Wednesday 25 June 2014

Psikologi Lanjut Usia (lansia translate)



Kim, seorang pembicara tamu di kelas Pengembangan para dewasa, adalah seorang perawat yang telah positif mengidap HIV selama 6 tahun. Pada pemeriksaan terakhirnya, sel T dari Kim terhitung sejumlah 260. Ketika penghitungannya mencapai 200, pusat dari kontrol penyakit mengklasifikasikan seseorang sebagai pengidap AIDS.
Saya bekerja untuk merawat orang-orang yang terkena AIDS sebagai suster jaga di ruangan rumah sakit. Saya bekerja dengan situasi ini dan saya telah memiliki suntikan darahnya. Saya mengumpulkan jarumnya dan tidak sengaja menyuntik darah tersebut ke urat nadi saya, untuk pertama kalinya hal ini terjadi di sebuah rumah sakit kota. Pada awalnya saya masih negatif, kemudian beberapa bulan selanjutnya, saya dites positif terkena penyakit tersebut. Mereka mengangkat saya dari lantai. Saya merasa mereka mengambil nyawa saya pergi. Orang-orang tidak ingin berada di sekitar saya karena saya sangat tertekan. Saya bekerja 2 tahun kedepan dan berhenti untuk pekerjaan lainnya dan kemudian ditempatkan pada bagian cacat saraf, dimana itu merupakan sesuatu yang disebabkan oleh virus tersebut. Saya telah menjadi cacat dan berbicara pada grup sekarang selama 3 tahun. Bukan hanya kamu yang berdampak pada penyakit ini. Itu berdampak pada setiap orang yang kamu cintai. Saya pulang ke rumah setiap hari. Itu saya lakukan selama setahun. Saya berharap suatu saat saya dapat memberitahu pada anak-anakku. Pada saat mereka berumur 16, 17 dan 6, kamu dapat mendengar sebuah peniti jatuh. Saya adalah ibu mereka. Saya selalu berada di sana. Mereka tidak mempunyai kakek, nenek / ayah yang turut serta. Sekarang mereka berpikir. Ibu saya terkena “HIV. HIV sama dengan AIDS. AIDS sama dengan Kematian”. Hal tersebut merupakan 5 tahun yang lalu. Sekarang anak- anak saya berumur 21 , 22 ,12 tahun. Saya memiliki seorang cucu perempuan. Saya mempunyai banyak hal yang perlu dikerjakan. Beberapa kali saya terbangun di malam hari karena mendengar suara anak perempuan tertua saya menangis. Saya akan merangkak ke tempat tidur dengannya. Dia akan berkata, “ Ibu, engkau akan meninggal dunia”. Ketika putri termuda saya berusia 6 tahun, dia tidak mengerti. Tahun ini mereka mulai belajar tentang AIDS di sekolah. Ditambah lagi penghitungan saya mulai menurun. Putri saya mulai menangis di sekolah. Dia khawatir. Dia tahu bahwa di wasiatku, adikku yang paling muda akan mengangkatnya. Dia datang padaku suatu hari dan berkata “Ibu, mungkin aku harus terbiasa dengan rumah baru dan sekolah baru. Saya berkata kepada saudara perempuan saya dan dia setuju. Ketika putri saya pergi, saya menagis sampai tidur berminggu-minggu. Saya  merasa lelah terhadap segala hal, lelah akan perasaan tidak enak, makan pil berdosis besar,dan melihat sel T selalu menurun setiap kali bertemu dokter. Saya merasa lelah berpikir rasanya menjadi sakit, dan bagaimana saya melihat orang lain sakit tapi saya mau ada untuk anak-anak saya. Apa yang terjadi merupakan tanggung jawab saya. Menyalahkan orang lain tidaklah berguna. Saya memberitahu kepada setiap remaja setiap waktu. Saya berharap memiliki kesempatan kedua. Saya tidak dapat mengambil AZT lagi . Saya telah terpilih dan dibayar sesuai plot saya. Saya biasanya disuruh membuat presentasi. Saya tidak menyesali hidup saya. Saya takut untuk meninggalkan anak saya. Saya ingin melihat cucu saya tetapi saya menuju kematian. Saya dapat merasa saya dapat membicarakan penyakit  ini selamanya.
Ketika kita berpikir tentang kejadian yang paling putus asa, yang dihadapi Kim merupakan tingkat pertama. Siapa yang dapat membayangkan situasi yang  lebih sulit dari menghadapi tahun-tahun bahwa dia akan segera meninggal? Kematian dan mati selalu ada dipikiran Kim, sebagaimana mungkin kita berpikir bahwa apa yang akan terjadi jika seseorang berhadapan dengan penyakit mematikan. Bagaimana sering kita berpikir tentang kematian ketika kita sehat. Faktor apa yang mempengaruhi ketakutan kita akan kematian? Ini merupakan pertanyaan tentang kecemasan kematian. Tingkat keseringanya, kedalamanya, dan di berbagai kondisi kehidupan.
KETAKUTAN KEMATIAN (DEATH ANXIETY)
Untuk melihat seberapa sering orang sehat berpikir tentang kematian, peneliti mengintruksi 4.420 orang dengan berbagai usia dan bertanya pada mereka tentang apa yang mereka pikirkan dalam 5 menit ( Cameron , Steward dan Biber , 1973). Kemudian mereka ditanya langsung tentang kematian. Adakah pemikiran itu terlintas di pikran seseorang? Peneliti mendekati subjeknya diwaktu yang berbeda dan tempat yang berbeda, seperti di sekolah dan di rumah, dan menyuruh mereka untuk mengukur mood mereka pada saat itu. Akankah orang-orang berpikir bahwa kematian pada keadaan tertentu atau waktu yang berbeda?
Pemikiran tentang kematian tidak bervariasi akan waktu dan tempat. Mereka tidak terjadi hanya karena orang merasa sedih, merasa sama dengan hubungan akan berbagai macam perasaan. Ada perbedaan jenis kelamin dan usia, tetapi hanya pada jumlah orang yang melaporkan bahwa pemikiran tentang kematian melintas di pikiran mereka. Wanita mempunyai pemikiran ini lebih sering daripada pria; remaja, dewasa muda dan orang tua lebih sering daripada usia yang lainnya. Akhirnya, meski dalam bagian yang kecil (3%) dari orang-orang melaporkan sedang berseteru dengan kematian, jumlah yang cukup besar (hampir 20% dari pria dan 25% dari wanita) berkata bahwa ide tersebut melintas di pikiran mereka setidaknya sekali dalam 5 menit.
            Bertanya langsung tentang kematian, mungkin para peneliti menganggap orang-orang salah mengingat punya pikiran ini. Tetapi bagaimana tentang menemukan pemikiran tentang kematian  dihubungkan positif juga seperti mood yang negatif? Bukankah kita seharusnya berpikir tentang kematian jika kita merasa depresi? Faktanya, ketika peneliti lain bertanya pada para orang dewasa untuk membuat luasnya konsep akan kesenangan, kematian menempati tempat terakhir (Kogan and Wallach, 1961).
            Bagaimanapun, dalam penambahan adanya pemikiran teburuk, kematian dapat dilihat, seperti pada teori Erik Erickson, seperti pada hal alami yang terjadi dan diterima dalam hidup penuh. Itu bahkan dapat membuat mengangkat makna konotasi. Kematian adalah saat dimana kita pastinya melawan hidup hingga ke bagian terpentingnya. Itu merupakan waktu untuk bertemu dengan Tuhan, bersatu dengan yang dicintai yang telah pergi duluan (Ross and Pollio, 1991).
            Ketika pertamanya kita mungkin ragu-ragu, peneliti berkesimpulan bahwa fakta dimana rasa senang juga kadang-kadang menjadi bagian dari gambaran tentang kematian. Deidre Barrett (1988-1989) membuat daftar nama buku murid sekolah tinggi tentang mimpi yang berhubungan dengan kematian. Ketika mimpi akan kematian (orang asing yang sepertinya akan menembakku”) sering mengalami mimpi buruk, mimpi akan menjadi mati biasanya sangat menginspirasi :
Saya mulai mengambang bagai lengkungan pelangi… Itu sangat indah… Seluruh waktu dari mimpiku… Aku merasa lebih baik dari yang pernah kurasakan seumur hidupku.
Jam dinding menunjukkan angka 12 dan tiba tiba saya mendapatkan serangan pusing. Ibu saya dan saya berubah menjadi energi murni, cahaya suci. Kami dapat pergi kemanapun, bebas dari tubuh kami. (hal.99)
Penelitian Barrett dan interview kami menyarankan bahwa, seperti dengan peristiwa kehidupan orang lain, kita tidak dapat mengambil pendekatan yang sederhana akan kematian. Perasaan tentang kematian ada berbagai macam. Mereka harusnya diukur dengan pendekatan multidimensional. Seperti yang biasa kita tahu, satu perubahan berhubungan dengan  yang terjadi setelahnya (Buhler, 1995; Gesser, Wong, dan Reker, 1987-1988). Beberapa orang mungkin diteror oleh pemikiran untuk mati, lainnya dari kematian, mengalami sakit dari penyakit parah. Probing kecemasan kematian mungkin perlu menggunakan ukuran non-tradisional, seperti mimpi, karena perasaan dan sikap terungkap melalui teknik-teknik sadar yang mungkin menawarkan informasi yang tidak kita dapat dengan cara menanyakan “Seberapa kamu takut dengan kematan?” Kebutuhan akan ini lebih rumit dari strategi menjadi nyata sebagaimana kita cari tahu dengan beberapa prediksi logis tentang kekhawatiran akan kematian.
Prediksi akan kecemasan kematian
            Penyakit yang mengancam jiwa. Ketika kita berpikir akan yakinnya peningkatan kecemasan, apa yang pertama muncul di pikiran adalah penyakit serius. Orang-orang dengan penyakit yang mengancam nyawa tentunya lebih khawatir tentang kematian daripada orang dewasa yang sehat.
            Asumsi nyata tersebut secara mengejutkan sulit untuk dibuktikan. Ketika beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang-orang dengan penyakit serius seperti kanker dan AIDS mendapatkan skor tertinggi tentang kecemasan akan kematian, sering juga rating kecemasan mereka adalah rata-rata atau bahkan sangat rendah ( Doughlas Templer, dan Brown, 1986). Satu alasan, dimana akan kita lihat selanjutnya, adalah orang-orang menghadapi penyakit mematikan mengalami berbagai macam emosi dari ketenangan  ke depresi ke harapan. Kecemasan kematian bervariasi sebagai fungsi dari kepribadian secara keseluruhan, baik orang tersebut biasanya khawatir ataupun tidak. (Hintze, Templer, Cappelletty, dan Frederick, 1993). Mungkin pengukuran dari orang-orang yang langsung ditanya tentang perasaan mereka mungkin tidak akan cukup untuk mengukur rasa takut mereka.
            Bert Hayslip, Debra Luhr, dan Michael Beyerlein (1991-1992) mengekspolari kecemasan kematian diantara pria pengidap HIV positif menggunakan pertanyaan langsung dan sebuah pernyataan ketakutan. Sebagaimana peneliti menyimpulkan, ketika menghadapi kematian, penyangkalan adalah mekanikal yang penting, membuat laporan sendiri , bukan merupakan cara  terbaik menghadapinya, membuat laopran sendiri tidak serta merta merupakan metode yang valid untuk mengurangi ketakutan (Earl, Martindale, dan Coha, 1991-1992).
            USIA. Penanda lainnya yang logis yang berpengaruh pada kecemasan adalah usia, meskipun disini penanda arah dari hubungan itu tidak jelas. Di satu sisi, dekat dengan panjangnya usia, orang tua mungkin mendapatkan peringkat lebih tinggi dalam hal tingkat kecemasannya dibanding yang berusia muda. Atau mungkin, Erickson berpesan di tahun-tahun kedepan kita mungkin berpikir bahwa kematian melalui pandangan yang lebih tenang. Kita telah merasakan segalanya dalam kehidupan, mengalami kematian orang yang dicintai. Pada saat seperti ini, ketakutan biasanya rendah sebab kematian itu alamiah, sepantasnya dan benar. Dalam kutipan Thanalogist Therese Rando (1984) :
Kematian dari seorang dewasa muda dipenuhi oleh amarah dan kemarahan akan interupsi dari hidupnya pada saat pemenuhannya… Ada rasa frustasi, amarah, dan perasaan tidak adil dan dicurangi. Sang pasien menganggap hidup lebih teguh daripada di usia lainnya. Kerugian sekarang adalah parah, sebagaimana sang pasien tidak akan pernah melihat janji untuknya dan orang-orang lain yang berarti baginya (khusunya anak anak) terpenuhi (hal. 246.)
            Kebanyakan dari kita merasa bahwa mati di usia muda lebih tragis daripada mati setelah merasakan kehidupan secara penuh (Callahan, 1994; Jecker and Scheinerman, 1994). Ketika peneliti bertanya pada sekelompok murid-murid dan orang yang lebih tua untuk memberi peringkat orang-orang khayalan dalam membuat prioritas yang mendapatkan transplantasi ginjal, Umur rata-rata ini terungkap ( Busschbach, Hessing, dan Chano, 1993). Tertera dari figure 14-1 bahwa setelah usia 10, ketika kita mungkin membayangkan penerimanya dapat bertahan untuk waktu yang lama, yang muda adalah dikedepankan. Terlebih lagi, orang yang lebih tua dan yang lebih muda setuju: Memberikan kehidupan di usia muda lebih berharga daripada memberikan  kehidupan bagi seseorang yang berusia 60, setelah kehidupan penuh.
            Norma ini tercermin dari apa yang orang-orang katakan tentang kematian mereka sendiri. Seringkali, sebagaimana yang diprediksikan oleh Erikson, orang yang lebih tua memiliki ketakutan yang lebih kecil (Gesser, Wong, dan Rekker, 1987-1988; Kastenbaum dan Costa,1997). Dalam penelitian panjang dari orang dewasa yang lebih tua, ketika responden ditanya:  “Apakah kamu takut mati?”. Hanya 10% berkata ya. 55% lainnya terbata-bata menjawab : “Tidak, tapi saya ingin hidup selama yang saya bisa.” Atau “Tidak, tetapi saya tidak mau sakit dan bergantung pada orang lain pada waktu yang lama”. Sisa dari kelompok tersebut mengatakan tidak (Jeffers dan Verwoerdt, 1997).
            Di lain pihak, membandingkan usia dari kelompok tersebut mungkin tidak tepat. Orang tua tersebut tumbuh besar sebelum era 1960-an, ketika mengakui perasaan secara terbuka diterima secara budaya. Ketika orang tua sekarang masih muda, menutup ketakutan tidak terlalu dihukum secara sosial. Dampak yang terjadi dari norma ini adalah penutupan individual yang mungkin memiliki peran penting dalam penelitian dibandingkan dengan respon para mahasiswa di era tahun 1930-an dan 1991 terhadap kecemasan kematian yang sama (Lester dan Becker, 1992-1993). Para mahasiswa pada era depresi menunjukkan skor yang lebih rendah, menyarankan bahwa satu alasan yang kita temukan dalam perbedaan usia saat ini mungkin akibat dari orang tua jaman sekarang yang tidak terlalu mengakui ketakutannya terhadap kematian.
            Orang-orang yang lebih tua mungkin tidak mau mengakui ketakutan pada diri mereka sendiri. Mungkin sebagaimana yang kita lihat di awal pada penelitian akan kecemasan kematian para penderita HIV positif, penyangkalan kerap terjadi pada ujung dari masa hidup mereka, melindungi orang secara emosional akan fakta bahwa hidup mereka hanya dalam hitungan tahun dan bulan. Dapat disimpulkan bahwa untuk mendemonstasikan bahwa orang yang lebih tua lebih sedikit rasa takut, kita harus melihat dari kedua skala laporan (Handal, Peal, Napoli, dan Austrin, 1984-1985); Hayslip dan Stewart-Bussey, 1986-1987).
            Dalam sebuah penelitian yang menarik, peneliti memberikan tiga tes akan kecemasan kematian bervariasi dari laporan sendiri untuk ketakutan dari orang dewasa dengan berbagai usia (Feifel dan Branscomb, 1973). Ketika ditanya, banyak orang menyangkal bahwa mereka takut akan kematian. Ketika diinstruksikan untuk mengkhayal, imajinasi mereka menunjukkan keragu- raguan. Pada skala akhir, sebuah tes hubungan kata, jawaban mereka menunjukkan ketakutan yang jelas. Terlebih lagi, ketika pada tes terhadap kecemasan yang lebih jelas, yang lebih tua terhitung lebih sedikit rasa takut. Jadi khusunya orang yang lebih tua akan lebih mendekati dengan apa yang mereka akui tentang kematian.
            Dengan tambahan, bahkan jika setelah menjalani kehidupan penuh mengurangi ketakutan kita dengan yang akan ditutup usia, itu akan membuat sedikit sentuhan akan proses kematian itu sendiri. Therese Rando (1984) menghipotesa bahwa, ketika ketakutan akan kematian merupakan keharusan di usia tua, ketakutan tersebut semakin dalam. Perasaan cemas orang yang lebih tua adalah  “Siapa yang akan menjagaku?” “Akankah aku menderita dan menjadi beban bagi orang yang kusayangi?”  “Akankah aku mati sendirian?
KEYAKINAN AGAMA. Faktor ketiga yang menyesuaikan pengaruh kecemasan adalah keyakinan agama. Bukankah orang yang beragama mempunyai tingkat ketakutan yang rendah, karena tidak seluruh ide tentang kehidupan yang mengubah kematian yang kita takutkan menjadi keadaan yang lebih baik?
Banyak penelitian yang mengemukakan bahwa orang yang religius melaporkan ketakutan mereka sendiri dan kematian orang yang mereka cintai berkurang. (Powell dan Thorson, 1991; Smith, Range dan Ulmer, 1991-1992). Orang yang religius lebih suka mengartikan kematian sebagai kondisi yang positif, sebagai “pintu gerbang” daripada “dinding” (Ross dan Pollio, 1991; Westman dan Brackney, 1990). Perlindungan dramatis agama dapat bersiap-siap menghadapi ketakutan yang terungkap dalam sebuah studi dari orang-orang yang mendekati kematian. Diantara grup tentara Israel di Lebanon selama peperangan, memiliki pengalaman yang mengancam hidup meningkatkan kecemasan akan kematian jika tentara tersebut tidak beriman; tetapi jika tentara yang memiliki keyakinan iman yang kuat, peristiwa yang sama akan memiliki dampak ketakutan yang lebih minim (Florian dan Mikulincer, 1993).
Di pihak yang lain, sekali lagi, tidak semua penelitian mengungkapkan bahwa orang yang religuis memiliki skor terendah akan kecemasan tentang kematian! Sebagai muridku Lita Buhler (1995) menyimpulkan peninjauan dari penelitian, untuk membuat pengertian akan penyangkalan lagi membantu untuk membuat perbedaan antara kesulitan dari komponen ketakutan. Pada penelitian Buhler, selama orang tua yang beragama memiliki laporan ketakutan yang sedikit tentang apa yang akan terjadi setelah mati, ketakutan mereka akan proses kematian juga tidak berkurang.
Penglihatan kita yang mendalam pada kecemasan kematian sekali lagi menggambarkan tantangan peneliti menghadapi pengukuran tentang apa yang tampaknya menjadi aspek yang paling sederhana dari kehidupan. Ini menunjukan bahwa di daerah kehidupan ini adalah penting untuk mengadopsi sudut pandang kontekstual multifaset. Kebutuhan untuk menghindari generalisasi global dan resep lebih penting karena kita beralih ke topik utama pada bab ini—sekarat.
SEKARAT
Di universitas, kebanyakan memiliki pelajaran tentang kematian dan sekarat. Kalian tidak akan bisa memiliki pelajaran ini 30 tahun yang lalu. Karena benar hal tabu lainnya, seksualitas, orang sering kali menghindari dalam menyebutkan atau mempelajari kematian. Sebuah acara yang di buat di akhir 1960-an membawa orang yang sekarat keluar dari bayangan (Kastenbaum and costa, 1977). Revolusi yang menekankan keterbukaan dan penentuan nasib sendiri di kebanyaknya area dalam hidup membuat letupan akan ketertarikan pada kematian.
            Selama 1970-an, bukan hanya kematian dan sekarat yang menjadi topik hangat di universitas, tetapi juga mengubah cara kita menghadapi penyakit parah menjadi penyebab aktivis. Kita bisa melihat ekspresi terakhir dari “death with dignity movement” di Dr. Jack Kervorkian dan mesin bunuh dirinya. Mari kita lihat lebih lanjut penelitian klasik yang menghasilkan gerakan ini, darimana kita berasal dan apa yang kita tahu tentang mati dan sekarat di zaman sekarang ini.
Orangnya
TINGKATAN KEMATIAN KUBLER ROSS; DESKRIPSI DAN KRITIK:
Batasan dalam gerakan untuk menyembuhan sekarat adalah teori tingkat kematian dari Elizabeth Kubler Ross yang kita pakai untuk menjelaskan tingkatan untuk berdamai dengan sakit parah. Saat menjadi psikiater di rumah sakit umum pada tahun 1960, Kubler Ross menjadi percaya bahwa pekerja medis mengabaikan keperluan emosional dari pasien terminal. Sebagai bagian dari seminar murid medis, dia mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai pasien sekarat. Selama pekerja medis berada di sana, orang yang diwawancarai memiliki respon yang berbeda. Banyak yang dengan santai berbicara terbuka. Fakta dari Kubler Ross diterbitkan dalam sebuah buku berjudul On Death and Dying bahwa komunikas sangat penting.
Kubler Ross (1969) percaya bahwa proses manusia terdiri dari 5 tingkat untuk menerima kematian: penyangkalan, kemarahan, penawaran, depresi dan penerimaan.
Ketika orang mendengar diagnosisnya untuk pertama kalinya, responnya adalah “Pasti terjadi sebuah kesalahan.” Penyangkalan akan didampingi dengan mencari bukti yang bertentangan, mengunjungi spesialis setelah mencari spesialis untuk diagnosis yang berbeda, yang baru, lebih positif dalam melihat tes. Ketika upaya ini gagal, penyangkalan berlanjut kepada kemarahan.
Pada tahap ini, orang akan memukul-mukul, meratapi nasib, menyusuri orang yang ia cintai. Mr.Jones mengkritik dokternya sebagai orang yang tidak peduli dan tidak sensitif, dia marah pada ayahnya, yang masih hidup. Ide akan “Saya sekarat” sangatlah tidak adil. Akhirnya emosi ini menghasilkan yang lebih perhitungan—tawar menawar.
Pada tahap ini, orang akan memohon untuk tambahan waktu, menjanjikan untuk menjadi “baik” jika kematian bisa diambil sedikit, menawarkan kesepakatan dengan Tuhan. Kubler-Ross menggunakan contoh terhadap wanita yang memohon kepada Tuhan untuk membiarkan dia hidup lebih lama untuk menghadiri pernikahan anak lelakinya yang paling tua:
Sebelum hari pernikahan, dia meninggalkan rumah sakit sebagai wanita elegan. Tidak akan ada yang percaya dengan kondisinya yang sebenarnya. Dia...terlihat berseri-seri. Saya bertanya-tanya apa yang akan menjadi reaksinya ketika waktunya telah sampai pada yang ia tawarkan.. Saya tidak akan pernah melupakan saat ia kembali ke rumah sakit. Dia terlihat capek dan agak lelah dan sebelum saya sempat berkata hallo—ia mengatakan, “Sekarang jangan lupa saya memiliki anak laki-laki yang lain”
Ketika reaksi ini mereda, reaksi ini akan digantikan dengan tahap ke empat, depresi. Lalu, respon ini dilanjutkan dengan penerimaan. Sejalannya waktu, orangnya, cukup lemah, bukan sedih, marah, atau depresi. Mr.Jones dengan tenang menunggu kematian. Dia melihat kedepan hingga akhir.
Kubler Ross tidak pernah membayangkan tingkatan tersebut sebagai baju pengekang, jalan yang benar untuk mati. Sayangnya, teori tersebut digunakan seperti itu. Konselor yang bersemangat akan menganggap orang tersebut abnormal jika respon mereka tidak masuk ke dalam 5 tingkatan tersebut. Bahkan dibuat upaya yang cepat untuk orang dengan penyakit terminal dari tahap ke tahap! Sekarang, kita harus tahu ide untuk orang yang bereaksi kaku untuk segala hidup stres adalah salah. Dalam kasus ini, hal tersebut bisa menjadi bahaya karena membuat kita menjauhkan diri kita dan perasaan negatif yang dirasakan oleh orang yang sakit. Daripada memahami orang depresi yang sedang menghadapi kematian adalah hal yang tidak bagus, melihatnya sebagai “sebuah tahap” mendorong kita untuk melihat emosi melalui lensa klinis, yang terkadang tidak nyata. Keluhan yang sah tentang dokter, keluarga, atau teman bisa tidak dihitung, dilewatkan sebagai “prediksi” tanda-tanda akan tahap kemarahan. Sehingga sebagian besar ahli melihat upaya ini untuk menggambarkan perasaan sekarat dengan campuran emosi. Sementara memusatkan perhatian pada topik yang diabaikan, hal itu hanya mendorong kekakuannya sendiri, divonis meninggal (Corr, 1993).
            Orang dengan penyakit terminal akan marah, menolak penyakit mereka, atau peningkatan depresi. Bagaimanapun, emosi ini tidak akan jatuh ke tahap yang berbeda. Steven Antonoff dan Bernard Spilka (1984-1985) merekam pasien dengan penyakit terminal pada suatu titik secara acak selama fase awal, tengah dan akhir dari penyakit mereka. Berdasaarkan pemikiran dari Kubler-Ross, para peneliti memprediksi bahwa ekspresi wajah seharusnya dapat menunjukkan sebagian besar kemarahan, lalu kesedihan, dan kemudian penerimaan sebagai penyakit lanjutan. Kemarahan dan penerimaan tidak menunjukkan bentuk. Kemungkinan orang akan terlihat marah di hari-hari terakhir mereka pada awalnya, sama seperti cenderung terlihat menerima setelah diagnosis mereka sebagai hari atau minggu terakhir mereka.
            Perbandingan lain terhadap orang yang mengatakan kepada orang yang mereka cintai bahwa mereka tahu mereka sedang sekarat serta menunjukkan beberapa perbedaan antara mereka yang lebih dekat dibandingkan mereka yang lebih jauh dari kematian. Orang pada hari-hari sekaratnya tidak memberikan tanda-tanda akan lebih “menerima”. Semua orang yang ada di penelitian ini memiliki peringkat yang rendah tentang ketenangan dan kepuasan (Baugher, Burger, Smith, and Wallston, 1989-1990).
            Pada pernyataan psikologis Edwin Shneidman (1976), “pengelompokan yang rumit akan intelektual dan negara afektif, beberapa hanya sekilas, berlangsung sebentar, atau sehari” mengkarakteristikan kehidupan seseorang dalam mengatasi stres. Selanjutnya, kebalikan dari apa yang dikatakan Kubler-Ross, bahkan jika orang tahu penyakit mereka adalah penyakit terminal, pemikiran tentang “Saya sekarat” tidak memasuki cara apapun. Manusia berputar diantara kesadaran dan penolakan. Penolakan dan kesadaran dapat muncul secara bersamaan.
            Psikiatris Avery Weisman (1976) menggunakan frase middle knowledge untuk menggambarkan suspensi antara tahu dan tidak tahu, keadaan psikologi yang sering dia amati saat bekerja dengan orang yang sakit parah. Weisman percaya bahwa middle knowledge cenderung memanifestasikan dirinya pada titik transisi, seperti ketika terjadi kambuhnya penyakit dan perubahan iklim emosional. Orang yang dicintai menjadi kurang optimis. Dokter cenderung menghindari matanya ketika bertanya tentang pemulihan yang terjadi.
Middle knowledge ditandai dengan perubahan yang tidak terduga pada batas yang diamati dan disimpulkan. Pasien terlihat tahu atau ingin tahu, tapi mereka biasa berbicara seakan mereka tidak tahu dan tidak ingin diingatkan apa yang sudah diberitahukan. Para pasien menegur dokter karena tidak memperingati mereka tentang komplikasi dalam perawatan atau arah penyakit walaupun dokter sangat teliti dalam menginformasikan mereka. Contoh-contoh penyangkalan ini adalah contoh dari middle knowledge.(1976, hal. 459)
            Para pembaca yang bertemu dengan orang yang mempunyai penyakit yang mengancam kehidupan mungkin telah mencatat bahwa emosi sentral lain dapat menjadi harapan sampai hari-hari terakhir kehidupannya. Seperti kesimpulan Daniel Klenow (1991-1992), diharapkan observasi pada orang yang sekarat mendapatkan berbagai sumber. Jika pada individu beriman, dia mungkin percaya pada campur tangan Tuhan: “Tuhan akan memberikan obat ajaib yang dapat menyembuhkan.” Yang lain mungkin menaruh kepercayaan pada ilmu kedokteran: “Walaupun saya mengidap AIDS, saya akan disembuhkan dengan penemuan obat baru yang sekarang sedang diuji eksperimental.” Seseorang mungkin menggantungkan harapannya pada meditasi, terapi alternatif, atau olahraga. Seperti saran yang dikatakan oleh Kubler-Ross, sumber harapan lain adalah fasilitas medis: “Benar, saya mendapatkan diagnosis tersebut, tetapi saya tahu tentang kasus dimana seseorang mengatakan ia hanya memiliki waktu 6 bulan dan dia masih hidup 10 tahun kedepannya.”
            Suatu penelitian yang sangat menarik yang membandingkan mimpi seorang pasien yang menderita kanker dan orang dewasa yang sehat menunjukkan bahwa, bahkan pada tingkat yang kurang sadar, orang akan bergelut dengan ambivalensi dan harapam (Coolidge dan Fish, 1983-1984). Seperti yang mungkin kita duga, mimpi dari orang yang sakit mengandung gambaran kematian lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa yang sehat. Bagaimanapun, hanya satu orang yang bermimpi langsung tentang kematian mereka sendiri. Orang yang sekarat bisa saja bermimpi tentang seseorang yang mati atau sekarat, terkadang mencoba untuk mencari identitas orang tersebut.
            Dari seorang wanita berumur 27 tahun, setahun sebelum dia meninggal:
            Saya pergi keluar menonton semalaman dan saya sedang berdiri di tengah jalan ketika sebuah mobil berhenti dan melempar keluar seorang wanita muda yang sudah mati yang sedang hamil... Saya berlari kesana ketika mobilnya telah pergi dan saya sedang melihat diri saya sendiri di lantai tetapi wanita itu tidak benar-benar terlihat seperti saya.
Para peneliti percaya bahwa mimpi seperti ini menunjukkan kecemasan dan ketidakpastian. Kematian milik pemimpi itu sendiri, ketika pusat perhatiannya, terlalu mengerikan untuk dimimpikan secara langsung. Orang tersebut sedang bergelut dengan pertanyaan yang sangat penting: “Apakah saya benar-benar akan mati?” Menariknya, seperti sebuah kebenaran pada mimpi ini, dibandingkan kepada grup kontrol, orang sakit tidak hanya bertambah sering bermimpi tentang kematian, tetapi juga tentang sebaliknya. Mereka bermimpi tentang kehamilan, kelahiran, atau bayi, seperti menciptakan suatu latar baru untuk menebus teror pada saat mereka sadar.
            Dari seorang wanita berusia 40-an, sebulan sebelum kematian:
            Saya melihat seorang wanita yang sangat bahagia. Bermimpi di sebuah toko serba ada. Wanita tersebut memiliki gaun dan sepatu yang sangat bagus. Dia membawa seorang bayi di lengannya. Dia sangat menyayangi bayi tersebut. Ketika saya terbangun, saya merasa sangat bahagia dan aman. Seperti saat saya menulis mimpi ini ketakutan itu muncul kembali.
COPING AND LONGEVITY (mengatasi dan umur panjang). Setiap orang berbeda-beda dalam mengatasi penyakit yang mengancam jiwa, perbedaan tersebut juga beralasan bagi setiap orang. Seperti Kim, dari hasil wawancara, dia mencoba untuk memberikan arti penyakit mereka dengan membantu orang lain atau untuk memaksimalkan waktu untuk menjadi lebih dekat dengan orang yang dicintai sebelum dia meninggalkan mereka. dan ada beberapa yang  lain menjadi lumpuh karena depresi karena kecemasan (Hilton, 1975). Dapatkah seseorang mempengaruhi lamanya waktu yang tersisa?
Menindak lanjuti  pasien yang terkena kanker, Avery Weismen dan William Worden (1975) menemukan bahwa orang-orang yang hidup lebih lama dari yang diharapkan berdasarkan tingkat keparahan penyakit yang mereka punya, mereka mempertahankan hubungan yang  responsif dengan orang lain, terutama pada fase akhir dari penyakit mereka. Mereka lebih tegas dalam menunjukkan "semangat juang" yang lebih daripada mereka yang meninggal lebih awal. Dalam studi lain, dibandingkan dengan kelompok lain, orang yang meninggal dini memiliki gaya mengatasi yang serupa, mengungkapkan sedikit marah, tapi banyak mengkritik diri sendiri, rasa bersalah, depresi, dan ketakutan membahayakan tubuh. Orang yang tidak selamat juga terlibat dalam hubungan timbal balik. (Viney dan Westbrook, 1986-1987)
Apa itu kematian yang “baik”? Bahkan dalam cara kita mengatasi penyakit tidak berdampak pada panjang hidup kita, dalam kata Weisman, kita ingin sebuah kematian yang sesuai, sebagai menjadi salah satu yang sangat menarik ketika kita menyadari bahwa kebanyakan orang, seperti Kim, yang menjalani "bagian akhir" mereka cukup yakin untuk beberapa periode, apakah itu seminggu atau beberapa bulan, dari nasib mereka (Schultz dan Schlarbe, 1987-1988). Apa yang dimaksudkan dengan kematian yang sesuai?
Charles Corr (1991-1992) merinci suatu interpretasi dalam pendekatan berbasis tugas untuk perawatan terminal. Empat tugas perhatian yang kita harapkan ketika kita sakit parah ;
1.      Kita ingin meminimalisir tekanan fisik, untuk menjadi bebas dan mengurangi rasa sakit
2.      Kita ingin memaksimalkan keamanan psikologis, untuk mengurangi rasa takut, kecemasan dan merasa mengendalikan bagaimana kita mati
3.      Kita ingin meningkatkan hubungan sosial yang bermakna, untuk menjadi sedekat mungkin dengan orang yang paling kita sayangi
4.      Kita ingin mengembangkan spiritualitas dan memaknai bahwa ada integritas dan tujuan hidup kita.
Dalam mencapai tujuan ini, pengasuh utama orang yang sekarat, perawatan kesehatan yang profesional, dapat memainkan peranan penting.
Penyedia layanan kesehatan
Apakah dokter menarik diri dari pasien mereka yang sekarat setelah mereka tahu bahwa intervensi mereka tidak akan mencegah kematian, dan mendukung kematian yang tidak pantas? Survey awal mendukung prasangka bahwa mereka menolak ketika topik ini ditanyakan. Dari 73 orang dokter yang disuruh untuk mengisi kuesioner tentang topik bagaimana merawat pasien yang sekarat, hanya 13 yang bersedia. Sebagian besar menolak ketika topik tersebut terungkap (Caldwell dan Mishara, 1972). Penelitian lain menunjukkan sebaliknya, seharusnya seorang dokter adalah ; dokter yang peduli, berkomitmen dan terlibat secara emosional (Rea, Greenspoon dan Spilka, 1975). Dari 174  psikolog diminta untuk penelitian ini, hanya 11 menolak. Sebagian besar sangat dipengaruhi oleh topik yang sedang dibahas. Kebanyakan mereka menguraikan jawaban mereka terhadap kuesioner yang panjang dengan komentar yang luas. Para peneliti tersentuh oleh rasa kemanusiaan dan keprihatinan mendalam bagi patologi yang menulis bahwa dia "sering merasa ingin menangis setelah sehari melakukan bagian diagnostik sehubungan dengan operasi .... ‘Itu mengganggu saya untuk memikirkan dampak buruk diagnosis saya pada pasien dan keluarga’” (hal.300)
Ketika para peneliti mengeksplorasi kecemasan kematian di antara internis, ahli bedah, dan psikiater yang bervariasi dalam usia dan tahun praktek, mereka menemukan bahwa, terlepas dari spesialisasi, dokter baru yang baru memulai yang paling diteror oleh kematian (Kane dan Hogan, 1985-1986). Sebuah penelitian juga membandingkan perawat juga menunjukkan bahwa lansia, perawat yang lebih berpengalaman akan cenderung melihat kematian dengan positif, seperti damai atau pembebasan. Para dokter muda lebih sering melihatnya sebagai bencana, peristiwa mengerikan (Brent, Speece, Gates dan Kaul 1992-1993; Campbell, Abernarthy, dan Waterhouse 1983).
Salah satu sarana umum  untuk menjadi tua, memiliki pengalaman, bahkan berada di keperawatan, adalah bahwa mereka harus menunjukkan adanya  kontak langsung dengan orang-orang yang kematiannya sudah dekat. Pembukaan pribadi ini untuk pasien yang sekarat mungkin penting dalam mengurangi ketakutan.
Dalam hasil pemeriksaan  mahasiswa keperawatan tentang sikap pasien yang sakit parah, peneliti menemukan bahwa perasaan mereka menjadi kurang permusuhan sebagai fungsi dari pengalaman mereka sebelumnya dengan kematian. Pribadi yang menarik dan kontak profesional dengan orang-orang sekarat mengurangi dampak rasa takut secara berbeda. Pengalaman profesional dengan orang-orang sekarat meredakan kecemasan, mengurangi keseganan perawat untuk menyentuh atau mengobati orang yang sakit parah. Pengalaman pribadi dengan kematian orang yang dicintai meningkatkan kepositifan terhadap berkerja dengan kelompok. Siswa dinilai lebih peduli terhadap kematian sebagai hal yang lebih bermanfaat ketika orang dekat mereka meninggal (Brockopp, King, dan Hamilton, 1991).
Penelitian ini menawarkan wawasan yang menarik ke dalam emosi bahwa penyedia layanan kesehatan membawakan kepada pasien yang sekarat. Namun, untuk benar-benar tahu bagaimana sakit parah diperlakukan, kita perlu mempelajari tindakan, bukan sikap atau laporan diri. Respon dokter untuk survei mungkin tidak menjadi ukuran yang baik dari cara mereka benar-benar bertindak ketika berhadapan dengan orang-orang sekarat. Apa yang sebenarnya terjadi di rumah sakit ketika penderita tidak diharapkan untuk hidup? Ini membawa kita ke sebuah studi penting kedua yang membantu mendorong gerakan untuk memanusiakan perawatan terminal.
PENGAMATAN LANGSUNG. Selama tahun 1960’an, sosiolog Bernard Glaser dan Anselem Strauss (1968) menghabiskan beberapa bulan diam-diam melihat perilaku perawat, dan para pembantunya yang bekerja di berbagai rumah sakit yang berbeda di mana pasien sekarat ditampung. Mereka menafsirkan pengamatan mereka adalah unik : Merawat orang sekarat adalah suatu pekerjaan, seperti yang lain. Itu penting untuk melihat bagaimana cara kerja terorganisir.
Pekerjaan merawat orang yang sekarat itu terstruktur dengan jelas, meskipun implisit, cara : sesuai dengan penyakit pasien yang diderita. Berdasarkan orang-orang yang diagnosis dan keadaan fisiknya saat masuk, sebuah harapan dibuat tentang bagaimana pola individu sekarat ini akan dilanjutkan. “Jadwal sekarat ini diatur dari bagaimana staf rumah sakit bertindak. Glaser dan Strauss menggunakan frase yang menarik untuk merujuk pada jadwal ini-lintasan sekarat.
Glaser dan Strauss menunjuk beberapa lintasan sekarat. Salah satu yang ditemukan di ruang gawat darurat yaitu "diharapkan cepat mati". Seseorang yang kematiannya sudah dekat, mungkin dari kecelakaan atau serangan jantung, dan yang tidak memiliki kesempatan untuk bertahan hidup. "Diharapkan berlama-lama saat sekarat" adalah lintasan lain yang umum, salah satu khas progresif, penyakit kronis yang fatal, seperti kanker atau dengan penyakit jenis ini lintasan mungkin "entry-re-entry". Orang akan kembali ke rumah beberapa kali diantara tinggal di rumah sakit. Atau mungkin "hukuman percobaan" debit untuk panjang waktu yang tidak diketahui sebelum diterima kembali dalam krisis terakhir sebelum kematian.
Lintasan tidak selalu dapat diprediksi. “Diharapkan cepat mati” dapat berubah menjadi “diharapkan berlama-lama saat sekarat” atau mungkin “diharapkan dapat pulih” jika pasien bersatu. “Diharapkan dapat pulih” mungkin menjadi “diharapkan cepat mati” jika individu berubah menjadi buruk. Deviasi ini mengganggu fungsi pekerjaan. Rencana ini menjadi ketinggalan zaman. Perawatan harus tiba-tiba berubah. Paradoks adalah bahwa jika “dari jadwal” hidup mungkin berubah menjadi peristiwa negatif :
Seorang pasien yang diperkirakan akan meninggal dalam empat jam karena tidak mempunyai uang, tetapi membutuhkan mesin spesial agar dapat bertahan hidup. Rumah sakit swasta dimana ia telah sering membayar seorang pasien selama tiga puluh tahun sepakat untuk menerimanya sebagai pasien amal. Dia tidak segera meninggal tetapi mulai berlama-lama tanpa batas, bahkan sampai ke titik dimana ada harapan hidup. Masalah uang, akan tetapi, menciptakan banyak kekhawatiran antara kedua anggota keluarga dan administrator rumah sakit..... Dokter terus menerus harus meyakinkan kedua belah pihak bahwa pasien (yang tinggal selama enam minggu) akan segera meninggal; itu adalah mencoba untuk mengubah harapan mereka kembali ke “mati pada waktunya.” 
Perhitungan lain memiliki efek yang sama, dimana pasien terombang ambing antara “waktu tertentu untuk mati” atau “berlama-lama.” Dalam pola ini, orang-orang terkasih akan dengan sedih mengucapkan selamat tinggal, hanya untuk menemukan bahwa orang memulai menjadi baik. Anggota keluarga, para perawat, dan para dokter terkadang melaui siklus ini berkali-kali. Pendeta mungkin juga terlibat dalam hal ini. Semua orang disini juga akan menarik napas lega ketika akhirnya benar-benar dekat. (Ini tidak berarti bahwa para pekerja rumah sakit berharap tentang kematian. Kesalahan yang berlawanan, pasien yang akhirnya akan meninggal diharapkan dapat pulih, bahkan lebih menjengkelkan.)
            Staf tidak hanya merasa marah pada perhitungan salah tentang lintasan, tetapi juga melukai pasien. Jika seseorang “bimbang” atau “berlama-lama terlalu lama,” perawat dan dokter akan terganggu. Mereka bisa menjadi kurang responsif, memberikan perawatan yang kurang baik, dan mungkin mempercepat kematian. Jenis lain dari kesalahan mungkin juga mempercepat kematian : menugaskan individu untuk layanan yang bukan lintasannya. Kadang-kadang pasien membutuhkan perawatan yang konstan yang diberikan pemeriksaan berkala, dan ia meninggal saat diobservasi.
            Terhadap Glaser dan Strauss, pengamatan mereka memberikan kesan bahwa modus pendekatan dari rumah sakit kepada orang yang sakit parah itu tidak baik. Tujuannya adalah pekerjaan yang efisien, memberikan perawatan dengan langkah yang minimal. Fokus ini, ketika berlawanan dengan kenyataan bahwa kematian secara inheren tidak terduga, adalah dibuat khusus untuk membuat staf frustasi dan perawatan pasien yang kurang baik.
            Surat dakwaan ini, yang diterbitkan pada waktu yang sama dengan buku Kubler-Ross, membawa pulang fakta bahwa pasien tidak mendapatkan perawatan yang cocok dengan memiliki kematian yang tepat. Diperlukan pendekatan yang lebih manusiawi untuk orang-orang yang sekarat.
APLIKASI DAN INTERVENSI
Langkah pertama dalam gerakan untuk memanusiakan perawatan terminal adalah untuk terlepas dari obat tradisional dengan penekanan pada mesin berteknologi tinggi yang ditunjukkan untuk menentang kematian. Sama seperti kelahiran, kematian adalah proses yang alami. Ketika tidak mungkin adanya intervensi kuratif, fokus harus bergeser untuk memberikan kematian yang baik.
Perawatan rumah sakit
14-2     Pengalaman orang Dewasa : Aksi tim Rumah Sakit
Rumah sakit Murfreesboro beroperasi dari sebuah rumah kecil yang nyaman di seberang jalan dari rumah sakit lokal kami. Berikut adalah beberapa kutipan dari wawancara dengan tim rumah sakit (perawatan, sosial, pekerja, dan koordinator relawan)
"Bagaimana anda mendapatkan arahan, yang memilih rumah sakit, dan apa yang anda lakukan?” Biasanya kita mendapatkan arahan dari dokter. Orang mungkin memiliki sistem dukungan yang luas di masyarakat atau mereka mungkin pergi ke daerah bahkan ketika ada banyak orang yang terlibat, hampir selalu ada pengasuh utama, biasanya pasangan atau anak dewasa.
Kami melihat peran kita sebagai pemberdayaan keluarga, memberi mereka dukungan untuk merawat orang yang mereka cintai yang berada di rumah, kami pergi ke rumah tersebut sebagai sebuah tim untuk membuat penilaian awal kami : layanan apa yang dibutuhkan keluarga? kami menyediakan pelatihan keluarga dalam mengontrol rasa sakit, merapikan tempat tidur, di dalam kamar mandi. Komponen penting dari program kami adalah layanan yang tangguh. Setiap hari relawan datang. Mereka mungkin dapat membawa anak-anak untuk pergi makan pizza, atau memberikan waktu luang bagi pengasuh utama atau memandikan orang, atau hanya tinggal disana untuk mendengarkan sesuatu.  
Keluarga awalnya akan mengatakan "Saya tidak berfikir bahwa saya dapat melakukan ini." Mereka cemas karena itu adalah pengalaman baru yang belum pernah mereka alami. Pada awalnya mereka mengatakan banyak hal. Kemudian anda melihat mereka benar-benar mendapatkan kepercayaan dirinya sendiri. Kita melihat mereka di pemakaman, dan mereka berterima kasih kepada kami untuk membantu mereka memberikan salah satu pengalaman yang mereka untai ini. Kadang-kadang pengasuh utama tidak tahan untuk menjaga orang tersebut di rumah sampai akhir. Kami juga dapat menghormati itu. Seluruh hal tentang rumah sakit adalah pilihan. Beberapa orang ada yang ingin berbicara mengenai kematian. Yang lainnya hanya menginginkan kita untuk berkunjung, bertanya tentang kebun mereka, atau berbicara tentang urusan saat ini. Kami mengajak orang-orang untuk melihat, atau berbicara tentang urusan saat ini. Kami mengajak orang-orang untuk melihat daun musim gugur, untuk melihat Santa Claus. Fokus utama kami adalah : "Apa prioritas anda?” Kami mencoba untuk menangkap itu. Kami memiliki seorang petani yang tujuannya adalah untuk pergi ke ladangnya untuk terakhir kalinya dan mengucapkan selamat tinggal kepada traktornya. Kami mengumpulkan rak telur dan tangki besar oksigen bersama-sama dan membwa ke ladangnya. Kami memiliki satu relawan yang mengambil klien ke mall. Kami tetap berhubungan erat dengan keluarga selama setahum setelah itu, menyediakan konseling untuk mereka atau mengacu kepada kelompok berkabung di masyarakat. Beberapa keluarga tetap berhubungan dengan cara mencatat di notes selama bertahun-tahun. Kami menjalankan camp setiap musim panas untuk  anak-anak yang kehilangan orang tua. Kami memiliki sistem pendukung yang luar biasa yang diantara staf-staf. Selain dengan menjadi keluarga pada pukul 3 pagi kita sebut satu sama lain setiap malam. Kebanyakan kita telah bekerja disini selama bertahun-tahun. Kami merasa kami memiliki pekerjaan yang paling berarti di dunia.
Filosofi ini menuntun ke alternatif yang terkenal ke rumah sakit traditional dan perawatan di rumah jompo yang disebut rumah penampungan. Rumah penampungan adalah untuk orang dengan kematian yang pasti, tetapi siapa yang mungkin memiliki hidup sehanyak 6 bulan, Tujuan dari perawatan rumah sakit berbeda dari pengetahuan perawatan tradisional : untuk menyembuhkan. Hal ini untuk memberikan perawatan yang terbaik. Anggota rumah sakit yang terampil dalam tehnik dapat meminimalkan ketidaknyamanan fisik dan dilatih dalam menyediakan lingkungan yang mendukung fisiologisnya, salah satu yang menjamin pasien dan anggota keluarga bahwa mereka tidak akan ditinggalkan dalam menghadapi kondisi yang mendekati kematian (Cohen, 1979; Rossman, 1977).
Awalnya perawatan rumah sakit disampaikan dalam pengaturan rawat inap yang disebut rumah perawatan. Penekanan gerakan rumah sakit yaitu pada penyediaan layanan dan dukungan yang memungkinkan orang yang meninggal dengan terhormat di rumah. Sebagaimana yang dijelaskan di depan 14-2, menunjukkan tim rumah sakit memiliki banyak disiplin pergi ke rumah seseorang, menawarkan perawatan paruh waktu, terjadwal, atau setiap hari. Anggota tim menawarkan 24 jam bantuan dalam krisis, memberikan perawat kepada keluarga dalam bentuk dukungan yang mereka butuhkan untuk memungkinkan keluarga mereka menghabiskan hari-hari terakhirnya di rumah. Komitmen mereka tidak berakhir setelah seseorang meninggal. Sebuah komponen penting dari perawatan rumah sakit adalah konseling dukacita.
Sebagaimana yang dikemukakakan oleh Corr dalam tugas pertamanya, kontrol terhadap rasa sakit merupakan dasar filosofi rumah sakit, mengurangi penderitaan fisik yang sekarat. Tujuannya adalah untuk mengurangi rasa sakit sekaligus menjaga pasien secara waspada dan sebebas mungkin. Pekerja rumah sakit yang terampil dalam menggunakan obat-obatan. Mereka dapat menggunakan tehnik-tehnik psikologis untuk mengurangi rasa sakit, seperti mengajar orang untuk mengalihkan fokus dari ketidaknyamanannya secara mental, menekankan kegiatan yang menyenangkan, dan melatih keluarga untuk menghindari ekspresi kecemasan yang meningkatkan rasa sakit:
Seorang perempuan, sebagai cotoh, yang menjadi kesengsaraan terbesarnya adalah karena dia ingin hidup untuk melihat cucunya yang akan segera lahir, tetapi tahu bahwa itu tidak mungkin. Untuk mengendalikan rasa sakitnya, akan tetapi,  memungkinkan baginya untuk mengumpulkan kekuatan yang cukup untuk merajut hadiah untuk anak yang tidak akan pernah dia lihat. Ini membantu mencerahkan hari terakhirnya. Pasien rumah sakit yang lain telah berbarinng sepanjang waktu dalam posisi berpegang sebuah termos berisi air panas yang diapit ke dadanya, menatap ke angkasa, mengerang kesakitan seperti berada di neraka dan diperparah oleh rasa sakit seperti api... tetapi ketika tim rumah sakit menunjukkan bahwa mereka dapat mengontrol rasa sakitnya, ia menjadi orang yang berbeda, mampu hidup selama hari-hari terakhirnya. (Rossman, 1977, hal.126)
Pelayanan rumah sakit tidak sesuai untuk semua orang. Untuk memanfaatkan layanan ini, seseorang harus setuju untuk meninggalkan perawatan yang bersifat menyembuhkan dan dinilai oleh dokter dalam waktu enam bulan mendekati kematian. Hampir selalu, sebagaimana dalam fitur 14-2, individu memiliki anggota keluarga yang berkomitmen secara fisik dan emosional.  
Statistik yang dikumpulkan oleh Pusat Pengendalian Penyakit menawarkan potret dari siapa yang mendaftar. Pada tahun 1993, dari 50.000 pasien per hari yang menerima layanan dari 1000 lembaga rumah sakit di Amerika Serikat, 71% menderita penyakit kanker. Pasien-pasien ini cenderung adalah lansia. Pada tahun itu, lebih dari 70% orang yang menggunakan layanan ini berusia di atas 65 tahun. Salah satu alasannya adalah, bahwa berbeda dari yang sangat tua, kelompok lansia "kaya" dalam dukungan sosial. Pasien rumah sakit biasanya dirawat oleh pasangan (Bass,Garland, dan Otto, 1985-1986). Dibandingkan dengan pasien yang sakit parah yang lebih tua di rumah sakit, pasien-pasien ini memiliki orang yang lebih banyak tinggal di rumah.
            PERINGATAN TERHADAP YANG SEKARAT DI RUMAH : Sebagaimana yang ditunjukkan pada bagian 14-2, rumah sakit dapat menawarkan ketenangan yang tidak biasa kepada orang yang sedang kritis dan seseorang yang dikasihi, mengijinkan keluarga memberikan suatu ungkapan kasih saying yang terakhir. Tanpa mengurangi keuntungan ini, penjelasan yang bagus dari tim rumah sakit, berfokus pada beberapa peringatan tentang pilihan non-tradisional ini.
            Bahkan dengan perlindungan yang disediakan oleh rumah sakit, mungkin menimbulkan kecemasan terhadap beberapa keluarga untuk memberi dukungan dalam tanggung jawab untuk mengatur krisis yang menakutkan menjelang kematian (Arras dan Dubler, 1994).   Sementara jajak pendapat menunjukkan bahwa sebagian besar orang Amerika merasa meninggal di rumah adalah yang terbaik,bahkan dari perspektif orang yang sakit ini mungkin tidak seluruhnya benar.
            Ironisnya orang tersebut mungkin tidak memiliki privasi seperti di rumah daripada di rumah sakit. Di rumah sakit, perawatan jasmani dilakukan secara rutinitas dan adil. Di rumah, orang merasa terhina dari anggota keluarga yang peduli terhadap kebutuhan fisiknya. Pasien mungkin ingin membagi waktu luang mereka dengan orang yang mereka cintai; mereka mungkin ingin waktu sendiri untuk menangis, untuk melampiaskan amarahnya, penderitaan dan sakit. Di dalam rumah sakit, terdapat kesempatan untuk mengungkapkan emosi secara pribadi. Di rumah, jam berkunjung tak henti-hentinya ; pasien merasa terpaksa untuk melakukannya dengan cara tertentu.
            Sama pentingnya, perawatan oleh orang lain bias menyamai perawatan yang bebas dari rasa bersalah. Banyak orang tidak ingin menjadi beban untuk orang yang mereka cintai. Meninggal di rumah dapat membuat ketegangan terhadap masalah keuangan di rumah (Arno, Bonuck, dan Padgug, 1994). Itu juga selalu menurunkan emosi. Di rumah, terdapat resiko merasa seperti beban, merasa malu menjadi miskin yang menambah rasa sakit dari penyakit itu sendiri. Mengulang dari Bab 12, bahwa memberikan “terlalu banyak” perhatian dapat juga meningkatkan ketidaknyamanan dalam penyediaan perawatan. Anggota keluarga mungkin merasa membebani lalu kemudian merasa berdosa. Hubungan dengan orang yang sakit bias lebih menumbuhkan ketegangan dan menjauh, daripada menjadi lebih dekat. Untuk ini, kita tidak seharusnya secara otomatis berasumsi bahwa semua orang, bahkan seseorang dengan dukungan penuh keluarga, lebih baik daripada meninggal di rumah.
            Program rawat inap hanya melayani sebagian kecil dari yang sakit parah (Sachs, 1994). Banyak orang tidak memiliki anggota keluarga yang dapat mengambil pekerjaan seperti ini. Bahkan ketika orang yang dicintai bermaksud meninggal di rumah, seperti yang kita lihat di fitur 14-2 kecemasan atau tuntutan tujuan pemberian keperawatan mungkin berlebihan dan orang akhirnya dirawat di rumah sakit atau panti jompo pada akhir dari fase kehidupan. Sehingga upaya juga difokuskan pada memanusiakan pengaturan utama dimana kematian masih terjadi, yaitu rumah sakit atau panti jompo.
           

Memanusiakan Perawatan di Rumah Sakit
PELATIHAN PERUBAHAN KELEMBAGAAN : Cara pengobatan tradisional tidak tergabung dalam setiap strategi rumah sakit. Sekarang dokter telah dapat memberikan pengobatan sebanyak yang dibutuhkan untuk mengontrol rasa sakit dalam fase kritis kehidupannya. Terkadang pasien dilepaskan dari alat intensif saat mereka akan meninggal. Mereka dilepas dari mesin dan diberikan waktu yang tidak terbatas untuk bersama keluarga selama jam-jam terakhir mereka. Administrasi rumah sakit secara rutin merubah peraturan waktu berkunjung di hari terakhir seseorang. Sebagai contoh, seorang istri iijinkan tidur di kamar suaminya dan seorang anak dapat berkunjung setiap waktu (Kastenbaum, 1976-1977; Rando, 1984). Beberapa rumah sakit mempunyai unit perawatan peredaan sama seperti rawat inap dimana pasien dapat tinggal selama beberapa minggu atau seumur hidup.
            Dengan maksud untuk melihat apakah unit dasar rumah sakit ikut membantu dalam penyelenggaraan kematian yang sesuai, peneliti meneliti apakah pasien kanker yang sakit parah dalam dua unit dapat lebih baik secara emosional daripada kelompok pembanding pasien yang menghabiskan hari terakhir mereka di ruangan tradisional. Setelah melakukan wawancara terbuka, mereka mengkodei jawaban pasien menurut jumlah respon positif dan negatif. Pasien di unit perawatan paliatif mengungkapkan emosi yang positif dan tidak terlalu marah. Mereka tidak begitu cemas tentang kematian (Viney, Walker, Robertson, Lilley, and Ewan, 1994).
            MENGUBAH ORANG. Sayangnya, perawatan yang acuh tak acuh dan menghindari kecemasan masih menjadi ciri perawatan tradisional. Seperti yang kita bayangkan dari diskusi sebelumnya, satu alasanya yaitu bahwa penyedia perawatan kesehatan masih tidak nyaman dan cemas akan menghadapi kematian. Sebagai Greg Sachs (1994), seorang dokter yang bekerja dengan orang yang berpenyakit parah, sebutlah, “Seolah-olah kata sekarat dan kematian telah hampir menghilang dari kosakata dokter sepenuhnya…. Kami telah mendengar, bahkan mereka diperkirakan akan meninggal dalam hitungan jam atau hari yang digambarkan sebagai ‘tidak melakukan dengan baik, membuat peramalan yang buruk, atau memiliki kesempatan kecil melakukan itu’ “ (hal. 22). Sachs percaya bahwa keenganan untuk menghadapi kebenaran bekerja merupakan kerugian untuk orang yang sakit parah. Untuk perawatan di rumah sakit yang lebih manusiawi, kami harus mengubah emosi dan sikap petugas kesehatan tentang kritis dan kematian.
            Ini adalah tujuan dari program pendidikan kematian, yang selama beberapa dekade terakhir telah menjadi standar pada bidang medis, karya sosial, dan sekolah keperawatan (Dickinson, Sumner, dan Federick, 1992). Program pendidikan kematian dapat bersifat mendidik, fokus dalam menanamkan informasi, atau pengalaman, dengan situasi murid bermain peran atau mengambil pengalaman langsung dalam berurusan degan penyakit parah. Karena dokter mengatur untuk semua perawatan lain dan, sebagai salah satu studi yang sebelumnya menunjukkan, mungkin memiliki masalah yang paling berhubungan secara emosional dengan kematian,  mari sekarang kita lihat di salah satu awal program pengalaman dalam kematian dan sekarat yang ditawarkan sekolah kedokteran (Davis dan Jessen, 1980-1981) : Selain menghadiri seminar biasa, murid yang terdaftar dalam kursus menghabiskan satu malam (dari pukul 17.30 sore sampai pukul 08.00 pagi)  siap dipanggil” dengan pendeta di sebuah komunitas rumah sakit. Panggilan pada pendeta yang mengunjungi ruang gawat darurat dan perawatan intensif dan perawatan unit koroner, konsultasi dengan pegawai dan menghibur pasien sekarat dan keluarga mereka. Ketika mereka disertai pendeta pada kondisi ini, siswa yang mendorong untuk membahas isu-isu etis dan psikologikal yang muncul selama pengenalan pengalaman ini sampai meninggal. Mereka kemudian menulis karangan tentang apa yang telah mereka pelajari :
Itu mungkin yang paling berarti bahwa kita mengakhiri malam kita dengan sebuah operasi Caesar dan hidup seorang bayi yang sehat! Sekali lagi, bagaimanapun juga, hidup itu diambil untuk diberikan dan sungguh tidak banyak perhatian yang diberikan untuk itu. Prosedur adalah prioritas tertinggi . . . . Dokter memeriksa hidung, anus—dalam esensi setiap proyeksi atau lubang tubuh manusia—namun hal yang sangat memegang peranan adalah memeriksa bagian-bagian secara bersama-sama—hidup—tidak diperiksa sepenuhnya. . . . Itu terlihat ironis untuk mengakhiri panggilan “kematian” kita dengan kelahiran—mungkin kita mengintip ke dalam makna kematian. (hal. 163)
Sebagaimana karangan ini diungkapkan, dampak langsung dari pengalaman ini bisa mendalam. Dapatkah kursus tunggal ini menghasilkan perubahan yang berlangsung dalam bagaimana siswa berpikir? Sekilas satu kematian dari perspektif pribadi dapat dengan mudah dilupakan di tengah penurunan perawatan teknis program orientasi sekolah kedokteran.
            Untuk menentukan apakah pendidikan kematian berorientasi psikologis memiliki nilai, para peneliti telah meneliti apakah setelah mengambil kursus ini mempengaruhi sikap dan cara mengobati penyakit kritis (Dickinson dan Pearson, 1980-1981). Mereka telah memeriksa dampak bahwa pelatihan dalam mengurangi kecemasan peserta tentang kematian (Hayslip, Galt, dan Pinder, 1993-1994). Seperti yang kita bayangkan, sebagian karena sulitnya merubah (dan pengukuran) kecemasan kematian, pendidikan kematian tidak andal mempengaruhi peserta sendiri dalam mencemaskan ketakutan tentang kematian. Namun, saat instruksi itu difokuskan, pendidikan kematian—apakah di perguruan tinggi, di program keperawatan, atau di sekolah medis—apakah lebih membuat kepekaan terhadap pasien yang sekarat (Durlak dan Riesenberg, 1991).
Tren saat ini : Mengendalikan Waktu Kematian
Seperti yang kita lihat, fokus asli dari gerakan "meninggal dengan martabat" adalah untuk memungkinkan tidak menggunakan teknologi, kematian alami. Hari ini prinsip itu telah diperpanjang satu langkah: Mungkin kita perlu memberikan lebih banyak kebebasan kepada orang yang sekarat untuk mengontrol kapan mereka akan meninggal, Pada bagian ini, kita melihat dua jenis intervensi di dalam gerakan kedua ini untuk memanusiakan perawatan terminal. Penawaran pertama kepada pasien yang sekarat dan ahli waris orang-orang terkasih yaitu suatu mekanisme untuk membuat keinginan mereka diketahui, pengobatan secara mental yang tidak mampu memperpanjang hidup mereka. Yang kedua adalah langkah yang diwujudkan oleh Dr. Kervorkian dan mesin bunuh dirinya: Orang harus diizinkan untuk mendapatkan bantuan dalam mengakhiri hidup mereka.
PETUNJUK KEDEPAN. Setiap instruksi khusus di muka tentang pilihan untuk memperpanjang hidup pengobatan disebut petunjuk kedepan. Contoh yang paling terkenal adalah wasiat hidup. Dalam dokumen ini – hukum di sebagian besar, tetapi tidak semua, negara – seseorang  menginstruksikan dokter tentang keinginan-keinginannya untuk tetap hidup jika dia benar-benar koma selamanya. Dokumen lain adalah perintah untuk tidak menghidupkan yang biasanya ditemukan pada skema pasien, terutama di rumah sakit swasta. Keluarga atau wali dan dokter mengarahkan staf rumah sakit atau jompo itu, harus terjadi krisis secara medis pada seseorang gangguan mental atau sakit parah, CPR tidak boleh dilakukan untuk menyelamatkan kehidupan seseorang . Tipe lain dari petunjuk kedepan disebut daya tahan lama dari pengacara. Dalam dokumen ini, seseorang menunjuk secara spesifik: individu, biasanya anggota keluarga, untuk membuat keputusan mengakhiri hidup pada saat seseorang tidak dapat mengambil keputusan sendiri. Sementara kita cenderung berpikir petunjuk kedepan hanya dalam hal pengobatan, instruksi ini juga dapat menetapkan bahwa orang tersebut akan diberikan perawatan.
Arahan kedepan melayani tujuan terpuji. Sering kali pelayanan keputusan pengakhiran-hidup perawatan terjadi dalam ruang hampa, karena tidak ada yang tahu bagaimana orang koma atau yang sangat gila merasa menerima prosedur yang hanya memperpanjang kematian secara artifisial. Menurut Undang-Undang Penentuan Diri Pasien, yang menjadi hukum pada tahun 1991, semua lembaga pelayanan kesehatan yang menerima fasilitas tentang hak mereka untuk menandatangani jenis ini secara langsung. Namun, dokumen ini lebih jarang digunakan daripada kita harapkan. Alasannya adalah bahwa petunjuk kedepan juga memiliki masalah serius.
Untuk satu hal, hanya sebagian kecil orang, bahkan orang-orang dengan penyakit yang mengancam jiwa, mengambil langkah pengajuan secara tertulis secara langsung. Orang-orang secara alami enggan untuk menghadapi ketidakmampuan masa depan mereka sendiri dan kematian (Sachs, 1994). Hanya sekitar 40% orang Amerika memiliki wasiat! Seperti tersirat sebelumnya, dokter cenderung enggan untuk memulai diskusi ini. Mereka kehilangan kesempatan untuk mendiskusikan kehidupan akhir perawatan ketika pasien dalam tahap pertama dari apa yang tampak seperti penyakit mematikan (Council of Ethical dan Judical Affairs, American Medical Association, 1991). Dalam budaya tradisional Cina, misalnya, setiap pembicaraan tentang kematian adalah hal yang tabu (Dubler, 1994).
Terutama ketika mereka tidak memiliki akses yang baik kepada keperawatan kesehatan, orang enggan untuk menandatangani dokumen penetapan pemotongan perawatan. Seperti yang dikemukakan oleh seorang pasien, “Saya sudah berjuang untuk mendapatkan apa yang saya butuhkan sepanjang hidup saya. Saya tidak akan memudahkan mereka untuk menahan perawatan.” Orang yang memiliki petunjuk kedepan cenderung berpendidikan dan makmur. (Sachs, 1994), mereka yang paling beresiko mendapatkan “terlalu banyak perawatan.” Selain itu, petunjuk terlebih dahulu dikembangkan sebagai respon terhadap sistem perawatan kesehatan dengan insentif yang kuat dan pengobatan lebih. Iklim yang bergeser dari menggunakan teknologi mahal untuk mempertahankan hidup. Ketika pasien merasa bahwa bahaya mungkin karena melakukan terlalu sedikit, ada kemungkinan akan kurang tertarik dalam menandatangani dokumen yang berfokus pada apa yang tidak diberikan (Wetle, 1994; Danis, 1994).
Bahkan ketika orang menandatangani dokumen ini, tidak ada jaminan bahwa pilihan mereka akan dituruti. Banyak orang tidak membicarakan keputusan mereka dengan keluarga atau dokter mereka (Dresser, 1994). Informasi dalam dokumen tidak jelas. Apa yang dikatakan orang beberapa bulan atau beberapa tahun sebelumnya tidak dapat benar-benar terlihat mengikat; itu tidak dapat mencakup semua situasi dan keadaan untuk sepanjang waktu. Dalam sebuah penelitian, pasien di rumah sakit dan panti jompo ditanya tentang pilihan mereka mengenai perawatan, dan dokumen-dokumen ini ditempatkan dalam grafik mereka.
Halaman pertama dari Wasiat Hidup
saya akan ____________________, dengan sengaja dan sukarela memberitahukan keinginan saya bahwa kematian saya tidak akan berkepanjangan dalam situasi yang ditetapkan di bawah, dan dengan ini menyatakan :
Jika suatu waktu waktu saya harus menjalani kondisi sekarat dan dokter yang merawat saya telah menentukan tidak ada harapan medis dari pemulihan dan dimana, sebagai probabilitas medis, akan mengakibatkan, kematian, terlepas dari penggunaan atau penghentian pengobatan medial yang dilaksanakan untuk tujuan mempertahankan hidup, atau proses kehidupan, saya memerintahkan agar perawatan medis ditahan atau ditarik, dan bahwa saya diizinkan untuk mati secara alami dengan hanya pemberian obat atau kinerja dari setiap prosedur medis yang dianggap perlu untuk memberikan saya hati yang nyaman atau untuk mengurangi rasa sakit.
MAKANAN DAN CAIRAN ARTIFISIAL YANG DISEDIAKAN: Dengan memeriksa baris yang sesuai di bawah ini, saya secara khusus;
_______   memberikan kuasa pemotongan atau menarik penyediaan makanan, air, atau makanan lain atau cairan lain secara artifisial.
________ TIDAK BOLEH mengotorisasi pemotongan atau penarikan penyediaan makanan, air, atau makanan atau cairan lainnya secara artifisial.
Ini adalah halaman pertama dari
Wasiat Hidup Saya
 

Pemeriksaan episode yang mengancam jiwa, seperempat dari perawatan waktu itu dianggap tidak konsisten. Misalnya, warga panti jompo dengan gagal jantung stadium akhir mungkin membutuhkan CPR dan butuh ditransfer ke rumah sakit dalam kasus serangan jantung, tetapi setelah dilakukan rawat inap berulang-ulang, keluarga dan dokter mungkin memutuskan untuk tidak melakukan rawat inap, merasa bawa tidak ada lagi yang bisa dilakukan (Danis, et al., 1991).
            Pada kenyataannya, ketika pasien dialisis ginjal ditanya secara kompeten, hampir dua pertiga merasa bahwa dokter mereka harus memiliki waktu luang dengan petunjuk kedepan mereka sendiri (Sehgal et al., 1992).
            Ketika pengganti (orang lain) membuat keputusan untuk orang cacat, ada kekhawatiran yang berbeda. Pertama, ada pertanyaan tentang kapan tepatnya seseorang tidak kompeten secara mental, masalah yang sering muncul di panti jompo. Karena jarang ada orang resmi yang dinilai tidak kompeten oleh pengadilan, tanggung hawab untuk menentukan kompetensi sering disandarkan kepada dokter dan para profesional kesehatan lainnya. Membuat suatu penentuan tidak selalu jelas. Orang terkadang dapat berpikir jernih, tapi tidak mampu memahami konsekuensi dari intervensi tertentu. Beberapa lansia yang mungkin tidak dapat membuat pilihan informasi tentang prosedur memperpanjang hidup, seperti pemberian makanan melalui tabung, dapat diberikan “kompeten” dengan teknik khusus (Krynski, Tymchuk, dan Ouslander, 1994). Karena kesulitan ini, panti jompo menjadi peka terhadap kebutuhan untuk mengembangkan pedoman formal untuk menentukan kompetensi. Dalam suatu survei, hanya dalam jangka waktu 2 tahun, dari tahun 1986-1988, bagian dari panti jompo di negara New York melaporkan bahwa mereka telah atau sedang mengembangkan pedoman ini dari minoritas kecil menjadi lebih dari setengah (Miller dan Cugliari, 1990).
14-3 Pengalaman Orang Dewasa : Rumah Sakit berbasis Pakar Etika, munculnya peran
Nancy Dubler, direktur bioetika departemen pusat medis Montefiore di New York City, telah menjadi pelopor dalam bidang kedokteran rumah sakit berbasis etika. Dubler berpendapat bahwa peran ahli etika di rumah sakit adalah untuk “Tingkat Lapangan.” Keluarga yang diintimidasi oleh rumah sakit. Mereka masuk dengan kewalahan oleh “pusaran personil.” Jika staf terutama orang kulit berwarna, kulit putih mungkin merasa dikecualikan, jika staf berkulit putih, atau pria, orang-orang dari etnik yang berbeda dapat tertutup. Pakar etika bertindak sebagai mediator dan juru bicara menduga kenyataan sebenarnya dari akhir masalah kehidupan. Berikut adalah kasus seorang pria pada gagal jantung kongestif yang menawarkan rasa masalah yang timbul:
[pria tua]. . . Telah dirawat di ruangan ICU . . . Setelah seminggu berlalu dimana dia menjadi semakin buruk, dokternya. . . dan perawat bertemu dengan keluarganya dan mengusulkan pasien segera dipindahkan ke lantai perawatan umum. Mereka menyatakan bahwa ICU itu tidak lagi menjadi tempat yang tepat untuk perawatan karena pasien sedang sekarat, dan mereka menyarankan bahwa ia harus . . . diizinkan untuk mati. Keluarga tersebut . . . bersikeras bahwa pasien tersebut harus tetap berada di ICU dan ditangani dengan semua intervensi yang mungkin dapat dilakukan. Oposisi terhadap rencana perawatan yang disarankan oleh staf menimbulkan dilemma etika dan mereka memanggil saya untuk menengahi…
Dengan proses standard saya, saya pertama bertemu dengan staf dan mencoba untuk mengerti sejarah pasien. . . dan ramalannya. Semua staf  dimarahi. Putri Mr. Malling menjerit didepan perawat, dan menolak untuk berbicara dengan dokter dan umumnya mengganggu unit. Pertemuan dengan keluarga mengungkapkan bahwa. . . [Mereka] merasa. . . diintimidasi oleh staf dan berpikir bahwa kurangnya pendidikan telah menyebabkan mereka diabaikan. Mereka tidak mengerti aksen ahli jantung. Mereka telah mendengar warga mengatakan bahwa pengobatan itu sia-sia untuk Mr. Malling. . . Tak satu pun dari ini dalah masalah bioetika. . . Ketidaksepakatan terlihat tentang apakah untuk mentransfer pasien. Tetapi sekali-kali isu ditemukan, bahwa isu bioetika menghilang. Dua anak perempuan merasa realistis tentang kesempatan sembuh ayah mereka. Sebuah solusi muncul.
Sumber: Dubler, N, (1994). Special Issue on Current Ethical Issues on Aging. Generations, 18, vol 1, hal 7.
Ada masalah yang membicarakan tentang seseorang setelah jelas bahwa dia tidak dapat berbicara untuk dirinya sendiri. Ada beberapa kesulitan ketika daya tahan lama dari konsultan telah diberikan kepada individu tertentu. Jarang, bagaimanapun, tidak ada orang yang bertanggung jawab secara jelas, baik dokter berahli ke satu atau anggota keluarga yang lain atau tersandung bersama membuat keputusan penting tentang perawatan orang cacat itu. Ada godaan untuk penyalahgunaan perawatan ketika dokter pecaya ia mungkin akan digugugat. Ada potensi untuk penyalahgunaan ketika anggota keluarga menahan pengobatan yang menyelamatkan jiwa orang yang mungkin ingin atau bersikeras, terutama wajib pajak dibiayai, perawatan sia-sia (Callahan, 1987). Ada potensi terjadi konflik ketika perasaan keluarga berbeda dengan dokter atau ketika anggota keluarga lain merasakan hal dan cara lain yang berbeda (Kapp, 1991). Misalkan Anda percaya bahwa ibu yang menderita seharusnya tidak lagi dibiarkan, sementara saudaramu menegaskan bahwa pengobatan harus terus dilakukan bagaimanapun? Jelas bentrokan ini dapat meracuni hubungan keluarga selama bertahun-tahun. Karena potensi konflik seperti yang digambarkan dalam contoh di atas, sebagian besar rumah sakit dan panti jompo sekarang memiliki komite etika untuk membantu memediasi mengenai kematian (Mezey, Ramsey, and Mitty, 1994).
            Arahan DNR pantas disebutkan secara khusus karena perintah ini sangat umum di panti jompo. Sementara Asosiasi Medis Amerika (AMA) telah menekankan bahwa dokter harus membicarakan keputusan ini dengan pasien ketika mereka masih kompeten, paling sering itu adalah dokter dan keluarga yang membuat keputusan untuk menempatkan perintah ini dalam grafik dia. Untuk alasan ini, AMA telah terbilang sebagai pedoman ketika perintah ini harus diterapkan: Dokter memiliki kewajiban etis untuk menghormati pilihan pasien dan pengganti dengan hal yang menyadarkan. Mereka seharusnya tidak mengizinkan perasaan mereka sendiri menggangu tentang kualitas orang hidup. Di sisi lain, ketika dokter percaya bahwa memperpanjang hidup adalah sia-sia, ia mungkin memutuskan untuk menempatkan perintah tersebut di grafik pasien, asalkan keluarga tahu dan memberikan waktu yang cukup untuk merespon atau mengubah dokter jika mereka menginginkannya. Akhirnya, perintah DNR hanya berlaku untuk keputusan untuk tidak melakukan CPR selama serangan jantung, bukan dengan teknik memperpanjang hidup lainnya (Council of Ethical and Judical Affairs, American Medical Association, 1991).
Dokter Bunuh diri yang dibantu
Jika anda berpikir bahwa petunjuk kedepan menimbulkan masalah etika, pertimbangkan kabar terbaru ini dalam gerakan “mati dengan martabat”. Ada lompatan besar dari membiarkan melanjutkan kematian alamiah ketika penyembuhan sudah tidak mungkin terjadi agar mempercepat proses itu bersama. Haruskah euthanasia (pembunuhan dengan belas kasihan) atau bunuh diri yang dibantu dokter legal di Amerika Serikat seperti saat ini di Holland? Haruskah itu dilegalkan untuk membantu pasien yang ingin bunuh diri tidak hanya ketika mereka sakit parah, tetapi juga setiap saat?
            Seperti yang kita lihat, dokter diwajibkan oleh hukum untuk menghormati pasien yang ingin menolak memperpanjang hidup pengobatan, meskipun penolakan ini mungkin mempercepat kematian. Namun, sampai tulisan ini dikeluarkan, kebanyakan Negara adalah melanggar hukum untuk secara aktif melakukan intervensi untuk membantu orang yang telah meminta untuk mati. Seperti Bernard Gert, James Bernat, dan Peter Mogielnicki (1994) menunjukkan, perbedaan antara mematuhi penolakan dan secara aktif membantu dalam permintaan. Pasien memiliki kebebasan untuk diizinkan untuk mati. Dokter dilarang melakukan intervensi yang mengakhiri kehidupan seseorang.
            Pembunuhan jenis ini melanggar prinsip agama bahwa hanya Tuhan yang dapat memberi atau mengambil kehidupan. Inilah sebabnya meskipun survei menunjukkan dukungan publik yang luas untuk melegalkan bunuh diri yang dibantu dokter (Morrison dan Meier, 1994), orang-orang yang sangat religious, mereka yang merupakan bagian dari hak untuk gerakan hidup, dan mereka yang percaya pada kehidupan setelah kematian adalah yang paling benci menerima langkah ini dalam penentuan diri dari kematian. Terlepas dari pertimbangan agama, ada juga argumen lain terhadap praktek tersebut.
            Dengan menyetujui dokter-bunuh diri yang dibantu, kritikus kwatir bahwa kita mungkin membuka gerbang untuk euthanasia sukarela, memungkinkan dokter untuk “menarik steker” pada orang-orang yang mungkin tidak benar-benar ingin mati. Bahkan ketika permintaan orang membantu mengakhiri hidupnya, ada masalah. Ia mungkin tidak benar-benar sakit parah, ia mungkin telah salah didiagnosis atau mungkin masih memiliki waktu bertahun-tahun untuk menjalani sisa kehidupan yang produktif. Sebagai Psikiater, Herbert Hendlin (1994) menunjukkan, dengan membantu seseorang mati seseorang melakukan suatu tindakan yang tidak dapat dibatalkan berdasarkan apa yang bisa menjadi perasaan sementara. Orang-orang yang bunuh diri sering tertekan. Jika depresi diobati individu, individu mungkin merasa sangat berbeda dengan mengakhiri hidupnya. Dalam mendukung pandangannya, Hendlin menulis sebuah kasus anak muda berumur 30an didiagnosa leukemia dan mempunyai 25% kesempatan untuk selamat. Takut mengalami efek samping dari pengobatan, dia memohon rekannya untuk membunuh dirinya.
Suatu hari pemuda tersebut dan saya berbicara tentang kemungkinan kematiannya apakah makna perpisahan dari keluarga dan kehancuran tubuh baginya – keputusasaannya mereda. Ia menerima perawatan medis dan menggunakan sisa hidupnya untuk menjadi lebih dekat dengan istri dan orang tuanya. Dua hari sebelum dia meninggal, ia berbicara tentang apa yang dia lewatkan tanpa kesempatan untuk perpisahan yang penuh kasih.(1994, hal. A19)
Ada juga argumen yang sangat baik disisi lain. Orang-orang yang sekarat sering sakit parah, penderitaan yang kadang-kadang tidak dapat sepenuhnya dikendalikan oleh obat-obatan. Haruskah pasien ini dipaksa untuk enggan menahan rasa sakit dan penghinaan tentang kematian ketika dokter memiliki alat untuk mengakhiri hidup? Mengetahui penderitaan bahwa penyakit mematikan dapat disebabkan, apakah benar-benar manusiawi untuk berdiri dan membiarkan alam mengambil jalannya bertahap (Morrison dan Meyer, 1994)? Apakah pelegalan bunuh diri yang dibantu oleh dokter menuju penentuan nasib sendiri atau kebalikannya, awal dari sebuah “lereng licin” yang mungkin berakhir dalam sanksi membunuh siapa saja yang kualitas hidupnya terganggu?
MASALAH ETIKA YANG TERKAIT : PENJATAHAN USIA BERBASIS PERAWATAN :
Mungkin anda melihat bahwa ada kompenen usia ke “lereng licin” yang memutuskan bila tidak diobati. Banyak pasien dengan arahan DNR dalam grafik mereka sudah berusia lanjut, pada akhir kehidupan alami mereka. Seperti yang kita lihat sebelumnya dalam bab ini, ada norma yang memberikan preferensi dalam melakukan langkah-langkah heroic untuk mempertahankan kehidupan kaum muda, haruskah masyarakat memberi batas pada sejauh mana ia memimpin senjata hidup dan mengabdikan strategi untuk orang-orang yang cacat dan pada akhir hidup alami mereka?
Dalam sebuah buku kontroversial berjudul Menetapkan Batas, Daniel Callahan (1987), pakar etika biomedis bangsa kita yang paling menonjol, berpendapat bahwa kita tidak seharusnya memperlakukan kebutuhan kesehatan lansia cacat seolah-olah mereka adalah sama dengan orang dewasa muda. Ada waktu ketika “perang tidak pernah akan selesai terhadap kematian” harus berhenti. Menurut Callahan, melancarkan perang total untuk semua orang mungkin akan lebih dapat diterima jika semua orang memiliki akses yang sama ke keperawatan. Namun ketika Medicare menempatkan tidak ada kontrol pembayaran untuk mahalnya strategi memperpanjang kehidupan, kami secara implisit mendukung orang tua, sementara 35 juta lebih orang Amerika yang lebih muda tidak memiliki asuransi kesehatan sama sekali.
Callahan (1994), merincikan prinsip-prinsip berikut dalam apa yang ia sebut pendekatan siklus hidup perawatan medis :
1.      Setelah seseorang telah menjalani rentang kehidupan alami, perawatan medis seharusnya tidak lagi berorientasi untuk melawan kematian. Sementara menekankan bahwa tidak ada usia yang tepat harus ditetapkan untuk penentuan ini, Callahan menempatkan penanda ini disekitar akhir tahun tujuh puluhan atau delapan puluhan. Dalam pandangannya, ini tidak berarti bahwa pada usia tertentu kematian tidak bisa dihindari dan tidak boleh menantang keras.
2.      Penyediaan perawatan medis bagi mereka yang telah menjalani jangka hidup yang normal akan dibatasi pada saat menghilangkan penderitaan. Pada akhir kehidupan, fokus harus bergeser dari strategi heroik yang bertujuan untuk memelihara kehidupan dengan metode untuk menghilangkan rasa sakit.
3.      Keberadaan teknologi medis mampu memperpanjang kehidupan orang tua yang telah menjalani jangka hidup alami dan tidak menimbulkan anggapan apapun bahwa teknologi harus digunakan untuk tujuan itu. Callahan percaya bahwa tujuan yang tepat dari tidak menjadi budak teknologi yang dikembangkan untuk memajukan tujuan ini, membabi buta menggunakan semua teknologi mahal pada setiap orang hanya karena itu ada.
Sampai batas tertentu, dokter mengikuti resep ini secara implisit hari ini. Dokter mungkin memutuskan bahwa orang yang berusia 80 tahun adalah “terlalu rapuh” untuk memiliki operasi yag memungkinkan menyelamatkan jiwanya bahwa ia tidak akan ragu untuk melakukan pada orang dewasa yang lebih muda. Keluarga dan dokter setuju bahwa panti jompo dengan penduduk yang lebih tua harus diberikan perawatan kenyamanan. Namun, beberapa gerontologist penuh semangat menyatakan bahwa secara resmi mengadopsi penjatahan usia akan menempatkan kita pada suatu hal yang menakutkan, lereng licin. Memang benar bahwa intervensi untuk menyembuhkan kanker pada orang yang berusia 90 tahun tidak hanya lebih berbahaya, tetapi juga lebih subur karena dia akan segera meninggal karena serangan jantung. Seperti yang kita lihat dengan jelas dalam Bab 7, hidup tidak terlihat jauh lebih layak hidup untuk orang yang menderita penyakit demensia. Pada sisi lain, kita perlu melindungi bahwa orang yang mengalami gangguan kognitif, tidak mengaggap bahwa hidupnya tidak layak atau kurang (Dresser dan Whitehouse, 1994). Setelah kami menolak pengobatan berdasarkan usia atau ketidakmampuan mental, kita dapat membuka pintu untuk menolak pengobatan berdasarkan jenis kelamin, atau ras, atau kelompok etnis. Dengan tidak akan mengambil langkah ini dapat mengarah ke yang lain dan pada akhirnya membawa kita kembali ke praktek genosida mengerikan dari masyarakat yang dijelaskan dalam fitur 1-1 pada ageism dalam Bagian 1? Seperti pendapat antara Nancy Jecker dan Laurence Schneiderman (1994), pengambilan keputusan pada perawatan kesehatan harus didasarkan pada pertimbangan dari kesia-siaan medis, tidak menjalani hidup dengan penuh.
Mungkin  anda melihat bahwa diskusi kita membawa kita kembali ke lingkaran penuh ke topik yang sudah dieksplorasi sebelumnya dalam buku ini: proses penuaan fisik dan kecacatan, cara dimana sistem perawatan kesehatan memperlakukan orang-orang dari berbagai usia, cara untuk menyeimbangkan hak-hak  orang muda dan orang tua, pentingnya memiliki rasa self efikasi (atau kontrol) seperti yang kita jalani melalui kehidupan orang dewasa. Dalam keadaan sekarat sebagai orang dewasa di Amerika, kita juga melihat banyak masalah yang berkaitan dengan hidup sebagai orang dewasa di Amerika.
Penjatahan usia berbasis kesehatan hanyalah salah satu dari beberapa tantangan sosial yang penting yang akan kita hadapi di abad kedua puluh satu. Di halaman berikut, saya menyimpulkan tur luas dari pengalaman orang dewasa secara singkat, catatan subyektif, menawarkan beberapa komentar tentang kesenjangan dan arah masa depan untuk bidang kita dan mengekspresikan beberapa keprihatinan pribadi tentang apa yang ada di depan dalam perjalanan kita sebagai orang dewasa Amerika.

Yudisium mahasiwa UNPRI pada tgl 18 september 2016

Acara pelepasan wisudawan dan wisudawati psikologi S1 angkatan ke 5 Yudisium mahasiwa Unpri jurusan psikologi, kegiatan ini juga akan ...