Kim,
seorang pembicara tamu di kelas Pengembangan para dewasa, adalah seorang
perawat yang telah positif mengidap HIV selama 6 tahun. Pada pemeriksaan
terakhirnya, sel T dari Kim terhitung sejumlah 260. Ketika penghitungannya
mencapai 200, pusat dari kontrol penyakit mengklasifikasikan seseorang sebagai
pengidap AIDS.
“Saya bekerja untuk
merawat orang-orang yang terkena AIDS sebagai suster jaga di ruangan rumah sakit.
Saya bekerja dengan situasi ini dan saya telah memiliki suntikan darahnya. Saya
mengumpulkan jarumnya dan tidak sengaja menyuntik darah tersebut ke urat nadi
saya, untuk pertama kalinya hal ini terjadi di sebuah rumah sakit
kota. Pada awalnya saya masih negatif,
kemudian beberapa bulan selanjutnya, saya dites positif terkena penyakit
tersebut. Mereka mengangkat saya dari lantai. Saya merasa mereka mengambil
nyawa saya pergi. Orang-orang tidak ingin berada di sekitar saya karena
saya sangat tertekan. Saya bekerja 2 tahun kedepan dan berhenti untuk pekerjaan
lainnya dan kemudian ditempatkan pada bagian cacat saraf, dimana itu merupakan
sesuatu yang disebabkan oleh virus tersebut. Saya telah menjadi cacat dan
berbicara pada grup sekarang selama 3 tahun. Bukan hanya kamu yang berdampak pada penyakit ini. Itu
berdampak pada setiap orang yang kamu cintai. Saya pulang ke rumah
setiap hari. Itu saya lakukan selama setahun. Saya berharap suatu saat saya dapat memberitahu pada anak-anakku. Pada saat mereka berumur 16, 17 dan 6, kamu dapat mendengar
sebuah peniti jatuh. Saya adalah ibu mereka. Saya selalu berada di sana. Mereka tidak
mempunyai kakek, nenek / ayah yang turut serta. Sekarang mereka berpikir. Ibu
saya terkena “HIV. HIV
sama dengan AIDS. AIDS
sama dengan Kematian”. Hal tersebut merupakan 5 tahun yang lalu. Sekarang anak-
anak saya berumur 21 , 22 ,12 tahun. Saya memiliki seorang cucu perempuan. Saya
mempunyai banyak hal yang perlu dikerjakan. Beberapa kali saya terbangun di malam
hari karena mendengar suara anak perempuan tertua saya menangis. Saya akan
merangkak ke tempat tidur dengannya. Dia akan berkata, “ Ibu, engkau
akan meninggal dunia”. Ketika putri termuda saya berusia 6 tahun,
dia tidak mengerti. Tahun ini mereka mulai belajar tentang AIDS di sekolah.
Ditambah lagi penghitungan saya mulai menurun. Putri saya mulai menangis di sekolah.
Dia khawatir. Dia
tahu bahwa di wasiatku, adikku yang paling
muda akan mengangkatnya.
Dia datang padaku suatu hari dan berkata “Ibu,
mungkin aku harus terbiasa dengan rumah baru dan sekolah baru.” Saya berkata kepada
saudara perempuan saya dan dia setuju. Ketika putri saya pergi, saya menagis
sampai tidur berminggu-minggu. Saya
merasa lelah terhadap segala hal, lelah akan perasaan tidak enak, makan pil berdosis besar,dan melihat
sel T selalu menurun setiap kali bertemu dokter. Saya merasa lelah berpikir rasanya
menjadi sakit, dan bagaimana saya melihat orang lain sakit tapi saya mau ada
untuk anak-anak saya. Apa yang terjadi merupakan tanggung jawab saya.
Menyalahkan orang lain tidaklah berguna. Saya memberitahu kepada setiap remaja
setiap waktu. Saya berharap memiliki kesempatan kedua. Saya tidak dapat
mengambil AZT lagi . Saya
telah terpilih
dan
dibayar
sesuai plot saya. Saya biasanya disuruh membuat presentasi. Saya tidak
menyesali hidup saya. Saya takut untuk meninggalkan anak saya. Saya ingin
melihat cucu saya tetapi saya menuju kematian. Saya dapat merasa saya dapat
membicarakan penyakit ini selamanya.”
Ketika kita berpikir
tentang kejadian yang paling putus asa, yang dihadapi Kim merupakan tingkat
pertama. Siapa yang dapat membayangkan situasi yang lebih sulit dari menghadapi tahun-tahun bahwa
dia akan segera meninggal? Kematian
dan mati selalu ada dipikiran Kim, sebagaimana mungkin kita berpikir bahwa apa
yang akan terjadi jika seseorang berhadapan dengan penyakit mematikan.
Bagaimana sering kita berpikir tentang kematian ketika kita sehat. Faktor apa yang
mempengaruhi ketakutan kita akan kematian? Ini merupakan pertanyaan tentang
kecemasan kematian. Tingkat keseringanya, kedalamanya, dan di berbagai kondisi
kehidupan.
KETAKUTAN
KEMATIAN (DEATH ANXIETY)
Untuk melihat seberapa
sering orang sehat berpikir tentang kematian, peneliti mengintruksi 4.420 orang dengan berbagai usia
dan bertanya pada mereka tentang apa yang mereka pikirkan dalam 5 menit ( Cameron , Steward dan Biber , 1973). Kemudian
mereka ditanya langsung tentang kematian. Adakah
pemikiran itu terlintas di pikran
seseorang? Peneliti mendekati subjeknya diwaktu yang berbeda dan tempat yang berbeda, seperti di sekolah dan di rumah,
dan menyuruh mereka untuk mengukur mood
mereka pada saat itu. Akankah orang-orang
berpikir bahwa kematian pada keadaan
tertentu atau waktu yang berbeda?
Pemikiran
tentang kematian tidak bervariasi akan waktu dan tempat. Mereka tidak terjadi
hanya karena
orang merasa sedih, merasa sama dengan hubungan akan berbagai macam perasaan. Ada perbedaan jenis
kelamin dan usia, tetapi hanya pada jumlah orang yang melaporkan bahwa
pemikiran tentang kematian melintas di pikiran mereka. Wanita mempunyai
pemikiran ini lebih sering daripada pria; remaja, dewasa muda dan orang tua
lebih sering daripada usia yang lainnya. Akhirnya, meski dalam bagian yang
kecil (3%) dari orang-orang melaporkan
sedang berseteru dengan kematian, jumlah yang cukup besar (hampir 20% dari pria dan
25% dari wanita) berkata bahwa ide tersebut melintas di pikiran mereka
setidaknya sekali dalam 5 menit.
Bertanya langsung tentang kematian,
mungkin para peneliti menganggap orang-orang salah mengingat punya pikiran ini. Tetapi bagaimana
tentang menemukan pemikiran tentang kematian
dihubungkan positif juga seperti mood yang negatif? Bukankah kita seharusnya
berpikir tentang kematian jika kita merasa depresi? Faktanya, ketika
peneliti lain bertanya pada para orang dewasa untuk membuat luasnya konsep akan
kesenangan, kematian menempati tempat terakhir (Kogan and Wallach, 1961).
Bagaimanapun, dalam penambahan adanya pemikiran teburuk,
kematian dapat dilihat, seperti pada teori Erik Erickson, seperti pada hal alami yang
terjadi dan diterima dalam hidup penuh. Itu bahkan
dapat membuat mengangkat
makna konotasi. Kematian adalah saat
dimana kita pastinya melawan hidup hingga ke bagian terpentingnya. Itu
merupakan waktu untuk bertemu dengan Tuhan, bersatu
dengan yang dicintai yang telah pergi duluan (Ross and Pollio, 1991).
Ketika pertamanya kita mungkin ragu-ragu, peneliti
berkesimpulan bahwa fakta dimana rasa senang juga kadang-kadang menjadi bagian
dari gambaran tentang kematian. Deidre Barrett (1988-1989) membuat daftar nama buku murid sekolah tinggi tentang
mimpi yang berhubungan
dengan kematian. Ketika mimpi
akan kematian (“orang
asing yang sepertinya akan menembakku”) sering mengalami mimpi buruk, mimpi
akan menjadi mati biasanya sangat menginspirasi :
Saya mulai mengambang bagai lengkungan pelangi… Itu
sangat indah… Seluruh waktu dari mimpiku… Aku merasa lebih baik dari yang
pernah kurasakan
seumur hidupku.
Jam dinding menunjukkan angka 12 dan tiba tiba saya
mendapatkan serangan pusing. Ibu saya dan saya berubah menjadi energi murni, cahaya suci. Kami
dapat pergi kemanapun, bebas dari tubuh kami.
(hal.99)
Penelitian Barrett dan interview kami
menyarankan bahwa, seperti dengan peristiwa
kehidupan orang lain, kita tidak dapat mengambil pendekatan yang sederhana akan
kematian. Perasaan
tentang kematian ada berbagai macam. Mereka
harusnya diukur dengan pendekatan multidimensional. Seperti yang biasa kita
tahu, satu perubahan berhubungan dengan
yang terjadi setelahnya (Buhler, 1995; Gesser, Wong, dan Reker, 1987-1988).
Beberapa orang mungkin
diteror oleh pemikiran
untuk mati, lainnya dari kematian, mengalami sakit dari penyakit parah. Probing kecemasan kematian
mungkin perlu menggunakan
ukuran non-tradisional,
seperti mimpi, karena perasaan dan sikap
terungkap melalui teknik-teknik sadar yang mungkin menawarkan
informasi yang tidak
kita dapat dengan cara menanyakan “Seberapa kamu takut dengan
kematan?” Kebutuhan akan ini lebih rumit dari strategi
menjadi nyata sebagaimana kita cari tahu dengan beberapa prediksi logis tentang
kekhawatiran akan kematian.
Prediksi
akan kecemasan kematian
Penyakit yang mengancam jiwa. Ketika kita berpikir akan
yakinnya peningkatan kecemasan, apa yang pertama muncul di pikiran adalah
penyakit serius. Orang-orang
dengan penyakit yang mengancam nyawa tentunya lebih khawatir tentang kematian
daripada orang dewasa yang sehat.
Asumsi
nyata tersebut secara mengejutkan
sulit untuk dibuktikan. Ketika
beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang-orang
dengan penyakit serius seperti kanker dan AIDS mendapatkan skor tertinggi
tentang kecemasan akan kematian, sering juga rating kecemasan mereka adalah
rata-rata atau bahkan sangat
rendah ( Doughlas Templer, dan Brown, 1986). Satu alasan, dimana akan kita lihat
selanjutnya, adalah orang-orang
menghadapi penyakit mematikan mengalami berbagai macam emosi dari
ketenangan ke depresi ke harapan.
Kecemasan kematian bervariasi sebagai fungsi dari kepribadian secara keseluruhan, baik orang tersebut biasanya
khawatir ataupun tidak. (Hintze, Templer, Cappelletty, dan Frederick, 1993).
Mungkin pengukuran dari orang-orang
yang langsung ditanya tentang perasaan mereka mungkin tidak akan cukup untuk mengukur rasa
takut mereka.
Bert Hayslip, Debra Luhr, dan Michael Beyerlein (1991-1992)
mengekspolari kecemasan kematian diantara pria pengidap HIV positif menggunakan
pertanyaan langsung dan sebuah pernyataan ketakutan. Sebagaimana peneliti
menyimpulkan, ketika menghadapi kematian, penyangkalan adalah mekanikal yang
penting, membuat laporan sendiri , bukan merupakan cara terbaik menghadapinya, membuat laopran
sendiri tidak serta merta merupakan metode yang valid untuk mengurangi
ketakutan (Earl, Martindale, dan Coha, 1991-1992).
USIA. Penanda lainnya yang logis yang berpengaruh pada
kecemasan adalah usia, meskipun disini penanda arah dari hubungan itu tidak
jelas. Di satu sisi, dekat dengan panjangnya usia, orang tua mungkin mendapatkan peringkat lebih tinggi dalam hal tingkat
kecemasannya dibanding yang berusia
muda. Atau mungkin, Erickson berpesan di tahun-tahun kedepan kita mungkin berpikir
bahwa kematian melalui pandangan yang lebih tenang. Kita telah merasakan
segalanya dalam kehidupan, mengalami
kematian orang yang dicintai. Pada saat seperti ini, ketakutan
biasanya rendah sebab kematian itu alamiah, sepantasnya dan benar. Dalam
kutipan Thanalogist Therese Rando (1984) :
Kematian dari seorang
dewasa muda dipenuhi oleh amarah dan kemarahan akan interupsi dari hidupnya
pada saat pemenuhannya… Ada rasa frustasi, amarah, dan perasaan tidak adil dan
dicurangi. Sang pasien menganggap hidup lebih teguh daripada di usia lainnya. Kerugian sekarang
adalah parah, sebagaimana sang pasien tidak akan pernah melihat janji untuknya dan orang-orang
lain yang berarti baginya (khusunya anak anak) terpenuhi (hal. 246.)
Kebanyakan dari kita merasa bahwa
mati di usia muda lebih tragis daripada mati setelah merasakan kehidupan
secara penuh (Callahan, 1994; Jecker and Scheinerman, 1994). Ketika peneliti
bertanya pada sekelompok murid-murid dan orang yang lebih tua untuk memberi peringkat
orang-orang khayalan
dalam membuat prioritas yang mendapatkan transplantasi ginjal, Umur rata-rata ini terungkap (
Busschbach, Hessing, dan Chano, 1993). Tertera dari figure 14-1 bahwa setelah
usia 10, ketika kita mungkin membayangkan penerimanya dapat bertahan untuk
waktu yang lama, yang muda adalah dikedepankan. Terlebih lagi, orang yang lebih
tua dan yang lebih muda setuju: Memberikan kehidupan di usia muda lebih
berharga daripada memberikan
kehidupan bagi seseorang yang berusia 60, setelah kehidupan penuh.
Norma ini tercermin dari apa yang
orang-orang katakan
tentang kematian mereka sendiri. Seringkali, sebagaimana yang diprediksikan
oleh Erikson, orang yang lebih tua memiliki ketakutan yang lebih kecil (Gesser,
Wong, dan Rekker, 1987-1988; Kastenbaum dan Costa,1997). Dalam penelitian panjang dari
orang dewasa yang lebih tua, ketika responden ditanya: “Apakah kamu takut mati?”. Hanya 10% berkata ya.
55% lainnya
terbata-bata menjawab
: “Tidak, tapi saya ingin hidup selama yang saya bisa.” Atau “Tidak, tetapi
saya tidak mau sakit dan bergantung pada orang lain pada waktu yang lama”. Sisa
dari kelompok tersebut mengatakan tidak (Jeffers dan Verwoerdt, 1997).
Di
lain pihak, membandingkan usia dari kelompok tersebut mungkin tidak tepat.
Orang tua tersebut tumbuh besar sebelum era
1960-an, ketika mengakui perasaan
secara terbuka diterima secara budaya. Ketika orang tua sekarang masih muda,
menutup ketakutan tidak terlalu dihukum secara sosial. Dampak yang terjadi dari norma ini
adalah penutupan individual yang mungkin memiliki peran penting dalam
penelitian dibandingkan dengan respon para mahasiswa di era tahun 1930-an dan 1991 terhadap
kecemasan kematian yang sama (Lester dan Becker, 1992-1993). Para mahasiswa
pada era depresi menunjukkan skor yang lebih rendah, menyarankan bahwa satu
alasan yang kita temukan dalam perbedaan usia saat ini mungkin akibat dari
orang tua jaman sekarang yang tidak terlalu mengakui ketakutannya terhadap
kematian.
Orang-orang yang
lebih tua mungkin tidak mau mengakui ketakutan pada diri mereka sendiri.
Mungkin sebagaimana yang kita lihat di awal pada penelitian akan kecemasan
kematian para penderita HIV positif, penyangkalan kerap terjadi pada ujung dari
masa hidup mereka, melindungi orang secara emosional akan fakta bahwa hidup
mereka hanya dalam hitungan tahun dan bulan. Dapat disimpulkan bahwa untuk
mendemonstasikan bahwa orang yang lebih tua lebih sedikit rasa takut, kita
harus melihat dari kedua skala laporan (Handal, Peal, Napoli, dan Austrin,
1984-1985); Hayslip dan Stewart-Bussey, 1986-1987).
Dalam sebuah penelitian yang
menarik, peneliti memberikan tiga tes akan kecemasan kematian bervariasi dari laporan
sendiri untuk ketakutan dari orang dewasa dengan berbagai usia (Feifel dan
Branscomb, 1973). Ketika
ditanya, banyak orang menyangkal bahwa mereka takut akan kematian. Ketika diinstruksikan
untuk mengkhayal, imajinasi mereka menunjukkan keragu- raguan. Pada
skala akhir, sebuah tes hubungan kata, jawaban mereka menunjukkan ketakutan
yang jelas. Terlebih lagi, ketika pada tes terhadap kecemasan yang lebih jelas,
yang lebih tua terhitung lebih sedikit rasa takut. Jadi khusunya orang yang
lebih tua akan lebih mendekati dengan apa yang mereka akui tentang kematian.
Dengan tambahan, bahkan jika setelah
menjalani
kehidupan penuh mengurangi
ketakutan kita dengan yang akan ditutup
usia, itu akan membuat sedikit sentuhan akan proses kematian itu sendiri.
Therese Rando (1984)
menghipotesa bahwa, ketika ketakutan akan kematian merupakan keharusan di usia
tua, ketakutan tersebut semakin dalam. Perasaan cemas orang yang lebih tua adalah “Siapa yang akan menjagaku?” “Akankah aku
menderita dan menjadi beban bagi orang yang kusayangi?” “Akankah aku mati sendirian?”
KEYAKINAN
AGAMA. Faktor ketiga yang menyesuaikan pengaruh kecemasan adalah keyakinan
agama. Bukankah orang yang beragama mempunyai tingkat ketakutan yang rendah,
karena tidak seluruh ide tentang kehidupan yang mengubah kematian yang kita
takutkan menjadi keadaan yang lebih baik?
Banyak
penelitian yang mengemukakan bahwa orang yang religius melaporkan ketakutan
mereka sendiri dan kematian orang yang mereka cintai berkurang. (Powell dan
Thorson, 1991; Smith, Range dan Ulmer, 1991-1992). Orang yang religius lebih
suka mengartikan kematian sebagai kondisi yang positif, sebagai “pintu gerbang”
daripada “dinding” (Ross dan Pollio, 1991; Westman dan Brackney, 1990).
Perlindungan dramatis agama dapat bersiap-siap menghadapi ketakutan yang
terungkap dalam sebuah studi dari orang-orang yang mendekati kematian. Diantara
grup tentara Israel di Lebanon selama peperangan, memiliki pengalaman yang
mengancam hidup meningkatkan kecemasan akan kematian jika tentara tersebut
tidak beriman;
tetapi jika tentara yang memiliki keyakinan iman yang kuat, peristiwa yang sama akan memiliki
dampak ketakutan yang lebih minim (Florian
dan Mikulincer, 1993).
Di
pihak yang lain, sekali lagi, tidak semua penelitian mengungkapkan bahwa orang
yang religuis memiliki skor terendah akan kecemasan tentang kematian! Sebagai
muridku Lita Buhler
(1995) menyimpulkan peninjauan dari penelitian, untuk membuat pengertian akan
penyangkalan lagi membantu untuk membuat perbedaan antara kesulitan dari
komponen ketakutan. Pada penelitian Buhler, selama orang tua yang beragama
memiliki laporan ketakutan yang sedikit tentang apa yang akan terjadi setelah
mati, ketakutan mereka akan proses kematian juga tidak berkurang.
Penglihatan
kita yang mendalam pada kecemasan kematian sekali lagi menggambarkan tantangan
peneliti menghadapi pengukuran tentang apa yang tampaknya menjadi aspek yang
paling sederhana dari kehidupan. Ini menunjukan bahwa di daerah kehidupan ini
adalah penting untuk mengadopsi sudut pandang kontekstual multifaset. Kebutuhan
untuk menghindari generalisasi global dan resep lebih penting karena kita
beralih ke topik utama pada bab ini—sekarat.
SEKARAT
Di universitas, kebanyakan memiliki
pelajaran tentang kematian dan sekarat. Kalian tidak akan bisa memiliki pelajaran ini 30 tahun
yang lalu. Karena benar hal tabu
lainnya, seksualitas, orang sering kali menghindari dalam menyebutkan atau
mempelajari kematian. Sebuah acara yang di buat di akhir 1960-an membawa orang yang
sekarat keluar dari bayangan (Kastenbaum and costa, 1977). Revolusi yang
menekankan keterbukaan dan penentuan nasib sendiri di kebanyaknya area dalam
hidup membuat letupan akan ketertarikan
pada kematian.
Selama
1970-an, bukan hanya
kematian dan sekarat yang menjadi topik
hangat di universitas, tetapi juga mengubah cara kita menghadapi penyakit parah menjadi
penyebab aktivis. Kita bisa melihat ekspresi terakhir dari “death with dignity movement” di Dr. Jack Kervorkian dan mesin bunuh dirinya. Mari kita
lihat lebih lanjut penelitian klasik yang menghasilkan
gerakan ini, darimana kita berasal dan apa yang kita tahu tentang mati dan
sekarat di zaman sekarang ini.
Orangnya
TINGKATAN
KEMATIAN KUBLER ROSS; DESKRIPSI DAN KRITIK:
Batasan dalam gerakan untuk
menyembuhan sekarat adalah teori tingkat kematian dari Elizabeth Kubler Ross
yang kita pakai untuk menjelaskan tingkatan untuk
berdamai dengan sakit parah. Saat menjadi
psikiater di rumah sakit umum pada tahun 1960, Kubler Ross menjadi percaya bahwa pekerja medis mengabaikan
keperluan emosional dari pasien terminal.
Sebagai bagian dari seminar
murid medis, dia mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai pasien sekarat. Selama pekerja medis berada di sana, orang yang diwawancarai
memiliki respon yang berbeda. Banyak yang dengan santai berbicara
terbuka. Fakta dari Kubler Ross diterbitkan dalam sebuah buku berjudul On Death and Dying
bahwa komunikas sangat
penting.
Kubler
Ross (1969) percaya bahwa proses
manusia terdiri dari 5 tingkat untuk menerima
kematian: penyangkalan,
kemarahan, penawaran, depresi dan penerimaan.
Ketika orang mendengar diagnosisnya untuk pertama kalinya, responnya adalah
“Pasti terjadi sebuah kesalahan.” Penyangkalan
akan didampingi dengan mencari bukti yang bertentangan, mengunjungi spesialis
setelah mencari spesialis untuk diagnosis yang berbeda, yang baru, lebih
positif dalam melihat tes. Ketika upaya ini gagal, penyangkalan berlanjut
kepada kemarahan.
Pada tahap ini, orang akan memukul-mukul, meratapi nasib, menyusuri orang
yang ia cintai. Mr.Jones mengkritik dokternya sebagai orang yang tidak peduli
dan tidak sensitif, dia marah pada ayahnya, yang masih hidup. Ide akan “Saya
sekarat” sangatlah tidak adil. Akhirnya emosi ini menghasilkan yang lebih
perhitungan—tawar menawar.
Pada tahap ini, orang akan memohon untuk tambahan waktu, menjanjikan untuk
menjadi “baik” jika kematian bisa diambil sedikit, menawarkan kesepakatan
dengan Tuhan. Kubler-Ross menggunakan contoh terhadap wanita yang memohon kepada
Tuhan untuk membiarkan dia hidup lebih lama untuk menghadiri pernikahan anak
lelakinya yang paling tua:
Sebelum hari
pernikahan, dia meninggalkan rumah sakit sebagai wanita elegan. Tidak akan ada
yang percaya dengan kondisinya yang sebenarnya. Dia...terlihat berseri-seri.
Saya bertanya-tanya apa yang akan menjadi reaksinya ketika waktunya telah
sampai pada yang ia tawarkan.. Saya tidak akan pernah melupakan saat ia kembali
ke rumah sakit. Dia terlihat capek dan agak lelah dan sebelum saya sempat berkata
hallo—ia mengatakan, “Sekarang jangan lupa saya memiliki anak laki-laki yang
lain”
Ketika reaksi
ini mereda, reaksi ini akan digantikan dengan tahap ke empat, depresi. Lalu, respon ini dilanjutkan
dengan penerimaan. Sejalannya waktu,
orangnya, cukup lemah, bukan sedih, marah, atau depresi. Mr.Jones dengan tenang
menunggu kematian. Dia melihat kedepan hingga akhir.
Kubler
Ross tidak pernah membayangkan tingkatan tersebut sebagai baju pengekang, jalan yang benar untuk
mati. Sayangnya, teori tersebut digunakan
seperti itu. Konselor yang bersemangat akan menganggap orang tersebut abnormal jika respon
mereka tidak masuk ke dalam 5 tingkatan tersebut. Bahkan dibuat upaya yang cepat untuk orang dengan
penyakit terminal dari tahap ke tahap! Sekarang, kita harus tahu ide untuk
orang yang bereaksi kaku untuk segala hidup stres adalah salah.
Dalam kasus ini, hal tersebut bisa menjadi bahaya karena
membuat kita menjauhkan diri kita dan perasaan negatif yang dirasakan oleh
orang yang sakit. Daripada memahami orang depresi yang sedang menghadapi
kematian adalah hal yang tidak bagus, melihatnya sebagai “sebuah tahap” mendorong
kita untuk melihat emosi melalui lensa klinis, yang terkadang tidak nyata.
Keluhan yang sah tentang dokter, keluarga, atau teman bisa tidak dihitung,
dilewatkan sebagai “prediksi” tanda-tanda akan tahap kemarahan. Sehingga sebagian besar
ahli melihat upaya
ini untuk menggambarkan perasaan sekarat
dengan campuran emosi. Sementara memusatkan perhatian pada topik yang
diabaikan, hal itu hanya mendorong kekakuannya sendiri, divonis meninggal
(Corr, 1993).
Orang dengan penyakit
terminal akan marah, menolak penyakit mereka, atau peningkatan depresi.
Bagaimanapun, emosi ini tidak akan jatuh ke tahap yang berbeda. Steven Antonoff
dan Bernard Spilka (1984-1985) merekam pasien dengan penyakit terminal pada
suatu titik secara acak selama fase awal, tengah dan akhir dari penyakit
mereka. Berdasaarkan pemikiran dari Kubler-Ross, para peneliti memprediksi
bahwa ekspresi wajah seharusnya dapat menunjukkan sebagian besar kemarahan,
lalu kesedihan, dan kemudian penerimaan sebagai penyakit lanjutan. Kemarahan
dan penerimaan tidak menunjukkan bentuk. Kemungkinan orang akan terlihat marah
di hari-hari terakhir mereka pada awalnya, sama seperti cenderung terlihat
menerima setelah diagnosis mereka sebagai hari atau minggu terakhir mereka.
Perbandingan lain terhadap
orang yang mengatakan kepada orang yang mereka cintai bahwa mereka tahu mereka
sedang sekarat serta menunjukkan beberapa perbedaan antara mereka yang lebih
dekat dibandingkan mereka yang lebih jauh dari kematian. Orang pada hari-hari
sekaratnya tidak memberikan tanda-tanda akan lebih “menerima”. Semua orang yang
ada di penelitian ini memiliki peringkat yang rendah tentang ketenangan dan
kepuasan (Baugher, Burger, Smith, and Wallston, 1989-1990).
Pada pernyataan psikologis
Edwin Shneidman (1976), “pengelompokan yang rumit akan intelektual dan negara
afektif, beberapa hanya sekilas, berlangsung sebentar, atau sehari”
mengkarakteristikan kehidupan seseorang dalam mengatasi stres. Selanjutnya,
kebalikan dari apa yang dikatakan Kubler-Ross, bahkan jika orang tahu penyakit
mereka adalah penyakit terminal, pemikiran tentang “Saya sekarat” tidak
memasuki cara apapun. Manusia berputar diantara kesadaran dan penolakan.
Penolakan dan kesadaran dapat muncul secara bersamaan.
Psikiatris Avery Weisman
(1976) menggunakan frase middle
knowledge untuk menggambarkan suspensi antara tahu dan tidak tahu, keadaan
psikologi yang sering dia amati saat bekerja dengan orang yang sakit parah.
Weisman percaya bahwa middle knowledge cenderung memanifestasikan dirinya pada
titik transisi, seperti ketika terjadi kambuhnya penyakit dan perubahan iklim
emosional. Orang yang dicintai menjadi kurang optimis. Dokter cenderung menghindari
matanya ketika bertanya tentang pemulihan yang terjadi.
Middle
knowledge ditandai dengan perubahan yang tidak terduga pada batas yang diamati
dan disimpulkan. Pasien terlihat tahu atau ingin tahu, tapi mereka biasa
berbicara seakan mereka tidak tahu dan tidak ingin diingatkan apa yang sudah
diberitahukan. Para pasien menegur dokter karena tidak memperingati mereka
tentang komplikasi dalam perawatan atau arah penyakit walaupun dokter sangat
teliti dalam menginformasikan mereka. Contoh-contoh penyangkalan ini adalah
contoh dari middle knowledge.(1976, hal. 459)
Para pembaca yang bertemu
dengan orang yang mempunyai penyakit yang mengancam kehidupan mungkin telah
mencatat bahwa emosi sentral lain dapat menjadi harapan sampai hari-hari
terakhir kehidupannya. Seperti kesimpulan Daniel Klenow (1991-1992), diharapkan
observasi pada orang yang sekarat mendapatkan berbagai sumber. Jika pada
individu beriman, dia mungkin percaya pada campur tangan Tuhan: “Tuhan akan
memberikan obat ajaib yang dapat menyembuhkan.” Yang lain mungkin menaruh
kepercayaan pada ilmu kedokteran: “Walaupun saya mengidap AIDS, saya akan
disembuhkan dengan penemuan obat baru yang sekarang sedang diuji
eksperimental.” Seseorang mungkin menggantungkan harapannya pada meditasi,
terapi alternatif, atau olahraga. Seperti saran yang dikatakan oleh
Kubler-Ross, sumber harapan lain adalah fasilitas medis: “Benar, saya
mendapatkan diagnosis tersebut, tetapi saya tahu tentang kasus dimana seseorang
mengatakan ia hanya memiliki waktu 6 bulan dan dia masih hidup 10 tahun
kedepannya.”
Suatu penelitian yang
sangat menarik yang membandingkan mimpi seorang pasien yang menderita kanker
dan orang dewasa yang sehat menunjukkan bahwa, bahkan pada tingkat yang kurang
sadar, orang akan bergelut dengan ambivalensi dan harapam (Coolidge dan Fish,
1983-1984). Seperti yang mungkin kita duga, mimpi dari orang yang sakit
mengandung gambaran kematian lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa yang
sehat. Bagaimanapun, hanya satu orang yang bermimpi langsung tentang kematian mereka
sendiri. Orang yang sekarat bisa saja bermimpi tentang seseorang yang mati atau
sekarat, terkadang mencoba untuk mencari identitas orang tersebut.
Dari seorang wanita
berumur 27 tahun, setahun sebelum dia meninggal:
Saya pergi keluar menonton semalaman dan
saya sedang berdiri di tengah jalan ketika sebuah mobil berhenti dan melempar
keluar seorang wanita muda yang sudah mati yang sedang hamil... Saya berlari
kesana ketika mobilnya telah pergi dan saya sedang melihat diri saya sendiri di
lantai tetapi wanita itu tidak benar-benar terlihat seperti saya.
Para peneliti percaya bahwa mimpi seperti ini menunjukkan kecemasan dan
ketidakpastian. Kematian milik pemimpi itu sendiri, ketika pusat perhatiannya,
terlalu mengerikan untuk dimimpikan secara langsung. Orang tersebut sedang
bergelut dengan pertanyaan yang sangat penting: “Apakah saya benar-benar akan
mati?” Menariknya, seperti sebuah kebenaran pada mimpi ini, dibandingkan kepada
grup kontrol, orang sakit tidak hanya bertambah sering bermimpi tentang
kematian, tetapi juga tentang sebaliknya. Mereka bermimpi tentang kehamilan,
kelahiran, atau bayi, seperti menciptakan suatu latar baru untuk menebus teror
pada saat mereka sadar.
Dari seorang wanita
berusia 40-an, sebulan sebelum kematian:
Saya melihat seorang wanita yang sangat
bahagia. Bermimpi di sebuah toko serba ada. Wanita tersebut memiliki gaun dan sepatu
yang sangat bagus. Dia membawa seorang bayi di lengannya. Dia sangat menyayangi
bayi tersebut. Ketika saya terbangun, saya merasa sangat bahagia dan aman.
Seperti saat saya menulis mimpi ini ketakutan itu muncul kembali.
COPING AND
LONGEVITY (mengatasi dan umur panjang). Setiap orang
berbeda-beda dalam mengatasi penyakit yang mengancam jiwa, perbedaan tersebut
juga beralasan bagi setiap orang. Seperti Kim, dari hasil wawancara, dia
mencoba untuk memberikan arti penyakit mereka dengan membantu orang lain atau
untuk memaksimalkan waktu untuk menjadi lebih dekat dengan orang yang dicintai
sebelum dia meninggalkan mereka. dan ada beberapa yang lain menjadi lumpuh karena depresi karena
kecemasan (Hilton, 1975). Dapatkah
seseorang mempengaruhi lamanya waktu yang
tersisa?
Menindak
lanjuti pasien yang terkena kanker,
Avery Weismen dan William Worden (1975) menemukan bahwa orang-orang yang hidup
lebih lama dari yang diharapkan berdasarkan tingkat keparahan penyakit yang mereka punya, mereka
mempertahankan hubungan yang responsif
dengan orang lain, terutama pada fase akhir dari penyakit mereka. Mereka lebih tegas dalam
menunjukkan "semangat juang" yang
lebih daripada mereka yang meninggal lebih awal. Dalam studi lain,
dibandingkan dengan kelompok lain, orang yang meninggal dini memiliki gaya
mengatasi yang serupa,
mengungkapkan sedikit marah, tapi banyak mengkritik diri sendiri, rasa
bersalah, depresi, dan ketakutan membahayakan tubuh. Orang yang tidak selamat juga terlibat dalam hubungan
timbal balik. (Viney dan Westbrook, 1986-1987)
Apa itu kematian yang “baik”? Bahkan dalam cara kita
mengatasi penyakit tidak berdampak pada panjang hidup kita, dalam kata Weisman, kita ingin
sebuah kematian yang sesuai,
sebagai menjadi salah satu yang sangat menarik ketika kita menyadari bahwa
kebanyakan orang, seperti Kim,
yang menjalani "bagian akhir" mereka cukup yakin untuk beberapa
periode, apakah itu
seminggu atau beberapa bulan, dari nasib mereka (Schultz dan Schlarbe, 1987-1988).
Apa yang dimaksudkan
dengan kematian yang sesuai?
Charles
Corr (1991-1992) merinci suatu
interpretasi dalam pendekatan berbasis tugas untuk perawatan terminal. Empat tugas perhatian
yang kita harapkan ketika kita sakit parah ;
1.
Kita ingin meminimalisir tekanan fisik,
untuk menjadi bebas dan mengurangi rasa sakit
2.
Kita ingin memaksimalkan keamanan
psikologis, untuk mengurangi rasa takut, kecemasan dan merasa mengendalikan
bagaimana kita mati
3.
Kita ingin meningkatkan hubungan sosial
yang bermakna, untuk menjadi sedekat mungkin dengan orang yang paling kita
sayangi
4.
Kita ingin mengembangkan spiritualitas
dan memaknai bahwa ada integritas dan tujuan hidup kita.
Dalam mencapai
tujuan ini, pengasuh utama orang yang sekarat, perawatan kesehatan yang
profesional, dapat memainkan peranan penting.
Penyedia
layanan kesehatan
Apakah
dokter menarik diri dari pasien mereka yang sekarat setelah mereka tahu bahwa
intervensi mereka tidak akan mencegah kematian, dan mendukung kematian yang tidak
pantas? Survey awal mendukung prasangka bahwa mereka menolak ketika topik ini
ditanyakan. Dari 73 orang dokter yang
disuruh untuk mengisi kuesioner tentang topik
bagaimana merawat pasien yang sekarat, hanya 13 yang bersedia. Sebagian besar menolak ketika topik tersebut terungkap
(Caldwell dan Mishara, 1972). Penelitian lain
menunjukkan sebaliknya, seharusnya seorang dokter adalah ; dokter yang peduli,
berkomitmen dan terlibat secara emosional (Rea, Greenspoon dan Spilka, 1975). Dari
174 psikolog diminta untuk penelitian
ini, hanya 11 menolak. Sebagian
besar sangat dipengaruhi oleh topik yang sedang dibahas. Kebanyakan mereka menguraikan jawaban
mereka terhadap kuesioner yang panjang dengan komentar yang luas. Para peneliti tersentuh oleh rasa kemanusiaan dan keprihatinan
mendalam bagi patologi yang menulis bahwa dia "sering merasa ingin
menangis setelah sehari
melakukan bagian diagnostik sehubungan dengan operasi .... ‘Itu mengganggu saya untuk memikirkan
dampak buruk diagnosis saya pada pasien dan keluarga’” (hal.300)
Ketika
para peneliti mengeksplorasi kecemasan kematian di antara internis, ahli bedah,
dan psikiater yang bervariasi
dalam usia dan tahun praktek, mereka menemukan bahwa, terlepas dari
spesialisasi, dokter baru yang baru memulai
yang paling diteror oleh kematian (Kane dan Hogan, 1985-1986). Sebuah
penelitian juga membandingkan perawat juga
menunjukkan bahwa lansia,
perawat yang lebih berpengalaman akan cenderung melihat kematian dengan
positif, seperti damai atau pembebasan. Para
dokter muda lebih sering melihatnya sebagai bencana, peristiwa mengerikan
(Brent, Speece, Gates dan Kaul
1992-1993; Campbell,
Abernarthy,
dan Waterhouse 1983).
Salah
satu sarana umum untuk menjadi tua,
memiliki pengalaman, bahkan berada di keperawatan, adalah bahwa mereka harus
menunjukkan adanya kontak langsung
dengan orang-orang yang kematiannya sudah dekat. Pembukaan pribadi ini untuk pasien yang sekarat
mungkin penting dalam mengurangi ketakutan.
Dalam
hasil pemeriksaan mahasiswa keperawatan
tentang sikap pasien yang sakit parah, peneliti menemukan bahwa perasaan mereka
menjadi kurang permusuhan sebagai fungsi dari pengalaman mereka sebelumnya
dengan kematian. Pribadi
yang menarik dan kontak profesional dengan
orang-orang sekarat mengurangi dampak
rasa takut secara berbeda. Pengalaman profesional dengan orang-orang sekarat meredakan kecemasan, mengurangi keseganan perawat untuk
menyentuh atau mengobati orang yang sakit
parah. Pengalaman pribadi dengan kematian orang yang dicintai
meningkatkan kepositifan terhadap berkerja dengan kelompok. Siswa dinilai lebih
peduli terhadap kematian sebagai hal yang lebih bermanfaat ketika orang dekat
mereka meninggal (Brockopp, King, dan Hamilton, 1991).
Penelitian
ini menawarkan wawasan yang menarik ke dalam emosi bahwa penyedia layanan
kesehatan membawakan
kepada pasien yang sekarat.
Namun, untuk benar-benar tahu bagaimana sakit parah diperlakukan, kita perlu
mempelajari tindakan, bukan sikap atau laporan diri. Respon dokter untuk
survei mungkin tidak menjadi ukuran yang baik dari cara mereka benar-benar
bertindak ketika berhadapan dengan orang-orang sekarat. Apa yang sebenarnya
terjadi di rumah sakit ketika penderita tidak diharapkan untuk hidup? Ini membawa kita ke
sebuah studi penting kedua yang membantu mendorong gerakan untuk memanusiakan
perawatan terminal.
PENGAMATAN LANGSUNG. Selama tahun 1960’an,
sosiolog Bernard Glaser dan Anselem Strauss (1968) menghabiskan beberapa
bulan diam-diam melihat
perilaku perawat, dan para pembantunya yang bekerja di berbagai rumah sakit
yang berbeda di mana pasien sekarat ditampung. Mereka menafsirkan pengamatan mereka
adalah unik :
Merawat orang sekarat
adalah suatu pekerjaan, seperti yang lain.
Itu penting untuk
melihat bagaimana cara kerja terorganisir.
Pekerjaan merawat orang yang sekarat itu
terstruktur dengan jelas, meskipun implisit, cara : sesuai dengan penyakit
pasien yang diderita. Berdasarkan
orang-orang yang diagnosis dan keadaan fisiknya
saat masuk, sebuah harapan
dibuat tentang bagaimana pola
individu sekarat ini akan dilanjutkan.
“Jadwal sekarat” ini diatur dari
bagaimana staf rumah sakit bertindak. Glaser dan Strauss menggunakan frase yang menarik
untuk merujuk pada jadwal ini-lintasan sekarat.
Glaser
dan Strauss menunjuk beberapa lintasan sekarat. Salah
satu yang ditemukan di ruang gawat darurat yaitu "diharapkan cepat
mati". Seseorang yang
kematiannya sudah dekat, mungkin dari kecelakaan atau serangan jantung, dan
yang tidak memiliki kesempatan untuk bertahan hidup. "Diharapkan berlama-lama
saat sekarat" adalah lintasan lain yang umum, salah satu khas progresif,
penyakit kronis yang fatal, seperti kanker atau dengan penyakit jenis ini lintasan
mungkin "entry-re-entry". Orang
akan kembali ke rumah beberapa kali diantara tinggal di rumah sakit. Atau
mungkin "hukuman percobaan" debit untuk panjang waktu yang tidak
diketahui sebelum diterima kembali dalam krisis terakhir sebelum kematian.
Lintasan tidak selalu dapat diprediksi. “Diharapkan cepat mati” dapat
berubah menjadi “diharapkan berlama-lama saat sekarat” atau mungkin “diharapkan
dapat pulih” jika pasien bersatu. “Diharapkan dapat pulih” mungkin menjadi
“diharapkan cepat mati” jika individu berubah menjadi buruk. Deviasi ini
mengganggu fungsi pekerjaan. Rencana ini menjadi ketinggalan zaman. Perawatan
harus tiba-tiba berubah. Paradoks adalah bahwa jika “dari jadwal” hidup mungkin
berubah menjadi peristiwa negatif :
Seorang pasien
yang diperkirakan akan meninggal dalam empat jam karena tidak mempunyai uang,
tetapi membutuhkan mesin spesial agar dapat bertahan hidup. Rumah sakit swasta dimana
ia telah sering membayar seorang pasien selama tiga puluh tahun sepakat untuk
menerimanya sebagai pasien amal. Dia tidak segera meninggal tetapi mulai
berlama-lama tanpa batas, bahkan sampai ke titik dimana ada harapan hidup.
Masalah uang, akan tetapi, menciptakan banyak kekhawatiran antara kedua anggota
keluarga dan administrator rumah sakit..... Dokter terus menerus harus
meyakinkan kedua belah pihak bahwa pasien (yang tinggal selama enam minggu)
akan segera meninggal; itu adalah mencoba untuk mengubah harapan mereka kembali
ke “mati pada waktunya.”
Perhitungan
lain memiliki efek yang sama, dimana pasien terombang ambing antara “waktu
tertentu untuk mati” atau “berlama-lama.” Dalam pola ini, orang-orang terkasih
akan dengan sedih mengucapkan selamat tinggal, hanya untuk menemukan bahwa
orang memulai menjadi baik. Anggota keluarga, para perawat, dan para dokter
terkadang melaui siklus ini berkali-kali. Pendeta mungkin juga terlibat dalam
hal ini. Semua orang disini juga akan menarik napas lega ketika akhirnya
benar-benar dekat. (Ini tidak berarti bahwa para pekerja rumah sakit berharap
tentang kematian. Kesalahan yang berlawanan, pasien yang akhirnya akan
meninggal diharapkan dapat pulih, bahkan lebih menjengkelkan.)
Staf tidak hanya merasa marah pada
perhitungan salah tentang lintasan, tetapi juga melukai pasien. Jika seseorang “bimbang”
atau “berlama-lama terlalu lama,” perawat dan dokter akan terganggu. Mereka
bisa menjadi kurang responsif, memberikan perawatan yang kurang baik, dan
mungkin mempercepat kematian. Jenis lain dari kesalahan mungkin juga
mempercepat kematian : menugaskan individu untuk layanan yang bukan
lintasannya. Kadang-kadang pasien membutuhkan perawatan yang konstan yang
diberikan pemeriksaan berkala, dan ia meninggal saat diobservasi.
Terhadap Glaser dan Strauss,
pengamatan mereka memberikan kesan bahwa modus pendekatan dari rumah sakit
kepada orang yang sakit parah itu tidak baik. Tujuannya adalah pekerjaan yang
efisien, memberikan perawatan dengan langkah yang minimal. Fokus ini, ketika
berlawanan dengan kenyataan bahwa kematian secara inheren tidak terduga, adalah
dibuat khusus untuk membuat staf frustasi dan perawatan pasien yang kurang
baik.
Surat dakwaan ini, yang diterbitkan
pada waktu yang sama dengan buku Kubler-Ross, membawa pulang fakta bahwa pasien
tidak mendapatkan perawatan yang cocok dengan memiliki kematian yang tepat.
Diperlukan pendekatan yang lebih manusiawi untuk orang-orang yang sekarat.
Langkah pertama dalam
gerakan untuk memanusiakan perawatan terminal adalah untuk terlepas dari obat
tradisional dengan penekanan pada mesin berteknologi tinggi yang ditunjukkan untuk menentang
kematian. Sama
seperti kelahiran, kematian
adalah proses yang alami. Ketika
tidak mungkin adanya intervensi
kuratif, fokus
harus bergeser untuk memberikan kematian yang baik.
Perawatan
rumah sakit
14-2 Pengalaman
orang Dewasa : Aksi tim Rumah Sakit
Rumah sakit Murfreesboro beroperasi
dari sebuah rumah kecil yang nyaman di seberang jalan dari rumah sakit lokal
kami. Berikut adalah beberapa
kutipan dari wawancara dengan tim rumah sakit (perawatan, sosial, pekerja, dan
koordinator relawan)
"Bagaimana anda mendapatkan arahan, yang memilih rumah
sakit, dan
apa yang anda lakukan?” Biasanya
kita mendapatkan arahan dari dokter. Orang
mungkin memiliki sistem dukungan yang luas
di masyarakat atau mereka mungkin pergi ke daerah bahkan ketika
ada banyak orang yang terlibat, hampir
selalu ada pengasuh utama, biasanya
pasangan atau anak dewasa.
Kami melihat peran kita
sebagai pemberdayaan keluarga, memberi
mereka dukungan untuk merawat orang yang mereka cintai yang berada di rumah, kami pergi ke rumah tersebut sebagai sebuah tim untuk membuat
penilaian awal kami : layanan apa yang dibutuhkan keluarga? kami menyediakan
pelatihan keluarga dalam mengontrol rasa sakit, merapikan tempat tidur, di dalam kamar mandi. Komponen penting dari
program kami adalah layanan yang tangguh. Setiap
hari relawan datang. Mereka
mungkin
dapat membawa anak-anak
untuk pergi makan
pizza, atau
memberikan waktu luang bagi pengasuh
utama atau memandikan orang, atau
hanya tinggal disana untuk mendengarkan sesuatu.
Keluarga awalnya akan
mengatakan "Saya
tidak berfikir bahwa saya dapat melakukan
ini." Mereka cemas karena itu
adalah pengalaman baru yang belum pernah mereka
alami. Pada
awalnya mereka mengatakan banyak hal. Kemudian anda melihat
mereka benar-benar mendapatkan kepercayaan dirinya sendiri. Kita melihat mereka di
pemakaman, dan
mereka berterima kasih kepada kami untuk membantu mereka memberikan salah satu
pengalaman yang mereka untai ini. Kadang-kadang
pengasuh utama tidak tahan untuk menjaga orang tersebut di rumah sampai akhir. Kami juga dapat menghormati itu. Seluruh hal tentang
rumah sakit adalah pilihan. Beberapa
orang ada yang ingin berbicara mengenai kematian. Yang lainnya hanya menginginkan kita
untuk berkunjung, bertanya
tentang kebun mereka, atau
berbicara tentang urusan saat ini. Kami
mengajak orang-orang untuk melihat, atau berbicara tentang
urusan saat ini. Kami
mengajak orang-orang untuk melihat daun musim gugur, untuk melihat Santa Claus. Fokus utama kami adalah : "Apa prioritas anda?” Kami mencoba untuk
menangkap itu. Kami
memiliki seorang petani yang tujuannya adalah untuk pergi ke ladangnya untuk
terakhir kalinya dan mengucapkan
selamat tinggal kepada traktornya. Kami
mengumpulkan rak telur dan tangki besar oksigen bersama-sama dan membwa ke
ladangnya. Kami
memiliki satu relawan yang mengambil klien ke mall. Kami tetap berhubungan
erat dengan keluarga selama setahum setelah itu, menyediakan
konseling untuk mereka atau mengacu kepada kelompok berkabung di
masyarakat. Beberapa
keluarga tetap berhubungan dengan cara mencatat di notes selama bertahun-tahun. Kami menjalankan camp
setiap musim panas untuk anak-anak yang
kehilangan orang tua. Kami
memiliki sistem pendukung yang luar biasa yang
diantara staf-staf. Selain dengan menjadi
keluarga pada pukul 3 pagi kita sebut satu sama lain setiap malam. Kebanyakan kita telah
bekerja disini selama bertahun-tahun. Kami
merasa kami memiliki pekerjaan yang paling berarti di dunia.
Filosofi ini menuntun ke alternatif yang terkenal ke rumah sakit
traditional dan perawatan di rumah jompo
yang disebut rumah penampungan. Rumah penampungan
adalah untuk orang dengan kematian yang
pasti, tetapi
siapa yang mungkin memiliki hidup sehanyak 6 bulan, Tujuan dari perawatan
rumah sakit berbeda dari
pengetahuan perawatan tradisional :
untuk menyembuhkan. Hal
ini untuk memberikan perawatan yang terbaik.
Anggota
rumah sakit yang terampil dalam
tehnik dapat meminimalkan
ketidaknyamanan fisik dan dilatih dalam menyediakan lingkungan yang mendukung
fisiologisnya, salah
satu yang menjamin pasien dan anggota keluarga bahwa mereka tidak akan ditinggalkan
dalam menghadapi kondisi yang
mendekati kematian (Cohen, 1979;
Rossman, 1977).
Awalnya perawatan rumah sakit disampaikan
dalam pengaturan rawat inap yang disebut rumah perawatan. Penekanan
gerakan rumah sakit yaitu pada penyediaan
layanan dan dukungan yang memungkinkan orang yang meninggal dengan terhormat di
rumah. Sebagaimana yang dijelaskan
di depan
14-2, menunjukkan tim rumah
sakit memiliki banyak disiplin pergi ke rumah seseorang, menawarkan perawatan
paruh waktu, terjadwal, atau setiap hari. Anggota tim menawarkan
24 jam bantuan dalam krisis, memberikan
perawat kepada keluarga dalam bentuk dukungan yang
mereka butuhkan untuk memungkinkan keluarga
mereka menghabiskan hari-hari terakhirnya di rumah. Komitmen mereka tidak
berakhir setelah seseorang meninggal. Sebuah
komponen penting dari perawatan rumah sakit adalah konseling dukacita.
Sebagaimana
yang dikemukakakan oleh Corr
dalam tugas pertamanya, kontrol
terhadap rasa sakit merupakan
dasar filosofi rumah sakit, mengurangi
penderitaan fisik yang sekarat. Tujuannya
adalah untuk mengurangi rasa sakit
sekaligus menjaga pasien secara waspada dan sebebas mungkin. Pekerja rumah sakit yang
terampil dalam menggunakan obat-obatan.
Mereka dapat menggunakan
tehnik-tehnik psikologis untuk mengurangi rasa sakit, seperti mengajar orang untuk mengalihkan fokus
dari ketidaknyamanannya secara mental, menekankan kegiatan yang
menyenangkan, dan
melatih keluarga untuk menghindari ekspresi kecemasan yang meningkatkan rasa sakit:
Seorang perempuan, sebagai cotoh,
yang
menjadi
kesengsaraan terbesarnya adalah karena dia ingin hidup untuk
melihat cucunya yang
akan segera lahir, tetapi
tahu bahwa itu tidak mungkin. Untuk
mengendalikan rasa sakitnya, akan tetapi, memungkinkan baginya untuk mengumpulkan kekuatan yang cukup
untuk merajut hadiah untuk anak yang tidak akan pernah dia lihat. Ini membantu mencerahkan
hari terakhirnya. Pasien
rumah sakit yang lain telah berbarinng
sepanjang waktu dalam posisi berpegang sebuah termos berisi air panas yang diapit ke dadanya, menatap ke angkasa, mengerang kesakitan
seperti berada di neraka
dan diperparah oleh rasa
sakit seperti api... tetapi ketika tim rumah
sakit menunjukkan bahwa mereka dapat mengontrol
rasa sakitnya, ia menjadi orang yang berbeda, mampu hidup selama
hari-hari terakhirnya.
(Rossman, 1977, hal.126)
Pelayanan rumah
sakit tidak sesuai untuk semua orang. Untuk
memanfaatkan layanan ini, seseorang
harus setuju untuk meninggalkan perawatan yang
bersifat menyembuhkan dan dinilai oleh
dokter dalam waktu enam bulan mendekati
kematian. Hampir
selalu, sebagaimana dalam fitur 14-2,
individu memiliki anggota keluarga yang berkomitmen secara
fisik dan emosional.
Statistik yang dikumpulkan oleh Pusat Pengendalian Penyakit menawarkan
potret dari siapa yang mendaftar. Pada
tahun 1993, dari
50.000 pasien per hari yang menerima
layanan dari 1000 lembaga rumah sakit di Amerika
Serikat, 71% menderita penyakit
kanker. Pasien-pasien ini cenderung adalah lansia. Pada tahun itu, lebih dari 70% orang yang menggunakan layanan ini
berusia di atas 65 tahun. Salah satu alasannya
adalah, bahwa berbeda dari yang sangat tua, kelompok lansia "kaya"
dalam dukungan sosial. Pasien
rumah sakit biasanya dirawat oleh pasangan (Bass,Garland, dan Otto, 1985-1986). Dibandingkan
dengan pasien yang sakit parah yang lebih tua di rumah sakit, pasien-pasien ini
memiliki orang yang lebih banyak tinggal di rumah.
PERINGATAN TERHADAP
YANG SEKARAT DI RUMAH : Sebagaimana yang ditunjukkan pada bagian
14-2, rumah sakit dapat menawarkan ketenangan yang tidak biasa kepada orang yang
sedang kritis dan seseorang yang
dikasihi, mengijinkan keluarga memberikan suatu ungkapan kasih saying yang
terakhir. Tanpa mengurangi keuntungan ini, penjelasan yang bagus dari tim rumah sakit, berfokus pada beberapa peringatan tentang pilihan non-tradisional ini.
Bahkan dengan perlindungan yang
disediakan oleh rumah sakit, mungkin menimbulkan kecemasan terhadap beberapa keluarga untuk memberi dukungan dalam tanggung jawab untuk mengatur krisis yang menakutkan menjelang kematian (Arras dan Dubler, 1994). Sementara jajak pendapat menunjukkan bahwa sebagian besar orang Amerika merasa meninggal di rumah adalah yang
terbaik,bahkan dari perspektif orang yang
sakit ini mungkin tidak seluruhnya benar.
Ironisnya orang tersebut mungkin tidak memiliki privasi seperti di rumah daripada di rumah sakit. Di rumah sakit, perawatan jasmani dilakukan secara rutinitas dan adil. Di rumah, orang merasa terhina dari anggota keluarga yang peduli terhadap kebutuhan fisiknya. Pasien mungkin ingin membagi waktu luang mereka dengan orang yang mereka cintai; mereka mungkin ingin waktu sendiri untuk menangis, untuk melampiaskan amarahnya, penderitaan dan sakit. Di dalam rumah sakit, terdapat kesempatan untuk mengungkapkan emosi secara pribadi. Di rumah, jam
berkunjung tak henti-hentinya
; pasien merasa terpaksa untuk melakukannya dengan cara tertentu.
Sama pentingnya,
perawatan oleh
orang lain bias menyamai perawatan yang bebas dari rasa bersalah.
Banyak orang tidak ingin menjadi beban untuk orang yang mereka cintai. Meninggal di rumah dapat membuat ketegangan terhadap masalah keuangan di rumah
(Arno, Bonuck, dan
Padgug, 1994). Itu juga selalu menurunkan emosi. Di rumah,
terdapat resiko merasa seperti beban, merasa malu menjadi miskin yang menambah
rasa sakit dari penyakit itu sendiri. Mengulang dari Bab 12, bahwa memberikan “terlalu banyak” perhatian dapat juga meningkatkan ketidaknyamanan dalam penyediaan perawatan. Anggota keluarga mungkin merasa membebani lalu kemudian merasa berdosa. Hubungan dengan orang yang sakit bias lebih menumbuhkan ketegangan dan menjauh, daripada menjadi lebih dekat. Untuk ini, kita tidak seharusnya secara otomatis berasumsi bahwa semua orang, bahkan seseorang dengan dukungan penuh keluarga, lebih baik daripada meninggal di rumah.
Program rawat inap
hanya melayani sebagian kecil dari yang sakit parah (Sachs, 1994). Banyak orang tidak memiliki anggota keluarga yang dapat mengambil pekerjaan seperti ini. Bahkan ketika orang yang
dicintai bermaksud meninggal di rumah, seperti yang kita lihat di fitur 14-2 kecemasan atau tuntutan tujuan pemberian keperawatan
mungkin berlebihan dan orang akhirnya dirawat di rumah sakit atau panti jompo
pada akhir dari fase kehidupan. Sehingga upaya juga difokuskan pada
memanusiakan pengaturan utama dimana kematian masih terjadi, yaitu rumah sakit
atau panti jompo.
Memanusiakan Perawatan di Rumah Sakit
PELATIHAN
PERUBAHAN KELEMBAGAAN : Cara pengobatan tradisional tidak tergabung dalam setiap strategi rumah sakit. Sekarang dokter telah dapat memberikan pengobatan sebanyak yang
dibutuhkan untuk mengontrol rasa sakit dalam fase kritis kehidupannya. Terkadang pasien dilepaskan dari alat intensif saat mereka akan meninggal. Mereka dilepas dari mesin dan diberikan waktu yang tidak terbatas untuk bersama keluarga selama jam-jam terakhir mereka. Administrasi rumah sakit secara rutin merubah peraturan waktu berkunjung di hari terakhir seseorang. Sebagai contoh, seorang istri iijinkan tidur di kamar suaminya dan seorang anak dapat berkunjung setiap waktu (Kastenbaum,
1976-1977; Rando, 1984). Beberapa rumah sakit mempunyai unit
perawatan peredaan sama seperti rawat inap dimana pasien dapat tinggal selama beberapa minggu atau seumur hidup.
Dengan maksud untuk melihat apakah unit dasar rumah sakit ikut membantu dalam penyelenggaraan kematian
yang sesuai, peneliti meneliti apakah pasien kanker yang sakit parah dalam dua unit dapat lebih baik secara emosional daripada kelompok pembanding pasien yang
menghabiskan hari terakhir mereka di ruangan tradisional. Setelah melakukan wawancara terbuka, mereka mengkodei jawaban pasien menurut jumlah respon positif dan negatif. Pasien di unit
perawatan paliatif mengungkapkan emosi yang positif dan tidak terlalu marah. Mereka tidak begitu cemas tentang kematian (Viney,
Walker, Robertson, Lilley, and Ewan, 1994).
MENGUBAH ORANG. Sayangnya,
perawatan yang acuh tak acuh dan menghindari kecemasan masih menjadi ciri perawatan tradisional. Seperti
yang kita bayangkan dari diskusi sebelumnya, satu alasanya yaitu bahwa penyedia perawatan kesehatan masih tidak nyaman dan cemas akan menghadapi kematian. Sebagai Greg Sachs (1994),
seorang dokter
yang bekerja dengan orang yang berpenyakit parah, sebutlah,
“Seolah-olah kata sekarat dan kematian telah hampir menghilang dari kosakata dokter sepenuhnya…. Kami telah mendengar, bahkan mereka diperkirakan akan meninggal dalam hitungan jam atau hari yang digambarkan sebagai ‘tidak melakukan dengan baik, membuat peramalan yang buruk,
atau memiliki kesempatan kecil melakukan itu’ “ (hal. 22). Sachs percaya bahwa keenganan untuk menghadapi kebenaran bekerja merupakan kerugian untuk orang yang sakit parah. Untuk perawatan di rumah sakit yang lebih manusiawi, kami harus mengubah emosi dan sikap petugas kesehatan tentang kritis dan kematian.
Ini adalah tujuan dari program
pendidikan kematian,
yang selama beberapa dekade terakhir telah menjadi standar pada bidang medis, karya sosial, dan sekolah keperawatan (Dickinson,
Sumner, dan Federick, 1992).
Program pendidikan kematian dapat bersifat mendidik, fokus dalam menanamkan informasi, atau pengalaman, dengan situasi murid bermain peran atau mengambil pengalaman langsung dalam berurusan degan penyakit parah. Karena dokter mengatur untuk semua perawatan lain dan,
sebagai salah satu studi yang sebelumnya menunjukkan, mungkin memiliki masalah yang paling
berhubungan secara emosional dengan kematian, mari sekarang kita lihat di salah satu awal program pengalaman dalam kematian dan sekarat yang ditawarkan sekolah kedokteran (Davis dan Jessen, 1980-1981) : Selain menghadiri seminar
biasa, murid yang terdaftar dalam kursus menghabiskan satu malam (dari
pukul 17.30 sore sampai pukul 08.00 pagi) “siap
dipanggil” dengan pendeta di sebuah komunitas rumah sakit. Panggilan pada pendeta yang mengunjungi ruang gawat darurat dan perawatan intensif dan perawatan unit koroner,
konsultasi dengan pegawai dan menghibur pasien sekarat dan keluarga mereka. Ketika mereka disertai pendeta pada kondisi ini, siswa yang
mendorong untuk membahas isu-isu etis dan psikologikal yang muncul selama pengenalan pengalaman ini sampai meninggal. Mereka kemudian menulis karangan tentang apa yang telah mereka pelajari :
Itu mungkin yang paling
berarti bahwa kita mengakhiri malam kita dengan sebuah operasi Caesar dan hidup seorang bayi yang sehat! Sekali lagi, bagaimanapun juga, hidup itu diambil untuk diberikan dan sungguh tidak banyak perhatian yang
diberikan untuk itu. Prosedur adalah prioritas tertinggi . . . .
Dokter memeriksa hidung, anus—dalam esensi setiap proyeksi atau lubang tubuh manusia—namun hal yang sangat memegang peranan
adalah memeriksa bagian-bagian secara bersama-sama—hidup—tidak diperiksa sepenuhnya. . . . Itu terlihat ironis untuk mengakhiri panggilan “kematian”
kita dengan kelahiran—mungkin kita mengintip ke dalam makna kematian. (hal. 163)
Sebagaimana karangan ini diungkapkan, dampak langsung dari pengalaman ini bisa mendalam. Dapatkah kursus tunggal ini menghasilkan perubahan yang
berlangsung dalam bagaimana siswa berpikir? Sekilas satu kematian dari perspektif pribadi dapat dengan mudah dilupakan di tengah penurunan perawatan teknis program
orientasi sekolah kedokteran.
Untuk menentukan apakah pendidikan kematian berorientasi psikologis memiliki nilai, para peneliti telah meneliti apakah setelah mengambil kursus ini mempengaruhi sikap dan cara mengobati penyakit kritis (Dickinson dan
Pearson, 1980-1981).
Mereka telah memeriksa dampak bahwa pelatihan dalam mengurangi kecemasan peserta tentang kematian (Hayslip,
Galt, dan Pinder,
1993-1994). Seperti yang kita bayangkan,
sebagian karena sulitnya merubah (dan pengukuran) kecemasan kematian, pendidikan kematian tidak andal mempengaruhi peserta sendiri dalam mencemaskan ketakutan tentang kematian. Namun, saat instruksi itu difokuskan, pendidikan kematian—apakah di
perguruan tinggi,
di program keperawatan, atau di sekolah medis—apakah lebih membuat kepekaan terhadap pasien yang sekarat
(Durlak dan Riesenberg, 1991).
Tren saat ini : Mengendalikan Waktu Kematian
Seperti yang kita lihat, fokus asli
dari gerakan "meninggal dengan martabat" adalah
untuk memungkinkan tidak menggunakan
teknologi, kematian alami. Hari ini prinsip itu telah diperpanjang
satu langkah: Mungkin kita perlu memberikan
lebih banyak kebebasan kepada orang yang sekarat untuk mengontrol kapan mereka
akan meninggal, Pada bagian ini, kita melihat dua
jenis intervensi di dalam
gerakan kedua ini untuk memanusiakan perawatan terminal. Penawaran pertama kepada pasien yang sekarat dan ahli
waris orang-orang terkasih yaitu suatu mekanisme untuk membuat keinginan mereka
diketahui, pengobatan secara mental yang tidak mampu memperpanjang hidup
mereka. Yang kedua adalah langkah yang diwujudkan oleh Dr. Kervorkian dan mesin
bunuh dirinya: Orang harus diizinkan untuk mendapatkan bantuan dalam mengakhiri
hidup mereka.
PETUNJUK KEDEPAN. Setiap instruksi
khusus di muka tentang pilihan
untuk memperpanjang hidup pengobatan disebut petunjuk kedepan. Contoh yang paling terkenal adalah wasiat hidup. Dalam dokumen ini – hukum di
sebagian besar, tetapi tidak semua, negara – seseorang menginstruksikan
dokter tentang keinginan-keinginannya
untuk tetap hidup jika dia benar-benar koma selamanya. Dokumen
lain adalah perintah untuk tidak
menghidupkan yang biasanya ditemukan pada skema pasien, terutama di rumah sakit
swasta. Keluarga atau wali dan dokter mengarahkan
staf rumah sakit atau jompo itu, harus terjadi krisis secara medis pada seseorang
gangguan mental atau sakit parah, CPR tidak boleh dilakukan untuk menyelamatkan
kehidupan seseorang . Tipe lain dari petunjuk
kedepan disebut daya tahan lama dari pengacara.
Dalam dokumen ini, seseorang menunjuk secara
spesifik: individu, biasanya anggota keluarga, untuk
membuat keputusan mengakhiri hidup pada saat seseorang tidak
dapat mengambil keputusan sendiri. Sementara kita cenderung berpikir petunjuk
kedepan hanya dalam hal pengobatan, instruksi ini juga dapat menetapkan bahwa orang tersebut akan diberikan perawatan.
Arahan kedepan melayani tujuan terpuji. Sering kali pelayanan keputusan pengakhiran-hidup perawatan terjadi dalam ruang
hampa, karena tidak ada yang tahu bagaimana orang koma atau yang sangat gila merasa menerima prosedur yang
hanya memperpanjang kematian secara artifisial. Menurut Undang-Undang Penentuan
Diri Pasien, yang menjadi hukum pada tahun 1991, semua lembaga pelayanan
kesehatan yang menerima fasilitas tentang hak mereka untuk menandatangani jenis
ini secara
langsung.
Namun, dokumen ini lebih jarang digunakan daripada kita harapkan. Alasannya
adalah bahwa petunjuk kedepan
juga memiliki masalah serius.
Untuk satu hal, hanya sebagian kecil
orang, bahkan orang-orang dengan penyakit yang mengancam jiwa, mengambil langkah pengajuan secara tertulis secara
langsung.
Orang-orang secara alami enggan untuk menghadapi ketidakmampuan masa depan
mereka sendiri dan kematian (Sachs, 1994). Hanya sekitar 40% orang Amerika memiliki wasiat! Seperti tersirat sebelumnya, dokter cenderung enggan untuk
memulai diskusi ini. Mereka kehilangan kesempatan untuk mendiskusikan kehidupan
akhir perawatan ketika pasien dalam tahap pertama dari apa yang tampak seperti
penyakit mematikan
(Council of
Ethical dan Judical Affairs, American Medical Association, 1991). Dalam budaya tradisional Cina,
misalnya, setiap pembicaraan tentang kematian adalah hal yang tabu (Dubler,
1994).
Terutama ketika mereka tidak memiliki akses yang baik kepada keperawatan
kesehatan, orang enggan untuk menandatangani dokumen penetapan pemotongan
perawatan. Seperti yang dikemukakan oleh seorang pasien, “Saya sudah berjuang
untuk mendapatkan apa yang saya butuhkan sepanjang hidup saya. Saya tidak akan
memudahkan mereka untuk menahan perawatan.” Orang yang memiliki petunjuk
kedepan cenderung berpendidikan dan makmur. (Sachs, 1994), mereka yang paling
beresiko mendapatkan “terlalu banyak perawatan.” Selain itu, petunjuk terlebih
dahulu dikembangkan sebagai respon terhadap sistem perawatan kesehatan dengan
insentif yang kuat dan pengobatan lebih. Iklim yang bergeser dari menggunakan
teknologi mahal untuk mempertahankan hidup. Ketika pasien merasa bahwa bahaya mungkin
karena melakukan terlalu sedikit, ada kemungkinan akan kurang tertarik dalam
menandatangani dokumen yang berfokus pada apa yang tidak diberikan (Wetle,
1994; Danis, 1994).
Bahkan ketika orang menandatangani dokumen ini, tidak ada jaminan bahwa
pilihan mereka akan dituruti. Banyak orang tidak membicarakan keputusan mereka
dengan keluarga atau dokter mereka (Dresser, 1994). Informasi dalam dokumen
tidak jelas. Apa yang dikatakan orang beberapa bulan atau beberapa tahun
sebelumnya tidak dapat benar-benar terlihat mengikat; itu tidak dapat mencakup
semua situasi dan keadaan untuk sepanjang waktu. Dalam sebuah penelitian,
pasien di rumah sakit dan panti jompo ditanya tentang pilihan mereka mengenai
perawatan, dan dokumen-dokumen ini ditempatkan dalam grafik mereka.
Halaman
pertama dari Wasiat
Hidup
saya akan
____________________, dengan sengaja
dan sukarela memberitahukan keinginan saya bahwa kematian saya tidak akan
berkepanjangan dalam situasi yang ditetapkan di bawah, dan dengan ini
menyatakan :
Jika
suatu waktu waktu saya harus menjalani kondisi sekarat dan dokter yang
merawat saya telah menentukan
tidak ada harapan medis dari pemulihan
dan dimana, sebagai probabilitas
medis, akan mengakibatkan, kematian, terlepas dari penggunaan atau penghentian
pengobatan medial yang dilaksanakan
untuk tujuan mempertahankan hidup, atau proses kehidupan, saya memerintahkan
agar perawatan medis ditahan atau ditarik, dan bahwa saya diizinkan untuk mati
secara alami dengan hanya pemberian obat atau kinerja dari setiap prosedur
medis yang dianggap perlu untuk memberikan saya hati yang nyaman atau untuk
mengurangi rasa sakit.
MAKANAN DAN CAIRAN ARTIFISIAL YANG DISEDIAKAN:
Dengan memeriksa baris yang sesuai di bawah ini, saya secara khusus;
_______ memberikan kuasa pemotongan atau
menarik penyediaan makanan, air, atau
makanan lain atau cairan lain secara
artifisial.
________ TIDAK BOLEH
mengotorisasi pemotongan atau penarikan
penyediaan makanan, air, atau
makanan atau cairan lainnya secara
artifisial.
Ini adalah halaman
pertama dari
Wasiat Hidup
Saya
Pemeriksaan
episode yang mengancam jiwa, seperempat dari perawatan waktu itu dianggap tidak
konsisten. Misalnya, warga panti jompo dengan gagal jantung stadium akhir
mungkin membutuhkan CPR dan butuh ditransfer ke rumah sakit dalam kasus
serangan jantung, tetapi setelah dilakukan rawat inap berulang-ulang, keluarga
dan dokter mungkin memutuskan untuk tidak melakukan rawat inap, merasa bawa
tidak ada lagi yang bisa dilakukan (Danis, et al., 1991).
Pada kenyataannya, ketika pasien
dialisis ginjal ditanya secara kompeten, hampir dua pertiga merasa bahwa dokter
mereka harus memiliki waktu luang dengan petunjuk kedepan mereka sendiri
(Sehgal et al., 1992).
Ketika pengganti (orang lain)
membuat keputusan untuk orang cacat, ada kekhawatiran yang berbeda. Pertama,
ada pertanyaan tentang kapan tepatnya seseorang tidak kompeten secara mental,
masalah yang sering muncul di panti jompo. Karena jarang ada orang resmi yang
dinilai tidak kompeten oleh pengadilan, tanggung hawab untuk menentukan
kompetensi sering disandarkan kepada dokter dan para profesional kesehatan
lainnya. Membuat suatu penentuan tidak selalu jelas. Orang terkadang dapat
berpikir jernih, tapi tidak mampu memahami konsekuensi dari intervensi
tertentu. Beberapa lansia yang mungkin tidak dapat membuat pilihan informasi
tentang prosedur memperpanjang hidup, seperti pemberian makanan melalui tabung,
dapat diberikan “kompeten” dengan teknik khusus (Krynski, Tymchuk, dan
Ouslander, 1994). Karena kesulitan ini, panti jompo menjadi peka terhadap
kebutuhan untuk mengembangkan pedoman formal untuk menentukan kompetensi. Dalam
suatu survei, hanya dalam jangka waktu 2 tahun, dari tahun 1986-1988, bagian
dari panti jompo di negara New York melaporkan bahwa mereka telah atau sedang
mengembangkan pedoman ini dari minoritas kecil menjadi lebih dari setengah
(Miller dan Cugliari, 1990).
14-3
Pengalaman Orang Dewasa : Rumah Sakit berbasis Pakar Etika, munculnya peran
Nancy Dubler, direktur
bioetika departemen pusat medis Montefiore di New York City, telah menjadi
pelopor dalam bidang kedokteran rumah sakit
berbasis etika. Dubler berpendapat bahwa peran ahli
etika di rumah sakit adalah untuk “Tingkat Lapangan.” Keluarga yang diintimidasi
oleh rumah sakit. Mereka masuk dengan kewalahan
oleh “pusaran personil.” Jika staf terutama orang kulit berwarna, kulit putih mungkin
merasa dikecualikan, jika staf berkulit
putih, atau pria, orang-orang dari etnik yang berbeda dapat tertutup. Pakar etika
bertindak sebagai mediator dan juru bicara menduga kenyataan sebenarnya dari
akhir masalah kehidupan. Berikut adalah kasus seorang pria pada gagal jantung
kongestif yang menawarkan rasa masalah yang timbul:
[pria tua]. . . Telah dirawat di ruangan ICU . . .
Setelah seminggu berlalu dimana dia menjadi semakin buruk, dokternya. . . dan perawat
bertemu dengan keluarganya dan mengusulkan pasien segera dipindahkan ke lantai
perawatan umum. Mereka menyatakan bahwa ICU itu tidak lagi menjadi tempat yang tepat untuk
perawatan karena pasien sedang sekarat, dan mereka menyarankan bahwa ia harus .
. . diizinkan untuk mati. Keluarga tersebut . . . bersikeras bahwa pasien
tersebut harus tetap berada di ICU dan ditangani dengan semua intervensi yang
mungkin dapat dilakukan.
Oposisi terhadap rencana perawatan yang disarankan oleh staf menimbulkan
dilemma etika dan mereka memanggil saya untuk menengahi…
Dengan proses standard saya, saya pertama
bertemu dengan staf dan mencoba untuk mengerti sejarah pasien. . . dan
ramalannya. Semua staf dimarahi. Putri
Mr. Malling menjerit didepan perawat, dan menolak untuk berbicara dengan dokter
dan umumnya mengganggu unit. Pertemuan dengan keluarga mengungkapkan bahwa. . .
[Mereka] merasa. . . diintimidasi oleh staf dan berpikir bahwa kurangnya
pendidikan telah menyebabkan mereka diabaikan. Mereka tidak mengerti aksen ahli
jantung. Mereka telah mendengar warga mengatakan bahwa pengobatan itu sia-sia
untuk Mr. Malling. . . Tak satu pun dari ini dalah masalah bioetika. . .
Ketidaksepakatan terlihat tentang apakah untuk mentransfer pasien. Tetapi
sekali-kali
isu ditemukan, bahwa isu bioetika menghilang. Dua anak perempuan merasa realistis tentang
kesempatan sembuh ayah mereka. Sebuah solusi
muncul.
Sumber: Dubler, N, (1994). Special Issue on Current
Ethical Issues on Aging. Generations, 18, vol 1, hal 7.
Ada masalah yang membicarakan tentang
seseorang setelah jelas bahwa dia tidak dapat berbicara untuk dirinya sendiri.
Ada beberapa kesulitan ketika daya tahan lama dari konsultan telah diberikan kepada
individu tertentu. Jarang, bagaimanapun, tidak ada orang yang bertanggung jawab
secara jelas, baik dokter
berahli ke satu atau anggota keluarga yang lain atau tersandung bersama membuat
keputusan penting tentang perawatan orang cacat itu. Ada godaan untuk penyalahgunaan perawatan ketika dokter pecaya ia mungkin akan digugugat. Ada potensi
untuk penyalahgunaan ketika anggota keluarga menahan pengobatan yang
menyelamatkan jiwa orang yang mungkin ingin atau bersikeras, terutama wajib
pajak dibiayai, perawatan sia-sia (Callahan, 1987). Ada potensi terjadi konflik
ketika perasaan keluarga berbeda dengan dokter atau ketika anggota keluarga lain merasakan hal dan cara lain yang berbeda (Kapp, 1991). Misalkan
Anda percaya bahwa ibu yang menderita
seharusnya tidak lagi dibiarkan,
sementara saudaramu menegaskan bahwa pengobatan harus terus dilakukan bagaimanapun? Jelas bentrokan ini
dapat meracuni hubungan keluarga selama bertahun-tahun. Karena potensi konflik
seperti yang digambarkan dalam contoh di atas, sebagian besar rumah sakit dan
panti jompo sekarang memiliki komite etika untuk membantu memediasi mengenai
kematian (Mezey, Ramsey, and Mitty, 1994).
Arahan DNR pantas disebutkan secara khusus karena
perintah ini sangat umum di panti jompo. Sementara Asosiasi Medis Amerika (AMA)
telah menekankan bahwa dokter harus membicarakan keputusan ini dengan pasien
ketika mereka masih kompeten,
paling sering itu adalah dokter dan keluarga yang membuat keputusan untuk
menempatkan perintah
ini dalam grafik dia. Untuk alasan ini, AMA telah terbilang sebagai pedoman ketika perintah
ini harus diterapkan:
Dokter memiliki kewajiban etis untuk menghormati pilihan pasien dan pengganti dengan hal yang menyadarkan. Mereka seharusnya
tidak mengizinkan perasaan mereka sendiri menggangu tentang kualitas orang
hidup. Di sisi
lain, ketika dokter percaya bahwa memperpanjang hidup adalah sia-sia, ia
mungkin memutuskan untuk menempatkan perintah
tersebut di grafik pasien, asalkan
keluarga tahu dan memberikan
waktu yang cukup untuk merespon atau mengubah dokter jika mereka
menginginkannya. Akhirnya, perintah DNR hanya berlaku untuk keputusan untuk
tidak melakukan CPR selama serangan jantung, bukan dengan teknik memperpanjang
hidup lainnya (Council of Ethical and Judical Affairs, American Medical
Association, 1991).
Dokter – Bunuh diri yang dibantu
Jika anda berpikir
bahwa petunjuk kedepan
menimbulkan masalah etika, pertimbangkan kabar terbaru ini dalam gerakan “mati dengan martabat”.
Ada lompatan besar dari membiarkan melanjutkan
kematian alamiah
ketika penyembuhan sudah tidak
mungkin terjadi agar mempercepat
proses itu bersama. Haruskah
euthanasia (pembunuhan dengan belas
kasihan) atau bunuh diri yang dibantu dokter
legal di Amerika Serikat seperti saat ini di Holland? Haruskah itu dilegalkan untuk membantu pasien
yang ingin bunuh diri tidak hanya ketika mereka sakit parah, tetapi juga setiap
saat?
Seperti yang kita lihat, dokter diwajibkan oleh hukum
untuk menghormati pasien yang ingin menolak memperpanjang hidup pengobatan,
meskipun penolakan ini mungkin mempercepat kematian. Namun, sampai tulisan ini dikeluarkan, kebanyakan Negara
adalah melanggar hukum untuk secara aktif melakukan intervensi untuk membantu
orang yang telah meminta untuk mati. Seperti
Bernard Gert, James Bernat, dan Peter Mogielnicki
(1994) menunjukkan, perbedaan antara mematuhi penolakan dan secara aktif
membantu dalam permintaan. Pasien memiliki kebebasan untuk diizinkan untuk
mati. Dokter dilarang melakukan intervensi yang mengakhiri kehidupan seseorang.
Pembunuhan jenis ini melanggar prinsip agama bahwa hanya
Tuhan yang dapat memberi atau mengambil kehidupan. Inilah sebabnya meskipun
survei menunjukkan dukungan
publik yang luas untuk
melegalkan bunuh diri yang dibantu dokter (Morrison dan Meier, 1994),
orang-orang yang sangat religious, mereka yang merupakan bagian dari hak untuk
gerakan hidup, dan mereka yang percaya pada kehidupan setelah kematian adalah
yang paling benci menerima langkah ini dalam penentuan diri dari kematian.
Terlepas dari pertimbangan agama, ada juga
argumen lain terhadap praktek tersebut.
Dengan menyetujui dokter-bunuh diri yang dibantu, kritikus
kwatir bahwa kita mungkin membuka gerbang untuk euthanasia sukarela, memungkinkan
dokter untuk “menarik steker” pada orang-orang yang mungkin tidak benar-benar
ingin mati. Bahkan ketika permintaan orang membantu mengakhiri hidupnya, ada
masalah. Ia mungkin tidak benar-benar sakit parah, ia mungkin telah salah
didiagnosis atau mungkin masih
memiliki waktu bertahun-tahun untuk menjalani sisa kehidupan
yang produktif. Sebagai Psikiater,
Herbert Hendlin
(1994) menunjukkan,
dengan membantu seseorang mati seseorang melakukan suatu tindakan yang tidak
dapat dibatalkan berdasarkan apa yang bisa menjadi perasaan sementara.
Orang-orang yang bunuh diri sering tertekan.
Jika depresi diobati
individu, individu
mungkin merasa sangat berbeda dengan mengakhiri hidupnya.
Dalam mendukung pandangannya, Hendlin
menulis sebuah kasus anak muda berumur 30an didiagnosa leukemia dan mempunyai
25% kesempatan untuk
selamat. Takut mengalami efek samping dari pengobatan, dia memohon rekannya
untuk membunuh dirinya.
Suatu hari pemuda tersebut dan saya berbicara tentang
kemungkinan kematiannya –
apakah makna perpisahan dari keluarga
dan kehancuran tubuh baginya – keputusasaannya mereda. Ia menerima perawatan
medis dan menggunakan
sisa
hidupnya
untuk menjadi lebih dekat dengan istri dan orang tuanya. Dua hari sebelum dia
meninggal, ia berbicara tentang apa yang dia lewatkan tanpa kesempatan untuk
perpisahan yang penuh kasih.(1994, hal. A19)
Ada juga argumen yang
sangat baik disisi lain. Orang-orang yang sekarat
sering sakit parah, penderitaan yang kadang-kadang tidak dapat sepenuhnya
dikendalikan oleh obat-obatan. Haruskah pasien
ini dipaksa untuk enggan menahan rasa sakit dan penghinaan tentang kematian ketika dokter memiliki
alat untuk mengakhiri
hidup? Mengetahui penderitaan bahwa penyakit mematikan dapat disebabkan, apakah benar-benar manusiawi
untuk berdiri dan membiarkan alam mengambil jalannya bertahap (Morrison dan Meyer,
1994)? Apakah pelegalan bunuh diri yang dibantu oleh dokter menuju
penentuan nasib sendiri atau kebalikannya, awal dari sebuah “lereng licin” yang mungkin
berakhir dalam sanksi membunuh siapa saja yang kualitas hidupnya terganggu?
MASALAH ETIKA
YANG TERKAIT : PENJATAHAN USIA BERBASIS PERAWATAN :
Mungkin
anda melihat bahwa ada kompenen usia ke “lereng
licin” yang memutuskan bila tidak
diobati. Banyak
pasien dengan arahan DNR dalam grafik mereka sudah berusia lanjut, pada akhir
kehidupan alami mereka. Seperti yang kita lihat sebelumnya dalam bab ini, ada
norma yang memberikan preferensi dalam melakukan langkah-langkah heroic untuk
mempertahankan kehidupan kaum muda, haruskah
masyarakat memberi batas pada sejauh mana ia memimpin senjata
hidup dan mengabdikan strategi
untuk orang-orang yang cacat dan pada akhir hidup alami mereka?
Dalam
sebuah buku kontroversial berjudul Menetapkan
Batas, Daniel Callahan
(1987), pakar etika biomedis bangsa kita yang paling menonjol, berpendapat
bahwa kita tidak seharusnya memperlakukan kebutuhan kesehatan lansia cacat
seolah-olah mereka adalah sama dengan orang dewasa muda. Ada waktu ketika
“perang tidak pernah akan selesai terhadap kematian” harus berhenti. Menurut
Callahan, melancarkan perang total untuk semua orang mungkin akan lebih dapat
diterima jika semua orang memiliki akses yang sama ke keperawatan. Namun ketika
Medicare menempatkan
tidak ada kontrol pembayaran untuk mahalnya
strategi memperpanjang
kehidupan, kami secara implisit mendukung orang tua,
sementara 35 juta lebih orang Amerika yang
lebih muda tidak memiliki asuransi kesehatan
sama sekali.
Callahan
(1994), merincikan prinsip-prinsip
berikut dalam apa yang ia sebut pendekatan siklus hidup perawatan medis :
1.
Setelah
seseorang telah menjalani rentang kehidupan alami, perawatan medis seharusnya
tidak lagi berorientasi untuk melawan kematian.
Sementara menekankan bahwa tidak ada usia yang tepat harus ditetapkan untuk
penentuan ini, Callahan menempatkan penanda ini disekitar akhir tahun tujuh
puluhan atau delapan puluhan. Dalam pandangannya, ini tidak berarti bahwa pada
usia tertentu kematian tidak bisa dihindari dan tidak boleh menantang keras.
2.
Penyediaan
perawatan medis bagi mereka yang telah menjalani jangka hidup yang normal akan dibatasi
pada saat menghilangkan penderitaan. Pada akhir kehidupan,
fokus harus bergeser dari strategi heroik yang bertujuan untuk memelihara
kehidupan dengan metode untuk menghilangkan rasa sakit.
3.
Keberadaan
teknologi medis mampu memperpanjang kehidupan orang tua yang telah menjalani jangka
hidup alami dan tidak menimbulkan anggapan apapun bahwa teknologi harus
digunakan untuk tujuan itu. Callahan percaya bahwa
tujuan yang tepat dari tidak menjadi budak teknologi yang dikembangkan untuk
memajukan tujuan ini, membabi buta menggunakan semua teknologi mahal pada
setiap orang hanya karena itu ada.
Sampai
batas tertentu, dokter
mengikuti resep ini secara implisit hari ini. Dokter mungkin memutuskan bahwa orang yang berusia 80
tahun adalah “terlalu rapuh” untuk memiliki operasi yag memungkinkan menyelamatkan
jiwanya bahwa ia tidak akan
ragu untuk melakukan pada orang dewasa yang lebih muda. Keluarga dan dokter
setuju bahwa panti jompo dengan
penduduk yang
lebih tua harus diberikan perawatan kenyamanan.
Namun, beberapa gerontologist penuh semangat menyatakan bahwa secara resmi
mengadopsi penjatahan usia akan menempatkan kita
pada suatu hal yang menakutkan,
lereng licin. Memang benar bahwa intervensi untuk menyembuhkan kanker pada orang yang berusia
90 tahun tidak hanya lebih berbahaya, tetapi juga lebih subur karena dia akan
segera meninggal karena serangan jantung.
Seperti yang kita lihat dengan jelas dalam Bab 7, hidup tidak
terlihat jauh lebih layak hidup untuk orang yang menderita penyakit demensia.
Pada sisi lain, kita perlu
melindungi bahwa orang yang
mengalami gangguan kognitif, tidak mengaggap bahwa
hidupnya tidak layak atau kurang (Dresser dan
Whitehouse, 1994). Setelah
kami menolak pengobatan berdasarkan usia atau ketidakmampuan mental, kita dapat
membuka pintu untuk menolak pengobatan berdasarkan jenis kelamin, atau ras,
atau kelompok etnis. Dengan tidak
akan mengambil langkah ini dapat mengarah
ke yang lain dan pada akhirnya membawa kita kembali ke praktek genosida
mengerikan dari masyarakat yang dijelaskan dalam fitur 1-1 pada ageism dalam Bagian 1? Seperti pendapat antara
Nancy Jecker dan Laurence Schneiderman (1994),
pengambilan keputusan pada perawatan
kesehatan harus didasarkan pada pertimbangan dari kesia-siaan medis, tidak menjalani hidup dengan penuh.
Mungkin anda melihat bahwa diskusi kita membawa kita kembali
ke lingkaran penuh ke
topik
yang sudah dieksplorasi sebelumnya
dalam buku ini: proses penuaan fisik dan kecacatan, cara dimana sistem
perawatan kesehatan memperlakukan orang-orang dari berbagai usia, cara untuk
menyeimbangkan hak-hak orang
muda dan orang
tua, pentingnya memiliki rasa self efikasi (atau kontrol) seperti yang
kita jalani
melalui kehidupan orang dewasa.
Dalam keadaan sekarat sebagai orang
dewasa di Amerika,
kita juga melihat banyak masalah
yang berkaitan dengan hidup sebagai orang dewasa di Amerika.
Penjatahan
usia berbasis kesehatan hanyalah salah satu dari beberapa tantangan sosial yang penting yang
akan kita hadapi di abad kedua puluh satu. Di halaman berikut, saya
menyimpulkan tur luas dari
pengalaman orang dewasa
secara singkat, catatan
subyektif, menawarkan beberapa komentar tentang kesenjangan dan arah masa depan
untuk bidang kita dan
mengekspresikan beberapa keprihatinan
pribadi tentang apa yang ada di depan dalam perjalanan kita sebagai orang
dewasa Amerika.