sesuai dengan maksud dan kehendak penulis,
maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : Pengaruh Pendidikan Agama
Buddha Terhadap Perkembangan Psikologi Siswa Sekolah Minggu Buddha Vihara
Buddha Ramsi?
F. Manfaat Penelitian
Hasil
penilitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, antara lain:
1.
Kegunaan Teoritis :
a.
Sebagai bahan acuan
untuk pengembangan mata kuliah yang berkenaan dengan meningkatakan : Pengaruh
Penddikan Sekolah Minggu Buddha Terhadap Perkembangan Psikologi Siswa Sekolah
Minggu Buddha Vihara Buddha Ramsi.
b.
Sebagai bahan
masukan untuk situasi dan kajian tentang meningkatkan : Pengaruh Penddikan
Sekolah Minggu Buddha Terhadap Perkembangan Psikologi Siswa Sekolah Minggu
Buddha Vihara Buddha Ramsi.
c.
Menambah Pengaruh
Pendidian Agama Buddha Terhadap Perkembangan Psikologi Siswa Sekolah Minggu
Buddha Vihara Buddha Ramsi.
2.
kegunaan Praktis :
a.
Memberi informasi
kepada yang berkempentingan dan bertanggung jawab terhadap pendidikan seperti
guru Agama Buddha dan penyelenggara pendidikan.
d.
Memberi sumbangsi
dan masukan bagi dunia pendidikan terkait masalah : Pengaruh Penddikan Sekolah
Minggu Buddha Terhadap Perkembangan Psikologi Siswa Sekolah Minggu Buddha
Vihara Buddha Ramsi.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
A.Kerangka
Teoritis
1. Pengertian
pendidikan
Pengetahuan Sebagai Perubahan
Prilaku Sebuah
diskusi tentang sifat dasar pengetahuan sebagai sumber perubahan prilaku dan
bagimana perbedaan pengetahuan tersebut dengan sumber-sumber perubahan prilaku
yang lain,insting,proses pendewasaan, pembiasaan diri, atau kelelahan fisik (yang
disebabkan kejenuhan terhadap sebuah kebiasaan). Mengambarkan aneka bentuk teori-teori
pengetahuan secara umum, nilai sebuah pengetahuan dapat dibedakan dari penekanannya
terhadap terciptanya perubahan dalam prilaku-prilaku khusus yang dapat diteliti
(prilaku terukur), dan sulit yang dianggap mampu mengarahkan seseorang pada
prilaku-prilaku baru. Dalam beberapa bagian dari ini, menganalisa tiga buah
teori pengetahuan yang berorentasi pada prilaku teori pengkondisian kelas, teori
pengkondisian operan, dan teori pengetahuan social. Sementara itu, menciptakan
kemudahan, teori-teori pengetahuan yang berorentasi pada pemikiran tentang
proses itu. Kelvin Seifert (2012)
2.Apakah
pengetahuan dan bukan pengetahuan itu
Sekolah ditunjukan menjadi tempat
diperolehnya ”pengetahuan,” maka para guru agaknya harus mengetahui pada yang
dimaksud dengan istilah tersebut. Sebagai besar istilah-istlah dasar lain dalam
psikologi, gagasan tersebut sepertinya jauh lebih mudah dijalankan daripada
dijelaskan. Seorang anak belajar berprilaku, sepasang orang tua belajar
memahami proses pendidikan anaknya, atau seorang pekerja belajar mengoperasikan
sebuag mesin baru. Logika umum memang mengatkan pengetahuan memang datang dalam
berbagai bentuk, dan bentuk-bentuk tersebut biasa berbeda, bahkan dalam bentuk
yang amat sangat berbeda, mereka layak mendapatkan nama-nama dan
penjelasan-penjelasan yang terpisa. Menjawab pertanyakan tersebut akan
menggiring pada pertanyakan-pertanyakan filosofi dan psikologi yang berada jauh
dari ruang lingkup ini. Sebagian besar definisi dari pengetahuan terhujud dalam
sebuah penjelasan, pengetahuan terdiri dari hampir semua bentuk perubahan
permanen dalam prilaku yang disebabkan oleh beberapa pengalaman khusus atau
dari proses pengulangan sebuah pengalaman.
Definisi ini mengeculikan perubahan
yang disebabkan oleh insting, pendewasaan, pembiasaan, atau kelelahan fisik. Insting
prilaku alami atau bawaan lahir yang tidak terpengaruh pengetahuan atau
pengalaman. Insting hal umum yang dimiliki semua spesies makhluk hidup, prilaku
burung, misalnya, dalam membangun sarang atau menyuapi anak-anaknya. Karena
insting tidak dihasilkan dari pengamanam khusus apapun, maka mereka tidak
termasuk dalam kualifikasi pengetahuan. Bagi sebagian besar spesies, terutama
sekali bagi manusia, ada sedikit ekspresi yang murni insting itu pun kalau
ada.Yang lebih sering terjadi, ekspresi-skspresi tersebut secara umum
dimodifikasi prilaku-prilaku yang dipelajari. Sebagai contohnya, para siswa
biasa saja bercumbu dengan kekasihnya (insting
seksual), mereka mengetahui melakukan hal tersebut secara sah. Perubahan
prilaku yang coba bahas di sisni bukanlah yang berasal dari unsure yang instingtif,
melainkan dari elemen pengetahuan yang dipelajari. Para siswa juga bisa saja
merubah prilaku mereka dengan sebab kelelahan fisik, perubahan tersebut juga
tidak termasuk dalam kualifikasi pengetahuan. Sebagai contoh, ketika pertama
kali para siswa mendengar penjelasan guru, mereka bias saja jadi menunjukkan
perhatian dan rasa ingin tahu yang besar terhadap prilaku dan gaya mengajar
guru yang bersangkutan. Jika nasib sial, para siswa pada akhirnya biasa saja
berhenti mendengar. Para siswa tidak merubah prilaku tersebut karena pengetahuan.
Apapun penyebabnya, bagi para guru, Pendewasaan sebuah sumber perubahan prilaku
yang seringkali disalah artikan dengan pengetahuan. Pendewasaan di sini
dirujukan sebagai salah satu proses perkembangan manusia. Biasanya hal tersebut
merujukan pada perubahan prilaku jangka panjang yang disebabkan, baik oleh
pertumbuhan fisik sang anak, atau oleh sebuah kumpulan aneka pengalaman khusus
tentang lingkungan yang terjadi pada anak-anak tersebut. Apapun penyebab, perubahan
sedemikian berada di luar kendali siapapun juga, termasuk guru sang anak. Selama
ini, para ahli psikologi perkembangan hanya berkonsentrasi pada perubahan umum
yang terjadi pada anak-anak, mengabikan alasan-alasan perbedaan individu. (Kelvin
Seifert, 2012)
3.Bentuk-bentuk
teori Pengetahuan
Teori-Teori pengetahuan dapat
dibagi ke dalam dua kelompok umum,” behaviorist ” dan ”cognitive” (selanjutnya,
behaviorist akan disebut dengan teori prilaku dan cognitive dengan teori
kognitif). Teori-teori prilaku berkitan dengan stimulus yang secara langsung
mendahului prilaku yang dipelajari dan juga seringkali berhubungan dengan
konsekuensi dari prilaku, biasa disebut dengan penguatan motivasi. Teori-teori
kognitif berkaitan cenderung tak tampak
daya ingat, perhatian, pemahaman mendalam, organisasi gagasan-gagasan, dan
proses informasi.
Pavlov, skinner, Bandura (dalam
Kelvin Seifert, 2012) . Teori Prilaku (Behavioral) stimulus, respon, operant, penguatan
motivasi, pengkondisian Bruner, Piaget, Ausubel. Teori Kognitif
(Cognitive) Daya ingat, perhatian, pemahaman
mendalam, Organisasi gagasan, proses informasi. (dalam Sarwono, 2010) Ekperiment,
Ivan Pavlov (1849-1936), berhasil membuktikan anjing dapat dilatih untuk
mengelurkan liur hanya dengan bunyik bel (disebut refleksi berkondisi). Manusia
pun dapat dilatih untuk bereaksi secara tertentu terhadap stimulus tertentu
saja.menurut Pavlov, Psikologi adalah ilmu tentang refleksi saja.
Perkembangan terori selanjutnya, Freud
mengemukakan pula teori tentang id, ego, dan superego yang masing-masing
berarti dorongan-dorongan naluri (id) ,aku (ego), dan hati nurani (superego). Psikologi
humanistic. Psikologi Humanistik paham yang mengutamakan manusia sebagai
makhluk keseluruhan. Mereka tidak setuju dengan pendekatan-pendekatan lain yang
memandang manusia hanya dari satu aspek saja, apakah itu hanya dari persepsinya
(gestalt), refleksnya (Behaviorisme), kesadaran (kognitif), maupun alam
ketidaksadaran saja (psikoanalisis). Manusia harus dilihat sebagai totalitas
yang unik, yang mengandung semua aspek dalam dirinya dan selulu berproses untuk
menjadi dirinya sendiri (aktulitas diri).
4. Manusia Sebagai
Makhluk Yang Bereksistensi.
Sarwono, (2010) Sudah merupakan
pendapat para filsuf sejak sebelum sokrates, sampai zaman sarjana-sarjana
modern saat ini, manusia, selain merupakan makhluk biologis yang sama dengan
mahkluk hidup lainya, juga mahkluk yang mempunyai sifat-siat tersendiri yang
khas. Mempelajari manusia harus
mempunyai sudut pandang yang khusus pula. Pandangan psikologi modern tidak
dapat menjadikan manusia hanya sebagai objeck seperti pandangan kaum
meterialis, juga tidak dapat mempelajari manusia hanya dari kesadaran saja
seperti pandangan kaum idealis. Manusia objeck yang sekaligus juga subjek. Banyak
sudah sarjana yang mencoba untuk member definisi yang tepat tentang menusia. E.Cassire
menyatakan “manusia objeck simbolis”,
dan plato merumuskan “ manuisa harus dipelajari bukan dalam kehidupan
pribadinya, kehudupan social dan kehidupan politiknya”, sedangkan menurut paham
filsafat eksistensialisme” Manusia adalah eksistensi. Manusia tidak hanya ada
atau berada di dunia ini, secara katif ”Mengada”. Manusia tidak semata-mata
tunduk pada kordratnya dan secara pasif menerima keadaanya, selalu secara sadar
dan aktif menjadi dirinya sesuatu.
B.Aspek-aspek
Pendidikan
1.Pengkondisian kelas
Sarwono (2010) Pengkondisian kelasa
merujuk pada pengetahuan sebuah prilaku yang semula mengikuti sebuah pristiwa
diminta untuk mengikuti pristiwa lain yang berbeda. Para ahli psikologi
seringkali merujuk masing-masing ”peristiwa” dalam defenisi ini dengan
stimulus, dan merujuk prilaku yang menyertainya dengan istilah respon, mengunakan
istilah ini, pengkondisian kelasa merujuk pada pengetahuan untuk mengikuti stimulus lain yang berbeda. Bentuk
pengetahuan seperti itu pertama kali dikembangkan oleh ilmuwan rusia, Ivan
Pavlov. Eksperiment yang ia lakukan dengan hubungan reflex stimulus dan respon
yang muncul bersaman semata-mata oleh sifat bagiman (hewan atau manusia) dibentuk
secara fisik. Mata yang berkedip merupakan respon reflex terhadap stimulus
hembusan udara, dan gerakan kaki bagikan bawah merupakan respon reflex dari
ketukan di lutut. Melalui pengkondisian kelas, Pavlov diminta menunjukkan
bagimana stimulus no-refleks lainya.
5.Proses Pengkondisian kelas
Sarwono (2010) Pertimbangan
contohnya berikut, ketika melihat makanan, seekor anjing yang lapar biasa
dipastikan akan mengelurkan air liur. Jika makanan tersebut secara
berulang-ulang dihadirkan bersama dengan sebuah pristiwa netral, pristiwa yang
tidak memiliki hubungan apapun dengan pengeluaran air liur, maka pada akhirnya
pristiwa netral tersebut akan menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air
liur. Dalam salah satu eksperiment awal ini, Pavlov menggunakan sebuah lonceng
sebagai pristiwa netral. Setelah berulang-ulang menandakan bunyi lonceng dengan
makanan, berhasil membuat anjing lapar mengeluarkan air liur tersebut melihat
makanan.
6.Implikasi
Pengkondisian kelasa dalam Pendidikan
Sarwono (2010) Pengkondisian kelas
akan membantu menjelaskan banyak pengetahuan sebuah stimulus diubakan sebagai
pengganti bagi stimulus lainnya. Sebuah contoh pentingnya tentang proses in
adalah pengetahuan tentang daya tarik dan ketakutan emosinal. Bayangkan seorang
guru yang menimbulkan ketakuatan dengan cara terlalu sering berteriak pada
siswanya, atau seorang polisi yang melakukan hal yang sama dengan suara sirine
mereka, atau seorang perawat yang melakukan hal yang sama juga sama dengan cara
terus-menerus memberikan suntikan yang tidak dinginkan pasiennya. Semua prilaku
ini menciptakan ketakutan dan ketegangan terhadap orang-orang yang berada dalam
perhatian mereka. Situasinya kemudian siap untuk mengkondisikan
ketakutan-ketakutan tersebut pada stimulus netral yang berlawanan.
C.Faktor-faktor
Pendidikan
1.Pandangan Nativisme
Syaiful Sagala, (2012)
Nativisme (Nativisme) ”Nativus” atau pembawaan adalah sebuah doktrin filosofis
yang berpengaruh besar terhadap aliran pemikiran psikologis. Pandangan
nativisme ini berpendapat perkembangan
Individu itu semata-mata ditentukan oleh factor-faktor yang dibawa semejak
lahir. Salah satu tokoh yang menganut teori nativisme ini adalah Arthur
Schopenhouer (1788-1880), seorang filsuf bangsa Jerman. Beliau berpendapat bayi
itu lahir telah memiliki sifat-sifat dasar tertentu yang disebut sifat pembawaan yang baik dan pembawaan buruk. Setiap
anak memiliki sifat bawaanya sendiri, sifat-sifat itu tidak bisa diubah dengan
pengalaman lingkungan atau pendidikan, hasil kahir pendidikan ditentukan
pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir.
2.Pandangan Naturalisme
Nature alam atau kodrat, pandangan
naturelisme ini dipelopori seorang filsuf Prancis J.J Rouseau (1712-1778). Pandangannya
lebih ditekankan pada sifat hakekat anak, mempengaruhi konsepnya mengenai
pembinaan terhadap perkembangannya atau perkembangannya Rouseau berpendapat
senua anak yang baru dilahirkan mempunyai pembawaan baik dan tidak ada seorang
pun yang lahir dengan pembawaan buruk. Pembawakan baik itu, akan menjadi rusak
dipengaruhi lingkungan atau pengaruh kebudayaan manusia itu sendiri. Rouseau
berpendapat pendidikan yang diberikan orang dewasa malahan dapat merusak
pembawaan anak yang baik itu
3.Pandangan Empirisme
Empiria atau pengalaman, tokoh
perintis pandangan empirisme seorang filsuf Inggris John Locke (1632-1704). Faham
empirisme ini bertentangan dengan faham nativisme dan berpendapat, anak itu
sejak lahir belum memiliki sifat-sifat pembawaan apapun. Joh Locke
mengembangakan suatu teori yang terkenal dengan teori ”Tabu Rasa”, beliau
berpendapat anak lahir di dunia bagikan kertas putih yang bersih. Maka diatas
kertas putih itu orang dapat membuat coretan menurut kehendaknya. Lingkungan (environment),
anak memperoleh pengalaman-pengalaman emperik, dan pengalaman emperik yang
dipeoleh dari lingkungan inilah yang berpengaruh besar dalam menetukan
perkembangan anak.
1. Sifat Dasar Teori-Teori
Pengetahuan Kognitif
kelvin Seifert, (2012) teori
pengetahuan sosial telah mengalihkan penekanan dan perhatian terbesarnya dari
prilaku kepada poses berpikir. Ketika penekanan ini dibahas lebih jauh maka
akan muncul sebuah teori pengetahuan kognitif. Teori-teori tersebut saling
berbagi beberapa hal penting, perbandingan memiliki perbedaan menonjol.
Teori-teori mempelajari bagimana cara manusia mendapatkan informasi dan
pengetahuan, bagimana mereka mengingatnya, serta bagimana mereka menghubungkan
antara satu gagasan atau konsep dengan gagasan atau konsep yang lain. Prestasi
yang diraih oleh wawasan (pemahaman yang didapat dengan teori-teori ini.
Demikian pula dengan aktivitas-aktivitas yang menjadi penyebab
prestasi-prsetasi tersebut. Dalam pemahaman sedemikian, teori perkembangan
milik Piaget tersebut juah lebih samar dibandingkan yang diperkirakan sebagai
besar para guru. Dalam semua teori pengetahuan kognitif, hasil akhir atau
prestasi pengetahuan secara realtif tidak begitu penting dibandingkan dengan
yang terjadi dalam teori-teori prilaku
2.Pembelajaran Berdasarkan Jadwal
Carole wade, (2007) ketika sebuah
respon baru pertama kali muncul, Pembelajaran biasanya akan berlangsung dengan
paling cepat bila setiap respon yang diharapkan diperkuat setiap kali muncul,
prosedur ini disebut sebagai continuous reinforcemet. Demikian, ketika sebuah
respon telah muncul secara reliable, respon ini akan lebih tahan terhadap
extinction bila reinforcement diberikan dengan mengunakan partial reinforcement,
reinforcement diberikan pada beberapa respon saja, dan tidak pada keseluruhan
respon yang dihasilkan. Skinner (1956) menemukan fakta ini ketika dia mulai
kehabisan butir makanan untuk tikus-tikusnya dan terpaksa untuk menurunkan
frekuensi pemberian reinforcement.
1.
faktor kongnitif dan
Metakognitif
Ada empat prinsip,
yakni sifat proses pembelajaran, tujuan prosese pembelajaran , kontstruksi
pengetahuan, pemikiran strategis, metakognitif, dan konteks pembejaran.
a.
Sifat efektif jika
dilakukan dengan melalui proses pengkonstruksian makna dari informasi dan
pengalaman. Peljaran yang sukses adalah pelajar yang aktif, punya tujuan, dan
mampu megatur diri sendiri. Mereka mau bertanggung jawab terhadap pembelajaran mereka sendiri.
b.
Tujuan proses
pembelajaran. Pelajar yang sukses, dengan bantuan dan pedoman instruksional,
dapat menciptakan representasi pengetahuan yang bermakna dan koheren. Murud
perlu menciptakan dan mnegajar tujuan yang relevan secara personal yang bisa
menyekseskan si pelajar. Pada mulanya, murud mungkin membuat tujuan
pembelajaran jangka pendek, dan mungkin cukup mempelajari dasar-dasar saja.
Tetapi sering dengan berjalan waktu pemahaman mereka dapat ditingkatkan dengan
menambah pengetahuan, memecahkan problem, memperdalam pemahaman terhadap suatu peljaran sehingga mereka dapat mencapai
tujuan jangka panjang. Adalah penting bagi guru untuk membantu murid belajar
cara menentukan tujuan jangka panjang dan pendek yang bermakna.
c.
Konstruksi pengetahuan.
Pelajaran yang sukses bisa menghubungakan informasi baru dengan pengetahuan
yang sudah dimilikinya dengan cara yang mrngandung makna tertentu yang sudah
dimilikinya dengan cara yang mengandung nakna tertentu. Pengetahuan akan
bertambah luas dan makin mendalam jika murid terus membangun hubungan antara
informasi baru dengan pengalaman dalam pengetahuan mereka yang sudah ada.
Penddikan bisa membantu pelajar memperoleh dan mengintegrasikan pengetahuan
dengan membimbing murid untuk mengembangkan sejumlah strategi, seperti pemetaan
konsep. Organisasi termatik, dan kategorisasi, yang kami jelaskan di Bab 9.
d.
Pemikiran strategis.
Pelajar yang sukses dapat menciptakan dan menggunakan berbagai strategi
pemikiran dan penalaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Mereka
terus-menerus mengembangkan keterampilan strategis mereka dengan mendalami
ulang strategi yang sukses, dengan menerima petunjuk dan tanggapan (feedback),
dan dengan mengobeservasi atau berinteraksi dengan model yang tepat. Hasil
pembelajaran murid akan bertambah baik apabila guru membantu murid menigkatkan
dan mengembangkan strategi mereka. Kita telah mengeksplorasi strategi-strategi
di Bab 8, dan tentang observasi model yang kompeten di Bab 7.
A.Pengertian
Perkembangan Psikologi
Corole Wade, (2007), Psikologi
perkembangan mempelajari perkembangan fisiologi dan kognitif yang terjadi
sepanjang rentang hidup manusia dan mempelajari pengaruh predisposisi genetic,
kebudayaan, keadaan dan pengalaman hidup terhadap perkembangan manusia.
Beberapa psikologi perkembagan mempelajari perkembangan metal dan social pada
anak, termasuk sosialisasi (socialization),
yakni suatu proses ketika anak mempelajari peraturan dan prilaku yang
diharapkan oleh lingkungan. Beberapa psikolog perkembagan lain secara khusus
mempelajari remaja, dewasa, dan orang tua lanjut usia. Dalam psikologi
perkembangan, mulai dari periode awal kehidupan manusia (masa prakelahiran) hingga usia lajut.
Prawira, (2013) Ilmu psikologi
kepribadian dikenal sebagai salah satu cabang ilmu psikologi umum yang amat
pesat perkembangannya. Mengapa bisa demikian?. Psikologi kepribadian dewasa ini
telah banyak memberikan sumbangsihnya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Untuk mengetahui
sejauhmana perkembangan psikologi kepribadian semenjak dilahirkannya hingga
dewasa ini dan perannyata ilmu tersebut dalam menyejahterakan kehidupan
manusia. Empedocles (450 SM) dikenal sebagai filsuf Yunani kuno. Ia berpendapat bahwa segalah
sesuatu yang ada di dunia ini terdiri atas empat unsure , yaitu tanah, air,
api, dan udara. Setiap manusia tentu mengandung empat unsure tersebut, tetapi
dengan kadar yang berbeda-beda antara manusia yang satu dengan manusia yang
lainya. Empedocles berpendapat adanya perbedaan kandungan dari empat macam
unsure tersebut menyebabkan manusia mempunyai ciri-ciri khusus yang
membendakannya dengan manusia yang lain. Misalnya dalam tubuh seseorang terlalu
banyak mengandung unsure tanah, orang tersebut akan mempunyai ciri-ciri atau
sifat dingin, acuh tak acuh, tidak mudah terpengaruh oleh orang lain atau
lingkungannya. Jika seseorang mempunyai kandungan unsure api yang sangat
banyak, ia akam mempunyai sifat-sifat sangat lincah, mudah bergerak, rebut, dan
seakan-akan tidak punya pendirian.
Prawira, (2013) Sejarah mencatat
perkembangan ilmu psikologi kepribadian tentang kegiatan yang telah dilakukan
oleh para ahli di bidang ini. Para ahli dalam menekuni ilmu psikologi
kepribadian dan paradigma yang berbeda satu dengan yang lainya. Paradigma
tersebut berpengaruh pada sistematika keseluruhan pola pemikiran tentang
kepribadian manusia. Untuk pradigma yang disebutkan terkhir baru kelihatan
jelas setelah dikritisi atau dicermati dengan baik model analisisnya. Pradigma
yang berbeda-beda tersebut apabila diubakan untuk satu teori dengan teori yang
lainya.
Teori psikologi pertama kalinya
ditemukan atau dikembangkan oleh Sigmund Freud. Pada waktu –waktu selanjutnya
teori Psikoanalisis dari Freud ini banyak diikuti dan dikembangkan lebih lanjut
oleh para ahli Psikologi Kepribadian, seperti C.G. SJung, A. Adle, Anna Freud,
Karen Horney, Eric Fromm, dan H,S. Sullivan. Masing-masing ahli psikologi
kepribadian tersebut mencoba mendeskripsikan wujud dan kepribadian seseorang,
baik mengenai struktur, dinamika, maupun perkembangan elemen-elemen pendukunya.
Dari deskripsi-deskripsi yang dibuatnya itu, selanjutnya para ahli psikologi
kepribadian akan dapat mengetahui atau mendeteksi kemungkinan-kemungkinan
adanya penyimpangan tingkah laku pada individu sehingga akan ditentukan
cara-cara mengatasinya.
Prawira, (2013) Psikologi murni
yang lama, misalnya psikologi asosiasi, psikologi kemampuan, dan lain-lain.
Sementara psikologi kepribadian merupakan bagian dari psikologi terpakai yang
merupakan psikologi yang baru selain psikologi analisi dan psikologi totalitas.
Selain psikologi kepribadian, masih terdapat cabang ilmu-ilmu psikologi lain
yang termasuk ke dalam golongan psikologi pendidikan, psikologi konseling,
psikologi klinik, psikologi lingkungan, psikologi industry, psikologi
komunikasi (psikologi social), psikologi kesehatan, psikologi konsumen,
psikologi organisasi, dan psikologi permesinan.
Corole Wade, (2007), Pada tahun
1920-an, psikologi Swiss Jean Piaget (1896-1980) mengajukan teori tentang
perkembangan kognitif untuk menjelaskan kesalahan-kesalahan menarik yang dibuat
oleh anak- anak. Hubungan antara Piaget dan perkembangan anak adalah seperti
hubungan antara Freud dan psikoloanlisis serta hubungan antara Skinner dan
Bihaviorisme. Piaget menciptakan aliran perkembangan kognitif yang “berkembang
mekar”, dan walupun banyak kesimpulan Piaget telah ditolak ataupun dimodifikasi
revolusi dalam pemahaman tentang cara pemikiran terbentuk dan memberikan
inspirasi terhadap puluhan ribu penelitian yang dilakukan oleh para ahli dari
selulu penjuru dunia.
B.
Aspek-aspek Perkembangan Psikologi
Corole Wade, (2007), Teori Tahapan
kognitif dari Piaget menurut Piaget (1929/1960, 1952a, 1984), sejalan dengan
perkembangan anak, pemikiran anak secara konstan beradaptasi dalam
situasi-situasi dan pengalaman baru. Terkadang anak melakukan asimilasi
informasi baru ke dalam kategori mental yang sudah ada: misalnya seekor anjing
gembara Jerman dan anjing terrier sama-sama masuk ke dalam kategori anjing.
Pada waktu yang lain, anak harus mengubah kategori mental mereka untuk
mengkomodasi pengalaman-pengalaman baru mereka: misalnya, seekor kucing tidak
dapat masuk ke dalam kategori anjing dan satu kategori baru dibutuhkan, yakni
kategori untuk kucing. Menurut Piaget, kedua proses tersebut secara konstan
berinterkasi sejalan dengan proses anak melalui empat tahapan perkembangan
kognitif.
Corole Wade, (2007), Tahap
Operasional konkret (uisa 7-12). Pada tahap ini, anak telah mengalami
perkembangan signifikan dari mampu mangatasi beberapa keterbatasan yang dialami
pada tahap sebelumnya. Mereka dapat memahami sudut pandang orang lain dan
semakin sedikit membuat kesalahan logika. Meskipun demikian menurut pengamatan
Piaget, kemampuan baru ini umunya dihubungkan dengan informasi yang kongkrit.
Pengalaman actual yang telah terjadi atau konsep-konsep yang memiliki arti yang
dapat dipahami oleh anak. Pada tahap ini anak masih membuat kesalahan dalam
berpikir saat dimita berpikir tentang ide-ide abstrak (patriotism atau
pendidikan masa depan) atau hal-hal secara fisik tidak tampak.
C.
Faktor-faktor Perkembanga Psikologi
Dalam buku Diane E.
Papalia (2008) Penentuan tipe gender (gender
typing), sebuah proses yang denganya anak belajar dan mendapatkan peran
gender. Stereotipe gender (gender
stereotype) adalah generalisasi yang telah terbentuk sebelumnya tentang
perilaku pria atau wanita seperti, “Semua wanita pasif dan tergantung; “semua
pria agresif dan independen”. Stereotipe gender mencakup banyak kultur.
Stereotipe ini dapat dilihat pada anak usia 21/2 – 3 tahun, meningkat pada masa
prasekolah, dan mencapai puncaknya pada usia 5 tahun (Haugh, Hoffman, &
Cowan, 1980; Ruble & Martin, 1998; J.E. Williams & Best, 1982).
Anak-anak prasekolah dan bahkan anak yang lebih tua usianya sering kali
mengatributkan kaulitas positip kepada jenis kelaminnya dan yang negatif kepada
jenis kelamin lawannya (Egan & Perry, 2001; Ruble & Martin, 1998; Underwood,
Schockner, & Hurley, 2001). Di antara anak-anak prasekolah, baik anak
laki-laki maupun perempuan mengingat anak laki-laki sebagai yang kuat, cepat,
kasar, dan anak perempuan sebagai yang panakutan tidak berdaya (Ruble &
Martin, 1998).
1.Diane E. Papalia
(2008) Pendekatan Biologis. Eksistensi peran gender yang mirip
dalam banyak kultur menunjukan bahwa sebagian perbedaan gender mungkin berbasis
biologis. Pertanyaannya adalah bagaimana perbedaan biologis dapat memengaruhi prilaku?. Pada usia
5 tahun, besar otak anak mencapai ukuran orang dewasa, otak anak laki-laki
lebih besar sekitar 10 persen dibandingkan anak perempuan, sebagian besar
dikarenakan anak laki-laki memiliki lebih banyak sel abu-abu pada serebral
corteks, sedangkan anak perempuan memiliki densitas neural yang lebih besar.
Apa yang hendak disampaikan oleh temuannya tentang organisasi dan fungsi otak
masuk belum
diketahui (Reiss, Abrams, Singer, Ross & Denckla, 1996).
Riset lain
terfokus kepada anak dengan sejarah hormon yang tidak biasa. Anak perempuan
dengan kelainan yang disebut congenital adrenal hyperplasia (CPA) memiliki
level androgen (hormon kelamin pria) dalam level yang tidak biasa. Walaupun
dibesarkan sebagai anak perempuan, mereka cenderung untuk memilih “mainan anak
laki-laki, permainan kasar, dan teman bermain pria, dan menunjukkan ketrampilan
spasial yang kuat. Di sisi lain, estrogen, tidak memiliki pengaruh yang begitu
besar terhadap prilaku tipe gender anak laki-laki. Karena studi ini merupakan
percobaan alami, mereka tidak dapat menetapkan sebab dan akibat; faktor selain
perbedaan hormonal, seperti interaksi dini dengan orang tua, mungkin juga
memainkan peran. Perbedaan hormonal juga bisa saja dipengaruhi oleh
lingkungan atau faktor lain. Dalam
beberapa studi pola prilaku tidak biasa tersebut tidak dapat ditemukan dalam
anak dengan variasi hormonal yang normal (Ruble & Martin, 1998).
2.Diane E. Papalia
(2008) Pendekatan Psikoanalitik. “ Ayah, di mana ayah akan tinggal ketika saya
sudah besar dan menikahi ibu?” tanyak Timmy, 4 tahun. Dari perspektif
psikoanlitik, pertanyaan Timmy tersebut adalah
bagian dari akuisisi identitas
jendernya. Merujuk kepada freud, proses tersebut adalah salah satu dari
identifikasi (Identification), yaitu adopsi karakteristik, keyakinan, sikap,
nilai, dan prilaku dari orang tua yang berjenis kelamin sama, Freud dan
psikoanalitis klasik lainya menganggap identifikasi sebagai perkembangan
kepribadian penting masa kanak-kanak awal. Sebagian teoretikus pembelajaran social juga nenggunakan istilah
ini.
Mengacu kepada teori
Freudian klasik, identifikasi akan menjadi pada diri Timmy ketika tertekan atau
menyerah berkeinginan memiliki orang tua dengan jenis kelamin yang berbeda
dengan dirinya (ibunya) dan mengidentifikasikan
diri dengan orang tua yang berjenis kelamin sama (sang ayah). Walaupun
penjelasan ini berpengaruh dalam perkembangan gender, akan tetapi penjelaskan
tersebut sulit diuji. Kecuali bukti bahwa anak-anak prasekolah cenderung lebih
agersif terhadap orang tua yang berjenis kelamin sama dengan dirinya (Westen,
1998), teori tersebut hanya memiliki sedikit dukungan riset. (Tentu saja hal
ini tidak berlaku pada diri Isabel Allender, yang merasa melindungi sang ibu
dan membenci para pria dalam kelurganya). Sebagian besar psikologi pertumbuhan
saat ini lebih memilih penjelasan lain.
Diane E. Papalia (2008)
Pendekatan kognitif. Sarah menemukan bahwa dirinya adalah seorang anak perempuan
karena orang-orang memanggilnya anak perempuan. Dia menemukan bahwa dirinya
akan selalu menjadi seorang anak perempuan.
Dia perlahan
BAB III
METODOLOGI
PENELITIAN
A.Pendekatan
Kualitatif
Istilah penelitian kualitatif menurut Krik dan Miller (dalam Moleong, 2006) pada mulanya bersumber pada pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkat suatu ciri tertentu. Untuk menemukan sesuatu dalam pengamatan, pengamat harus mengetahui apa yang menjadi ciri sesuatu itu. Berdasarkan pertimbangan tersebut, peneliti menyatakan bahwa penelitian kuantitatif mencakup setiap jenis penelitian yang didasarkan atas perhitungan statistik atau angka kuantitas. Atas dasar pertimbangan itulah maka kemudian penelitian kualitatif tampaknya diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan.
Menurut Banister (dalam Alsa, 2003) penelitian kulatitatif dapat didefinisikan sebagai satu cara sederhana, sangat longgar, yaitu suatu penelitian interpretatif terhadap suatu masalah dimana peneliti merupakan sentral dari pengertian atau pemaknaan yang dibuat mengenai masalah itu.
Meriam (dalam Alsa, 2003) merumuskan penelitian kualitatif sebagai satu konsep payung yang mencakup beberapa bentuk penelitian untuk membantu peneliti memahami dan menerangkan makna fenomena sosial yang terjadi dengan sekecil mungkin gangguan terhadap setting alamiahnya.
Menurut Alsa (2003) penelitian kualitatif bertitik tolak dari paradigma fenomenologis yang obyektivitasnya dibangun atas rumusan tentang situasi tertentu sebagaimana yang dihayati oleh individu atau kelompok sosial tertentu, dan relevan dengan tujuan penelitian.
Bogdan dan Taylor
(dalam Moleong, 2006) mengadakan pengkajian selanjutnya terhadap istilah
penelitian kualitatif, yang mendefinisikan “metodologi kualitatif” sebagai
prosedur penelitan yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Menurut mereka,
pendekatan ini diarahkan pada latar belakang dan individu tersebut secara
holistik.
Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006) mengatakan salah satu kekuatan dari
pendekatan kualitatif adalah dapat memahami gejala sebagaimana subjek
mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek
dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan.
Pendekatan
kualitatif dipandang lebih sesuai untuk mengetahui bagaimana kecemasan pada
saat ini dan apa yang mendasari individu menjadi terlalu cemas atau takut. Hal
ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Poerwandari (2007) bahwa pendekatan yang
sesuai untuk penelitian yang tertarik dalam memahami manusia dengan segala
kompleksitasnya sebagai mahluk subjektif adalah penelitian kualitatif.
1.
Karakteristik Penelitian Kualitatif
Menurut Alsa
(2003) ada sembilan ciri penelitian kulitatif yaitu :
a. Penelitian kualitatif
memiliki setting alamiah sebagai sumber data
b. Peneliti sebagai
instrumen penelitian
c. Penelitian kualitatif adalah
deskriptif
d. Peneliti kualitaif lebih
memperhatikan proses daripada hasil penelitian
e. Peneliti kulitatif cenderuing
menganalisa datanya secara induktif
f. Pemaknaan merupakan perhatian
utama dari penelitian kualitatif
g. Pentingnya kontak personal
langsung dengan subyek
h. Berorientasi pada kasus unik
i. Penelitian kualitatif biasanya
merupakan penelitian lapangan.
2.
Langkah Penelitian Kualitatif
Menurut
Alsa (2003) langkah – langkah penelitian kualitatif adalah sebagai berikut :
a. Mengidentifikasi problem
penelitian
b. Mereviu kepustakaan
c. Menetapkan tujuan penelitian
d. Mengumpulkan data
e. Menganalisa dan menginterpretasi
data
f. Melaporkan dan mengevaluasi
penelitian
Metode
Pengambilan Data
Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang terbuka dan luas, metode
pengambilan data kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan
penelitian serta sifat objek yang diteliti. Metode pengambilan data dalam
penelitian kualitatif antara lain: wawancara, observasi, diskusi kelompok
terfokus, analisa terhadap karya (tulis, film, dan karya seni lain), analisa
dokumen, analisa catatan pribadi, studi kasus, studi riwayat hidup dan
sebagainya. Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2006) menyatakan bahwa sumber
data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata atau tindakan,
selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Dalam penelitian
ini, metode pengambilan data dilakukan dengan wawancara.
Menurut Poerwandari (2007) ada beberapa ragam
metode pengumpulan data, diantaranya yaitu : Observasi, wawancara, diskusi
kelompok terfokus, penelitian partisipatoris, metode – metode yang terkait
dengan gambar atau penggunaan foto, metode pemetaan, metode – metode dengan
drama,dan oral history.
Dalam
penelitian ini, metode pengumpulan data yang akan digunakan adalah observasi,
dan wawancara. Karena sifat penelitian kualitatif yang fleksibel dimungkinkan
adanya tambahan data – data lain seperti foto ataupun catatan
harian.
1. Wawancara
Menurut Banister
(dalam Poerwandari, 2007) wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang
diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila
peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif
yang dipahami individu, berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud
melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat
dilakukan melalui pendekatan lain.
Metode
pengumpulan informasi yang terdiri dari pernyataan-pernyataan memerlukan
kemampuan untuk menggali atau probing dari jawaban-jawaban
responden, sehingga informasi yang diperoleh akan lebih spesifik yaitu berupa
informasi mengenai perasaan, perilaku dan informasi lainnya yang dimiliki oleh
individu. Keberhasilan dari wawancara sangat dipengaruhi oleh perencanaan terlebih
dahulu (Stewart dan Cash dalam Moleong, 2006).
Adapun struktur wawancara menurut
Stewart dan Cash (dalam Moleong, 2006), antara lain adalah:
a.
Interview Guide
(Pedoman wawancara)
Pedoman
yang disusun oleh pewawancara yaitu merupakan sebuah outline yang
berisikan aspek-aspek utama dari topik wawancara.
b.
The Opening (Pembukaan)
Menciptakan
atmosfir yang saling memiliki kepercayaan dan saling menghargai sehingga dapat
membentuk hubungan positif antara pewawancara dan responden.
c.
The Body (Isi)
Pewawancara
menggali jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan mempersiapkan
pertanyaan-pertanyaan lanjutan dari pedoman wawancara.
d.
The Closing
(Penutup)
Pewawancara mengakhiri wawancara ketika informasi yang diperoleh telah
didapat dari responden.
Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2007) wawancara secara umum dapat
dibedakan menjadi tiga pendekatan, yaitu:
a.
Wawancara informal
Proses wawancara didasarkan
sepenuhnya pada berkembangannya pertanyaan-pertanyaan secara spontan dalam
interaksi alamiah. Tipe wawancara demikian umumnya dilakukan oleh peneliti yang
melakukan observasi partisipatif. Dalam situasi demikian, orang yang diajak
bicara mungkin tidak menyadari dirinya sedang diwawancarai secara sistematis
untuk menggali data.
b.
Wawancara dengan
pedoman umum
Dalam proses wawancara ini peneliti
dilengkapi dengan pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu
yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa
bentuk pertanyaan eksplisit. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti
mengenai aspek – aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek
(checklist) apakah aspek – aspek relevan tersebut telah dibahas atau
ditanyakan. Dengan pedoman demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana
pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya,
sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks actual saat wawancara
berlangsung. Wawancara dengan pedoman sangat umum ini dapat bnerbantuk
wawancara terfokus, yakni wawancara yang mengarahkan pembicara pada hal – hal
atau aspek – aspek tertentu dari kehidupan atau pengalaman subjek. Tetapi
wawancara juga dapat berbentuk wawancara mendalam, dimana peneliti mengajukian
pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek, secara utuh dan mendalam.
c.
Wawancara dengan pedoman
terstandar yang terbuka
Dalam bentuk wawancara ini, pedoman
wawancara ditulis dengan rinci, lengkap dengan set pertanyaan dan penjabarannya
dalam kalimat. Peneliti diharapkan dapat melaksanakan wawancara sesuai sekuensi
yang tercantum, serta menanyakannya dengan cara yang sama pada responden –
responden yang berbeda. Keluwesan dalam mendalami jawaban terbatas, tergantung
pada sifat wawancara dan ketrampilan peneliti.
Dalam
penelitian ini akan digunakan wawancara dengan pedoman umum dimana peneliti mencantumkan
isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin
tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Pedoman wawancara ini digunakan untuk
mengingatkan peneliti mengenai aspek – aspek yang harus dibahas, sekaligus
menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek – aspek relevan tersebut telah
dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian, peneliti harus memikirkan
bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara konkrit dalam kalimat
tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara
berlangsung. Wawancara dengan pedoman sangat umum ini dapat berbentuk wawancara
terfokus, yakni wawancara yang mengarahkan pembicara pada hal – hal atau aspek
– aspek tertentu dari kehidupan atau pengalaman subjek. Tetapi wawancara juga
dapat berbentuk wawancara mendalam, dimana peneliti mengajukian pertanyaan
mengenai berbagai segi kehidupan subjek, secara utuh dan mendalam
2. Observasi
Istilah observasi ditunkan dalam bahasa
latin yang berarti “melihat” dan “memperlihatkan”. Istilah observasi diarahkan
pada kegiatan memperhatikan secara actual, mencatat fenomena yang muncul, dan
mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Observasi selalu
menjadi bagian dalam penelitian psikologis, dapat berlangsung dalam konteks
laboratorium (eksperimental) maupun dalam konteks alamiah (Banister, dalam
Poerwandari 2007).
Patton (dalam Poerwandari, 2007) menegaskan
observasi merupakan metode pengumpulan data esensial dalam penelitian, apalagi
penelitian dengan pendekatan kualitatif, agar memberikan data yang akurat dan
bermanfaat.
Menurut Poerwandari (2007)
tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas –
aktivitas yang berlangsung, orang – orang yang terlibat dalam aktivitas, dan
makna kejadian dilihat dari persepktif mereka yang terlibat dalam kejadian yang
diamati tersebut.
Kemudian menurut Wilkinson
(dalam Minauli, 2006) observasi adalah aspek penting bagi banyak ilmu
pengetahuan dan telah memainkan peranan penting dalam perkembangan psikologi
sebagai suatu disiplin ilmu. Kekuatan utama dari observasi adalah karena ia
dapat diamati secara langsung dan tepat. Observasi adalah metode yang paling
penting dalam pengumpulan data.
a.Unsur – Unsur Observasi
Secara umum menurut Nietzel
(dalam Minauli, 2006) metode observasi memiliki unsur – unsur sebagai berikut :
1.
Pemilihan (selection)
Observer pertama kali memilih orang
(selects) orang, mengklasifikasikan perilaku, kejadian, situasi, atau periode
waktu yang akan menjadi fokus perhatian.
2.
Pembangkitan (provocation)
Keputusan harus dibuat
mengenai apakah perlu membangkitkan (provoke) perilaku dan situasi atau
menunggu hingga hal itu terjadi dengan sendirinya.
3.
Pencatatan (recording)
Perencanaan dibuat untuk
merekam (record) observasi, apakah dengan menggunakan ingatan observer,
lembaran catatan, audio atau videotape, system monitoring fisiologis, penunjuk
waktu, alat penghitung, atau yang lainnya.
Menurut Banister (dalam Poerwandari, 2007) dalam membuat catatan
dalam observasi hal – hal yang harus diperhatikan adalah
a.
deskripsi konteks
b.
deskripsi mengenai karakter
orang – orang yang diamati
c.
deskripsi tentang siapa yang
melakukan observasi
d.
deskripsi mengenai perilaku
yang ditampilkan orang – orang yang diamati
e.
interpretasi sementara peneliti
terhadap kejadian yang diamati
f.
pertimbangan mengenai
alternative interpretasi – interpretasi lain
g.
eksplorasi perasaan dan
penghayatan peneliti terhadap kejadian yang diamati.
4.
Pemberian kode (encoding)
Akhirnya mengembangkan
suatu system untuk pengkodean (encoding) dari observasi mentah kedalam bentuk
yang dapat digunakan.
Menurut Poerwandari (2007)
koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistematiskan data
secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang
topic yang dipelajari.
C. Responden
Penelitian
1. Karakteristik Responden
a.
Para remaja laki-laki,
b.
Usia 12-21 tahun,
2. Jumlah Responden
Menurut Banister (dalam
Poerwandari, 2007) mengatakan dengan fokusnya pada kedalaman dan proses,
penelitian kualitaif cenderung dilakukan dengan jumlah kasus sedikit. Suatu
kasus tunggal pun dapat dipakai, bila secara potensial memang sangat sulit bagi
peneliti memperoleh kasus yang lebih banyak, dan bila dari kasus tunggal
tersebut memang diperlukan sekaligus dapat diungkap informasi yang sangat
mendalam.
Sarantakos (dalam Poerwandari, 2007)
mengemukakan karakteristik prosedur penentuan responden dalam penelitian
kualitatif pada umumnya adalah sebagai berikut:
a.
Diarahkan
tidak pada jumlah sampel yang besar
b.
Tidak
ditentukan secara kaku sejak awal,
tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik
sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian
c.
Tidak
diarahkan pada keterwakilan dalam arti jumlah atau peristiwa acak, melainkan pada kecocokan konteks.
Dengan
karakteristik seperti disebutkan diatas, jumlah sampel dalam penelitian
kualitatif tidak dapat ditentukan secara tegas di awal penelitian. Dalam penelitian ini, jumlah responden yang
direncanakan adalah sebanyak 6 (enam) orang.
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini
akan dilakukan pada bulan April tahun 2013. Proses wawancara
bisa dilakukan langsung di lokasi sekolah, di taman ataupun di rumah
responden sendiri, sesuai dengan kemauan responden.
D. Alat Bantu Pengumpulan Data
Pencatatan data
selama penelitian penting sekali karena data dasar yang akan dianalisis
didasarkan atas “kutipan” hasil wawancara. Oleh karena itu, pencatatan data
harus dilakukan dengan cara yang sebaik dan setepat mungkin. Kedudukan peneliti
dalam penelitian kualitataif cukup rumit, untuk itu diperlukan instrumen atau
alat penelitian agar dapat membantu peneliti dalam mengumpulkan data (Moleong,
2006).
Alat bantu yang
akan digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara, dan sebuah alat
perekam yaitu tape recorder.
1. Pedoman Wawancara
Pedoman
wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus
dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah
aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari, 2007).
Pedoman wawancara bertujuan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari
tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat bantu untuk
mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data
nantinya.
2.
Alat Perekam (tape recorder)
Alat perekam digunakan untuk memudahkan peneliti dalam mengulang kembali
hasil wawancara yang telah dilakukan. Dengan adanya hasil rekaman wawancara tersebut akan memudahkan peneliti apabila ada
kemungkinan data yang kurang jelas sehingga responden yang diwawancarai dapat
dihubungi kembali. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan memperoleh
persetujuan responden terlebih dahulu.
E. Prosedur
Penelitian
Tahap-tahap
penelitian kualitatif dengan salah satu ciri pokoknya peneliti sebagai alat
penelitian, menjadi berbeda dengan tahap-tahap penelitian nonkualitatif. Tahap-tahap penelitian kualitatif (Moleong, 2006), terdiri dari:
1. Tahap Persiapan Penelitian
Tahap persiapan penelitian
dilakukan untuk mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan dalam penelitian:
a.
Mengumpulkan
informasi tentang isu-isu yang berhubungan dengan Hubungan kenakalan Remaja
dengan Prestasi Belajar Peneliti mengumpulkan semua informasi yang berkaitan
dengan Hubungan kenakalan Remaja dengan Prestasi Belajar. Selanjutnya peneliti
menentukan karakteristik responden yang akan disertakan dalam penelitian ini.
b.
Menyiapkan pedoman
wawancara
Agar wawancara yang dilakukan tidak
menyimpang dari tujuan penelitian, sebelum wawancara dilakukan, peneliti
terlebih dahulu menyiapkan pedoman wawancara yang disusun berdasarkan teori
yang ada.
c. Menghubungi calon responden yang sesuai
dengan karakteristik responden
Setelah peneliti
memperoleh beberapa orang calon responden, peneliti menghubungi calon responden
untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya
untuk berpartisipasi dalam penelitian. Apabila calon responden bersedia, peneliti
kemudian menyepakati waktu wawancara bersama calon responden.
d.
Melaksanakan rapport
Menurut Moleong (2006) rapport
adalah hubungan antara peneliti dengan subjek penelitian yang sudah melebur
seolah-olah sudah tidak ada lagi dinding pemisah diantara keduanya. Dengan demikian, subjek dengan sukarela dapat menjawab
pertanyaan atau memberi informasi yang diberikan oleh peneliti.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Setelah tahap
persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki tahap pelaksanaan
penelitian.
a.
Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara.
Sebelum wawancara dilakukan,
peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati
bersama dengan responden. Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum
wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan responden dalam keadaan sehat
dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara yang telah dilakukan.
b.
Melakukan wawancara berdasarkan
pedoman wawancara
Sebelum
melakukan wawancara, peneliti meminta responden untuk menandatangani lembar
persetujuan wawancara yang menyatakan bahwa responden mengerti tujuan
wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk
mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu serta memahami bahwa hasil
wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.
c.
Memindahkan
rekaman hasil wawancara kedalam bentuk transkrip verbatim
Setelah hasil wawancara diperoleh, peneliti
memindahkan hasil wawancara dan observasi ke dalam verbatim tertulis. Pada
tahap ini, peneliti melakukan koding yaitu membubuhkan kode-kode pada materi
yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan
mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat
memunculkan gambaran topik yang dipelajari (Poerwandari, 2007).
d.
Melakukan analisa data
Bentuk
transkrip verbatim telah selesai, kemudian dibuatkan salinannya dan diserahkan
kepada pembimbing. Pembimbing
membaca verbatim berulang-ulang untuk mendapatkan gambaran yang jelas. Setelah
itu, verbatim wawancara disortir untuk memperoleh hasil yang relevan dengan
tujuan penelitian dan diberi kode.
e.
Menarik
kesimpulan, membuat diskusi dan saran
Setelah analisa data selesai peneliti menarik
kesimpulan untuk menjawab permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan diskusi
terhadap kesimpulan dan seluruh hasil penelitian. Dengan memperhatikan hasil
penelitian, kesimpulan data, dan diskusi yang telah dilakukan, peneliti
mengajukan saran bagi penelitian selanjutnya.
3. Tahap
Pencatatan Data
Semua data yang diperoleh
pada saat wawancara direkam dengan alat perekam dengan persetujuan subjek
penelitian sebelumnya. Dari hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan
secara verbatim untuk dianalisis. Transkrip adalah salinan hasil wawancara
dalam pita suara kedalam ketikan di atas kertas.
F. Prosedur Analisis Data
Data penelitian kualitatif
tidak berbentuk angka, tetapi lebih banyak berupa narasi, cerita, dokumen
tertulis dan tidak tertulis (gambar atau foto) ataupun bentuk-bentuk nonangka
lainnya. Penelitian kualitatif tidak memiliki rumusan atau aturan absolut untuk
mengolah dan menganalisis data (Poerwandari, 2007). Moleong dan Poerwandari
menjelaskan prosedur analisis data dalam penelitian kualitatif adalah sebagai
berikut:
1.
Mengelompokkan data menjadi
bentuk teks
2.
Mengelompokkan data dalam
kategori-kategori tertentu sesuai dengan pokok-pokok permasalahan yang ingin
dijawab. Dalam hal ini pertama-tama dilakukan sorting data untuk memilih
data yang relevan dengan pokok permasalahan dan tahap kedua dilakukan coding
atau pengelompokan data dalam berbagai kategori.
3.
Dilakukan
interpretasi awal terhadap setiap kategori data. Dari hasil interpretasi awal
ini peneliti dapat kembali melakukan pengumpulan data dan melakukan kembali
proses 1 sampai 3. Hal ini merupakan keunikan lain dari penelitian kualitatif,
dimana selalu terjadi proses “bolak-balik“ dari pengumpulan data dan proses
interpretasi atau analisis.
4.
Mengidentifikasi
tema utama atau kategori utama dari data yang terkumpul. Hal ini dilakukan
untuk melihat gambaran apa yang paling utama tampil dan dirasakan oleh subjek
penelitian. Jika ditemukan tema utama, maka hasil interpretasi lainnya
merupakan penunjang untuk menjelaskan dinamika tema tersebut.
5.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi Penelitian di lakukan di daerah deli sedang dengan
lokasi yang terhindar dari keributan kenderaan bermotor,sepeda
motor,mobil,becak dan sebagainya,namun lokasi yang lakukan langsung ketempat: Sekolah
Minggu Buddha yang beralamatkan JL.LK.VI.Gg. kebun sayur 13 Deli Tua Barat kec.
Deli Tua Ksh. Deli Serdang Sumatera Utara.
A.Waktu Penelitian
Waktu Penelitian
lebih kurang pada pagi hari menjelang siang hari, dimana waktu yang baik bagi
penelitian dan waktu baik pada siswa kira-kira waktu di hari minggu dan senin
di jam 90.30 - 11.00 Wib, begitu juga
bisa ambil wawancara lanjutan hari senin berikutnya waktu pada jam 12.00 - 13.00 Wib siang hari.
6.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di. Sekolah Minggu Buddha berada
di
Alamat : JL.LK.VI.Gg. kebun sayur 13 Deli Tua Barat kec.Deli
Tua Ksh.Deli Serdang Sumatera Utara.
7.
Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan
pada bulan April 2014
A.Teknik
Obsevasi Wawancara
1.
Rekama rekoder
Dengan wawancara mengunakan handpon
sebagai alat rekoder,disaat rekaman bersama subjeck berjalan dengan lancar
dengan berbagai pertanyakan dan di rekam dalam handpon
2.
Tanyak jawab langsung kepada subjeck
Tanyak jawab langsung kepada subjeck
di tempat itu, banyak informasi juga di dapat dengan hasil rekaman dari rekoder,
kemudian hasil pertanyakan juga langsung di ketik kembali ke computer dengan
mendengar kembali isi cerita pertanyakan dalam hasil remakan rekoder handpon
(VERBATIN)
Daftar pustaka
Kelvin Seifert (2012) Pedoman Pedoman
Pembelajaran&Instruksi Pendidikan Diterjemakan dari buku Education
Psycbology Houghton Mifflin Company Boston,1983,Penerbit IRCiSoD,Sampang
Gg.Perkutut No.325-B.jlWonosari,Jogjakarta.
SyaifulSagala, (2012) konsep dan Makna
Pembelajaran, penerbit Alfabeta, Bandung. jl Gegerkalong Hilir No. 84 Bandung.
Alsa,
A. (2003). Pendekatan
Kuantitatif dan Kualitatif serta Kombinasinya dalam Penelitian Psikologi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Carole
wade, (2007) Psikologi,
jilit 1, penerbit Erlangga jl, H, Baping Raya No. 100 Ciracas, Jakarta 13740.
Parawira,
(2013) Psikologi Kepribadian,AR-RUZZ MEDIAJL, Anggerk 126 Sambilegi,
Maguwoharjo, Depok, Seman, Jogjakarta 55282
Corole
wade, (2007) Psikologi,
jilit 2, penerbit Erlangga jl, H, Baping Raya No. 100 Ciracas, Jakarta 13740.
Diane
F. Papalia (2008) Human Development (Psikologi Perkembangan) Jakarta, Kencana,
2008
John
W. Santrock (2011) Psikologi Pendidikan Jakarta Kencana, 2011